Part 2
Esok harinya, sesuai janji Haji Salim dan keluarganya datang berkunjung tak ketinggalan Fadlipun turut serta bersama rombongan.
Murni sibuk merias anaknya di dalam kamar, Masyitah pasrah diam tak bergerak.
Tak bosan Murni memandangi penampakkan wajah Masyitah di cermin, produk Murni dan Burhan memang unggulan begitu pikirnya sambil tersenyum.
Namun berbeda halnya dengan Masyitah, hatinya memberontak, menjerit, bahkan tak bisa digambarkan lagi seperti apa perasaannya.
" Demi Allah aku benci perjodohan ini." Umpatnya dalam hati.
Pintu diketuk dari luar..
"Apa kalian sudah siap ? tamu sudah menunggu di luar." Suara Haji Burhan memecah lamunan Masyitah.
"Iya kami segera keluar, ayo Ita tamu sudah menunggu." Murni menggenggam tangan anaknya dan menuntunnya keluar.
Saat Murni dan Masyitah tiba di ruang tamu, seisi ruangan diam sorot mata Fadli langsung tertuju pada satu sosok yaitu Masyitah. Kagum ? tentu saja, gadis mungil itu membius seisi ruangan.
Begitupun Salim dan istrinya, pandangan mereka tak lepas dari Masyitah yang hari itu sangat anggun mengenakan kebaya berwarna pastel.
Menyadari semua pandangan tertuju padanya, Masyitah menjadi gugup dan salah tingkah. Masyitah menoleh pada ibunya "mah, apa kita akan berdiri di sini sampai sore?"
"Eh iya, maaf boleh kami duduk?"
"Oh, tentu saja, sini duduk di dekatku calon besan." Rida istri Haji Salim menepuk kursi kosong di sampingnya." Harusnya kami yang meminta maaf hehe," lanjutnya lagi.
Murni dan Masyitah berjalan memutar di belakang kursi Fadli lalu mereka duduk dengan posisi berhadapan.
Haji Burhan berdehem mengurai suasana yang sedikit kaku, berbeda dengan sebelum Masyitah muncul mereka tertawa lepas.
"Pak haji, ini Masyitah anak saya semata wayang, walaupun sebenarnya mereka sudah saling kenal sebelumnya."
"Iya kami sudah mengenalnya, anak Pak Haji memang cantik secantik namanya." Sahut Haji Salim tersenyum tipis.
Masyitah terus menunduk, dalam hatinya muak mendengar basa-basi yang tidak penting menurutnya.
Lain halnya dengan Fadli, pemuda itu masih saja mengagumi makhluk indah di hadapannya, baru kali ini dia setuju dengan keputusan orang tuanya dan di pastikan tidak ada penolakan darinya.
Setelah melakukan perkenalan dan sedikit perbincangan, mereka masuk pada pembahasan inti yaitu lamaran.
"Baiklah, karena Pak Haji yang meminta anak saya, tentunya pak Haji paham betul seperti apa dan bagaimana prosesnya."
"Iya saya paham, sudah pasti kami tidak akan mengecewakan Pak Haji dan keluarga. Berapapun yang Pak Haji minta selagi kami mampu akan kami penuhi." Jawaban yang lugas dan sangat di pahami dari Haji Salim.
"Kami hanya meminta seperangkat alat shalat, uang sejumlah Rp.45.000.000,00-, dan hantaran lainnya, bagaimana Pak Haji ?"
Haji Salim menoleh ke arah istrinya meminta persetujuan dan dijawab anggukkan dari istrinya.
"Baiklah, kami terima permintaan Pak Haji."
"Alhamdulillah."
Dan semua kerabat yang hadir mengucapkan syukur, karena proses lamaran berjalan lancar tanpa banyak penawaran dan drama.
"Sebaiknya kita menentukan hari baik untuk pelaksanaan acara pernikahan anak-anak kita." Pak Burhan melanjutkan pembicaraannya.
Dari hasil diskusi kedua belah pihak, akhirnya di putuskan acara pernikahan bulan depan mengingat banyak hal yang harus di selesaikan.
Masyitah meremas jemarinya, sepanjang perbincangan dia terus menunjukkan wajah masam bahkan tak terlihat senyum dari bibirnya.
"Papa puas kan sekarang menjualku dengan nilai uang sebesar itu, aku pastikan pernikahan ini tidak akan lama lihat saja nanti."
Hati Masyitah terus bergemuruh menahan amarah, keputusan sepihak dari orang tuanya telah membakar impiannya yang tersisa hanya kebencian.
Setelah pembicaraan selesai, semua keputusan sudah di setujui keluarga Salim pun berpamitan.
Tanpa menunggu, Masyitah langsung bangkit menghentakkan kakinya lalu melangkah pergi meninggalkan orang-orang tersebut.
Burhan menatap tajam punggung Masyitah yang berjalan masuk ke kamarnya, merasa dipermalukan dengan sikap anaknya.
Kemudian dia berbalik dan tersenyum "Maafkan anak saya, Masyitah sepertinya belum bisa menerima perjodohan ini tapi percayalah semua akan berjalan lancar sesuai rencana kita."
"Iya, tidak apa-apa pak Haji, kami cukup memaklumi perasaan Masyitah." Jawab Rida.
"Baiklah kami permisi dulu, jika ada sesuatu bisa hubungi kami." Haji Salim pun berpamitan lalu mereka pulang bersama keluarganya.
Tanpa menunggu lama, Burhan langsung berjalan ke kamar anaknya langkahnya cepat karena emosi. membuka pintu kemudian membantingnya dengan keras.
Masyitah yang duduk di atas ranjang terperanjat, tubuhnya sedikit gemetar melihat wajah ayahnya yang penuh kemarahan.
"Ita, kamu sengaja permalukan papa hah!!!"
"Apa salahnya menunggu sebentar mereka pamit baru kamu meninggalkan tempat dan masuk kamar."
Masyitah tetap diam tak berani manatap ayahnya, Murni berlari menyusul suaminya ke kamar Masyitah napasnya masih terengah-engah.
"Pah sudah, malu pah tamunya masih ada di depan." Murni mengusap punggung suaminya meredakan emosi.
"Papa peringatkan kamu Ita, jangan pernah permalukan papa di depan umum kamu pasti tahu resikonya." Pak Birhan menunjuk wajah Masyitah kemudian berlalu pergi.
Murni bergegas mendekati anaknya, dia menarik tubuh Masyitah dalam pelukannya.
Tubuh Masyitah bergetar sambil terisak.
"Aku benci papa, aku benci kalian semua dengan seluruh jiwaku." Masyitah terus meracau dalam tangisnya.
Murni tak bisa berbuat apa-apa, satu-satunya cara hanya menuruti keinginan suaminya meski hati kecilnya menolak namun diapun tak berdaya untuk melawan.
Lama Masyitah terisak dalam dekapan ibunya hingga akhirnya dia tertidur karena kelelahan, bahkan bajunya belum sempat dibuka.
Murni perlahan membaringkan anaknya di kasur, melepas sanggul di kepala Masyitah agar tidurnya nyaman. Kamudian dia keluar menutup kembali pintu kamar Masyitah.
Murni menghampiri suaminya yang duduk di teras, Burhan begitu tenang seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Murni duduk di samping suaminya, pandangannya lurus ke depan menarik napas dan menghembuskan perlahan.
"Pah, jangan terlalu kasar pada Ita mama takut dia berbuat nekad."
Burhan langsung menoleh pada istrinya seakan meminta penjelasan, tapi pandangan Murni masih lurus ke depan.
"Apa maksudmu mah? Papa hanya melakukan yang terbaik untuk dia bukan menyuruhnya bunuh diri."
"Tapi sikap papa sudah berlebihan, kasar dan membentak Ita seolah dia sudah membuat kesalahan besar, padahal dia hanya menunjukkan sedikit rasa kecewanya dan menurut mama itu masih wajar."
"Ah kalian yang terlalu cengeng dan berlebihan."
Murni menoleh pada suaminya, kali ini dia menunjukkan wajah kesalnya ternyata suaminya ini manusia yang berhati batu."
"Pah, Ita itu putriku satu-satunya, jika terjadi sesuatu pada dia aku tidak akan memaafkanmu bahkan akan membencimu seumur hidup."
Burhan terdiam, baru kali ini dia melihat perlawanan istrinya, selama ini apapun keputusannya Murni selalu menurut bahkan tak pernah protes.
Mungkin dia harus menurunkan sedikit egonya, sebab jika istrinya marah tentu rencana pernikahan Masyitah akan kacau dan gagal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments