"Ini rumah mereka, Nak." Bu Isma menunjukkan sebuah rumah megah pada anaknya.
Saat ini keduanya pergi ke sebuah tempat yang sudah dijanjikan Bu Isma.
Arumi tak berkedip melihat betapa megahnya rumah tersebut. Warna catnya putih dengan pagar hitam. Cocok sekali.
"Bu, ini beneran rumah?" Saking tidak percaya, Arumi bertanya seperti itu. "Ini istana mungkin, Bu."
Bu Isma menepuk lengan anaknya. "Ini rumah."
"Tapi, gede banget, Bu."
"Namanya yang punya orang kaya, Nak."
Arumi terus saja mengagumi kemegahan dari rumah ini.
"Ini rumah teman, Ibu. Dua-duanya. Mereka nikah hampir sama seperti Ibu. Anaknya juga sama seumuran kamu." Bu Isma menjelaskan pada Arumi agar tidak shock ketika mendapati anak yang seumuran dengannya. "Mereka yang nawarin Ibu titip di sini. Katanya, mereka nggak punya anak perempuan."
Bu Isma diam sejenak. "Tapi, kalau dipikir-pikir kamu nggak mirip perempuan, Nak."
Arumi mengerutkan kening. "Loh, kok, bisa, Bu? Aku ini perempuan. Kan, Ibu yang lahirin." Arumi agak kesal. Bisa-bisanya sang Ibu mengatakan demikian. "Kalau bukan perempuan. Aku ini sejenis apa, Bu?"
Bu Isma tertawa kecil. Bercanda mereka memang selalu tampak receh, tetapi menyenangkan. "Habisnya kamu sering manjat pohon. Udah dikasih tau berapa kali juga, tetap aja."
"Tapi, kan, itu nggak bisa ngerubah status identitas seseorang, Bu." Arumi protes.
"Iya, ya. Ibu, cuma bercanda." Bu Isma tersenyum kecil. Sedih rasanya harus melepaskan sang Anak ke orang lain. Namun, pilihan ini yang terbaik bagi kehidupan mereka.
"Bu, kita langsung masuk aja, nih. Nanti dikira pencuri nggak?" Arumi takut orang dalam mencurigai mereka. Memang status sosialnya sangat berbeda.
"Astagfirullah, Nak. Ya, nggak mungkin. Tante Rossa sama Om Brian itu baik banget. Mereka teman seperjuangan Ibu pas masih sekolah di SMA. Mana mungkin setega itu." Bu Isma yakin jika kedua temannya itu rendah hati. "Ayo, kita masuk. Kamu kenalan dulu sebelum tinggal di sini."
Arumi menurut saja tanpa banyak bicara. Sisa waktu yang ada harus dimanfaatkan untuk bisa bersama sang Ibu.
Seorang satpam mendekati mereka. Membukakan pagar dan berkata, "Selamat sore. Ada yang bisa dibantu?' Suaranya ramah dan membuat tamu nyaman.
Bu Isma langsung menjawab. "Assalamualaikum. Selamat sore juga. Maaf, apa Brian dan Rossanya ada?"
Arumi masih menatap penuh kekaguman begitu pagar dibuka. Banyak sekali pepohonan rindang dengan bunga yang tengah mekar. Cantik memang. Pasti pemilik rumah ini menjaga baik-baik.
"Mohon maaf, Bu. Saat ini Tuan dan Nyonya belum pulang. Ada perlu apa, ya?" Dengan masih nada sopan, satpam itu bertanya lagi. "Mungkin saya bisa bantu."
Bu Isma tak mungkin mengatakan niatnya ke sini. "Ah, kami cuma mau bertemu saja, Pak. Kebetulan saya ini teman sekolah pemilik rumah ini."
Satpam itu mengerti. Tak baik juga menerima tamu saat pemilik rumah tidak ada. Namun, hal ini jelas tidak sopan juga. "Kalau Ibu bersedia, silakan datang lagi nanti malam. Biasanya Tuan dan Nyonya sudah ada."
Bu Isma paham. Tidak baik memaksa. "Kalau begitu, kami permisi dulu, Pak. Assalamualaikum."
"Baik, Bu. Wa'alaikum salam."
Dengan sangat terpaksa Bu Isma berbalik badan, tetapi Arumi masih saja belum bergerak.
Tanpa diduga dari arah jalan sebuah mobil hitam datang. Posisi Arumi menghalangi jalan kendaraan itu, sehingga pemiliknya memberikan klakson kencang.
"Astagfirullah!" Arumi loncat ke depan, kaget. Membalikkan badan, menatap wajah seseorang yang nongol dari jendela kanan mobil. Kaget bukan main.
"Lo, seneng banget ngehalangin jalan orang, ya!" Orang tersebut kesal bukan main.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
abdan syakura
sabaar Arumiiii
2023-01-16
0