"Arumi berusaha berdiri. Rasa sakit menyerang perutnya. "Hei, kamu si Tiang listrik. Aku tandai kamu dulu." Dengan cepat Arumi berlarian ke arah toilet. Ada urusan yang lebih penting dari sekadar mencaci maki lelaki tersebut.
"Gadis aneh!" gerutu si anak lelaki, lalu kembali melangkah menuju ruangan kepala sekolah.
Arumi sampai di toilet. Menuntaskan kepentingannya agar semua terasa lega.
"Perutnya enakan juga," kata Arumi begitu selesai.
Toilet terasa seram jika hanya sendirian. Arumi memegang leher belakang bawah seraya berkata, "Masih siang, tapi udah horor gini."
Daripada terus berperang dengan ketakutan, Arumi bergegas keluar toilet. Melirik ke kanan, ke kiri. Anak lelaki tadi sudah pergi.
"Coba kalau ketemu lagi. Aku bejek kayak rujak. Bukannya nolongin malah bikin kesel!" gumam Arumi.
Gadis itu melangkah ke arah kanan. Berjalan tiga langkah dengan menunduk, lalu tiba-tiba menabrak seseorang.
"Duh, sakit!" Arumi berhenti, mengangkat kepala tegak. Seiring dengan itu matanya terbuka lebar kembali. "Si Tiang listrik!"
Orang yang ditabraknya ternyata anak lelaki tadi.
Arumi naik pitam. Kekesalannya yang sempat tertunda pun akhirnya memiliki tempat pas untuk dialirkan. "Kamu yang tadi, kan?"
Anak lelaki itu diam dengan kedua tangan melipat di dada.
"Hei, Tiang Lisfrik! Kamu itu punya perasaan atau nggak, sih? Orang lagi kesakitan bukannya ditolongin malah dibikin kesal. Coba kalau itu nimpa di diri kamu," omel Arumi.
Tinggi anak lelaki itu lumayan membuat kepalanya pegal menatap ke atas. Tinggi Arumi hanya sedadanya saja. Bisa dibilang tidak seimbang.
Anak itu tetap diam dengan tatapan sulit diartikan.
Kening Arumi berkerut. Bisa-bisanya ia bertemu anak seperti ini. Rasanya menyebalkan.
"Hei, kamu denger nggak, sih?" tanya Arumi sekali lagi.
Tatapan anak lelaki itu masih sama. Ia tersenyum miring, lalu berjalan melewati Arumi tanpa menjawab apa pun.
Arumi kesal. Harum semerbak parfum anak lelaki itu menusuk hidung. Menangkan dan seolah menghipnotis diirnya untuk diam.
Dua detik terpaku, Arumi sadar dan berbalik badan. Matanya menyorotkan kekesalan yang luar biasa. "Hei, Tiang Listrik! Kamu punya telinga nggak?"
Lelaki itu berhenti.
"Aku nggak tau kamu kelas berapa. Perasaan nggak pernah lihat, tapi satu hal yang perlu kamu tau kalau orang itu dinilai dari sopan santunnya!" tegas Arumi.
"Lo, ngerasa lebih sopan dari orang lain?" Tiba-tiba anak lelaki tersebut mengajukan pertanyaan.
Suaranya lembut, tidak seperti sikapnya.
"Jangan terlalu merasa tinggi. Belum tentu lo juga lebih baik," tambah si anak lelaki tersebut.
Arumi tidak terima. Sampai sebesar ini pun ia sama sekali tidak pernah merasa paling sopan dari siapa pun. Sebab, ia masih belajar banyak hal.
"Aku nggak bilang kalau aku lebih sopan!" tegas Arumi. Gadis itu berjalan tiga langkah ke depan melewati anak lelaki tersebut, lalu menggerakkan badan agar berhadapan langsung. "Dan, salah satu sopan santun paling kecil adalah tatap mata lawan kalau bicara!"
Netra mereka saling bertemu lagi. Arumi kembali terhanyut dengan ketampanan yang dimiliki anak tersebut. Namun, sebisa mungkin menarik diri agar tidak terlalu terbawa arus.
Arumi memperhatikan seksama penampilan sosok tinggi di depannya. Jika dikatakan sempurna, tidak juga. Jika dibilang kurang menarik, sosok itu sepertinya punya magnet sendiri dalam menarik perhatian orang.
"Kenapa? Lo, naksir gue?" Sebuah senyuman miring diberikan sang Anak lelaki pada Arumi.
Bola mata Arumi membulat sempurna. Kekesalannya sampai pada puncak, hingga menggerakkan kaki kanannya menginjak kaki kiri anak lelaki tersebut. "Kalau jadi orang orang tuh nggak usah terlalu percaya diri. Paham?"
"Sakit!" Anak lelaki itu mengaduh kesakitan.
Arumi menarik lagi kaki kanannya, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Ia akan menyusul teman-temannya yang lebih dahulu sampai di ruangan basket.
"Mimpi apa aku semalam? Bisa-bisanya ketemu cowok macam kayak gitu!" Sepanjang jalan Arumi terus saja mengoceh. Ia kesal. Benar-benar kesal!
**"
Ridho memperhatikan sekitar terutama pintu masuk ruangan basket. Tak ada tanda-tanda Arumi datang.
Suara sorak ramai terdengar tidak beraturan. Banyak yang menyemangati. Akan tetapi, banyak pula yang saling bersorak ria saja.
"Do, Lo, kenapa?" tanya Rehan yang memperhatikan gerak-gerik teman di sampingnya itu.
Sari dan Bima sibuk menyemangati kelas yang sedang bertanding.
"Ayo, bakar semangat kalian!" seru Rehan.
Sari menepuk pundak Rehan kencang. "Kalau dibakar, habis sekolah kita."
"Kan, semangatnya, Sar, yang dibakar. Bukan sekolahnya." Bima membela diri.
"Iya, ya." Sari paham.
Ridho tidak menjawab. Ia hanya memandangi ke arah pintu luar tanpa henti.
Rehan berdecak kesal. Temannya ini jika sudah fokus ke satu titik akan sulit dikacaukan.
Rehan mendekatkan wajahnya ke telinga Ridho, lalu berbisik, "Lo, lagi nungguin Bu Risma, ya. Guru paling cantik di sini."
Ridho kaget. Ia hampir saja memukul kepala Rehan jika temannya itu tidak menghindar.
"Lo, apaan, sih!" Ridho merinding.
Rehan menarik lagi wajahnya, lalu tertawa kencang. "Lagian lo diem aja. Gue nanya dari tadi malah dikacangin!"
"Kepo banget jadi orang!" sungut Ridho.
"Kepo itu hal yang menyenangkan." Lagi-lagi suara tawa terdengar dari Rehan.
"Nyenengin buat sendiri, tapi kalau buat orang lain ngeselin!"
Sorak ramai tepuk tangan terdengar. Rupanya salah satu anggota dari pemain basket adalah anak terpopuler.
Sari sejak tadi tidak berhenti menatap. Gilang, namanya. Anak kelas dua belas jurusan IPS adalah lelaki paling tampan di seluruh sekolah. Gilang juga bisa dikatakan anak pintar dan selalu juara umum selama ini.
"Coba aku yang jadi pacarnya. Pasti seneng tuh," kata Sari.
Bima tertawa lepas.
Sari yang mendengar pun memanyunkan bibir. "Kenapa malah ketawa?" Gadis itu menoleh pada Bima. "Pengen juga jadi pacarnya Gilang?"
Bima bergedik ngeri. Setampan apa pun Gilang, Bima masih normal. Tak mungkin juga ia sampai berbelok ke jalur yang salah.
"Pasti pengen dong!' ledek Sari.
"Idih, Lo, kesambet setan di mana, sih? Siang bolong gini ngelantur!' sungut Bima.
Rehan berbisik. "Di pohon mangga belakangnya. Kan, rindang, tuh. Nah, Mbak Kunti doyan di sana."
Sontak Tawa Bima kian kencang, hingga beberapa siswa memperhatikannya.
"Bener, tuh. Dia kayaknya kesurupan Mbak Kunti," jelas Bima.
"Enak aja!" bantah Sari. Pandangannya tidak lepas dari sosok Gilang.
Bima hanya tersenyum kecil. Menatap Sari yang seolah tidak berkedip sedikit pun.
"Udah, nggak usah banyak ngayal. Nanti gila!" tegur Bima.
Sari tidak menghiraukan. Gilang memang bisa dikatakan sempurna di mata seorang orang. Pasti sangat beruntung yang akan menjadi kekasihnya.
"Doi emang perfect," puji Sari.
Bima menggelengkan kepala, heran. Ia memilih membiarkan dan kembali menonton.
Ridho sendiri masih asyik dengan tatapan penuh harap ke arah pintu. Berdoa semoga Arumi baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Bahdi Anur
Lanjut thor
2022-10-11
0
rutia ningsih
first
2022-10-05
1