Lyra kembali menuju ruangannya dengan dibantu Clara yang mendorong kursi rodanya. Terlihat raut wajah gadis tampak sedikit lebih segar meskipun tidak terlalu membawa perubahan.
“Hallo sayang, sudah selesai terapinya?” ujar Renata mencoba untuk bosa basi dengan putrinya yang hanya dibalas anggukan oleh Lyra.
“Gimana perasaan kamu sayang?” Renata mengusap lembut punggung tangan putrinya yang masih terpasang infus.
Lyra hanya membalas dengan gelengan dan senyum tipis.
“Lyra mau tidur, ma,” ujarnya kemudian.
“Oke-oke, mama bantu buat balik ke ranjang, ya?” Renata segera mengambil alih pegangan kursi roda yang masih dalam genggaman Clara. Wanita setengah baya itu kemudian membantu putrinya untuk kembali menempati ranjang. Menyelimuti putrinya kemudian membiarkan putrinya itu untuk istirahat.
Setelah memastikan Lyra benar-benar merasa nyaman, Renata beralih pada Clara.
“Gimana hasil terapi hari ini, Dok?”
“Lumayan bagus, Buk, meskipun Nona Lyra masih tidak mau terlalu banyak bicara dan masih menyimpan ketakutan.”
“Syukurlah, semoga setelah ini nggak ada lagi berita yang akan mengguncang mentalnya,” ujar Renata.
“Semoga saja, ya,” balas Renata.
“Em, kalau begitu saya permisi ya, Buk, soalnya masih ada janji sama pasien.”
“Iya, terima kasih ya Dokter Clara.”
“Sama-sama,” final Clara kemudian berlalu meninggalkan ruangan Lyra.
...***...
Waktu demi waktu berlalu, hari demi hari terus berganti. Tiga minggu akhirnya berlalu semenjak insiden itu. Benar-benar tiga minggu yang tidak mudah untuk Lyra lewati. Kini, kondisi Lyra juga sudah semakin membaik, gadis itu sudah mulai ceria dan perlahan mulai melupakan kejadian yang sudah merusak masa dirinya.
“Sayang, mau mama suapin atau makan sendiri?” tawar Renata sembari menata makanan yang baru dibawanya dari rumah.
“Suapin dong,” ujar Lyra. Perempuan itu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk bermanja-manja dengan kedua orangtuanya.
“Baiklah putri kecilnya mama,” kata Renata sembari menyentil pelan hidung mancung Lyra.
Renata mendudukkan dirinya pada kursi yang tersimpan di sebelah ranjang Lyra dan mulai menyendokkan nasi serta lauk pauk.
“Ayo, buka mulutnya!” Renata mengulurkan sendiri yang berisi penuh itu mendekat pada mulut Lyra. Lyra pun segera membuka mulutnya hendak menerima suapan dari sang mama namun tiba-tiba mual menyerangnya.
Lyra segera turun dari ranjang dan berlari menuju toilet yang menyatu bersama ruang inapnya. Renata yang melihat itu sontak dibuat khawatir. Diletakkannya makanan yang dibawanya di atas nakas kemudian ia bergegas menyusul putrinya ke dalam toilet. Terlihat, Lyra yang hanya memuntahkan cairan berwarna kuning. Renata pun segera membantu putrinya itu dengan cara memijat pelan leher bagian belakangnya.
“Pusing, Ma,” adu Lyra usai membersihkan mulutnya.
“Kita balik ke ranjang, ya?” ujar Renata. Wanita itu membantu sang putri menuju tempat tidur untuk merebahkan dirinya.
Renata menatap wajah putrinya yang tampak pucat.
“Ma,” panggil Lyra saat Renata hendak berlalu meninggalkannya.
“Kenapa sayang?”
“Apa Lyra hamil ya, ma?” tanya Lyra.
Renata memejamkan matanya mendengar pertanyaan yang putrinya itu layangkan. Dengan senyum yang dipaksakan, Renata menjawab pertanyaan dari putrinya itu, “Nggak selalu hubungan intim itu bisa langsung menyebabkan kehamilan sayang. Mungkin, asam lambung kamu naik lagi. Biar mama panggil dokter untuk diperiksa, ya?”
“Tapi Lyra takut, Ma....” “Lyra takut sama hasilnya.”
“Gapapa sayang, ada papa sama mama,” Renata mengusap lembut puncak kepala Lyra.
“Mama panggil dokter dulu, ya?”
Lyra menganggukkan kepalanya membuat Renata segera bergegas keluar meninggalkan ruang rawat putrinya untuk memanggil dokter. Sejujurnya, ia sendiri sama takutnya dengan Lyra, takut kalau putrinya itu benar-benar positif hamil. Bagaimana putrinya akan melanjutkan hidupnya setelah ini? Membayangkannya saja Renata sudah tidak sanggup.
Di tengah perjalanan menuju ruang dokter, Renata berpapasan dengan Affandi yang baru tiba di rumah sakit.
“Sayang, kamu kau ke mana?” tanya Affandi pada istirnya.
Renata menghentikan langkahnya, menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu mau ke mana hmm?” kata Affandi lembut sembari merapikan anak rambut sang istri.
“Lyra sepertinya hamil, Pa,” kata Renata dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Affandi terpaku mendengar pernyataan dari istirnya. Ia tidak terkejut karena hal semacam ini pasti akan sangat sulit dihindari. Affandi kemudian mengusap wajahnya kasar, ia menarik istirnya untuk duduk pada kursi yang terletak tidak jauh dari posisinya.
“Hal ini pasti tidak bisa dihindari,” ujar Affandi.
“Terus sekarang kita harus gimana, Pa?”
“Kita minta dokter dulu buat cek. Gimana hasilnya nanti, jangan sampai Lyra tahu. Lyra adalah putri kita satu-satunya aku nggak akan masa depan dia hancur karena masalah ini.”
“Maksud kamu?” tanya Renata tidak paham.
“Kita gugurkan saja bayi itu.”
...***...
Affandi segera meminta dokter yang memeriksa Lyra keluar usai melakukan pemeriksaan tanpa sempat mengatakan apapun. Setibanya di luar, Affandi segera menanyakan bagaimana hasil pemeriksaan putrinya.
“Nona Lyra positif hamil dan usia kandungannya sekarang sudah memasuki tiga minggu,” jelas dokter.
Kaki Renata lemas seketika mendengar penjelasan sang dokter.
“Kita mau gugurkan saja bayi itu, Dok,” cetus Affandi kemudian.
“Bapak yakin?” seru sang dokter.
“Saya yakin. Putri saya masih terlalu muda untuk mengandung juga dia adalah putri saya satu-satunya, saya tidak ingin dengan kehamilannya ini membuat masa depannya rusak.”
“Kalau bapak tidak ingin masa depan putri bapak rusak, kenapa bapak tidak menjaga putri bapak dengan baik?” kata dokter itu penuh emosi. Pasalnya, bayi dalam kandungan itu tidak bersalah, kenapa harus dibunuh?
“Dokter tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, ini kecelakaan dan kita semua tidak menginginkan hal ini!” balas Affandi dengan nada dingin.
Dokter itu tidak lagi menjawab. dirinya memang tidak tahu apa-apa dan tidak seharusnya ia ikut campur untuk hal ini.
“Baiklah kalau itu memang sudah menjadi keputusan kalian,” final dokter itu kemudian berlalu meninggalkan kedua orang tua Lyra.
tanpa mereka sadari, sejak tadi Lyra mendengarkan percakapan dokter dan papanya. Lyra menutup mulutnya yang menganga karena syok dengan apa yang didengarnya. Apa yang ia takutkan akhirnya benar kejadian. Hancur sudah masa depannya sekarang.
Lyra kembali menuju ranjang, gadis itu mendudukkan dirinya dengan posisi selonjoran seperti tidak pernah turun dari ranjang sampai kedua orang tuanya kembali memasuki ruangannya.
“Apa kata dokter, Pa? Ma?” tanya Lyra. Sebisa mungkin ia menahan agar tidak menangis detik itu juga.
Renata mendekati Lyra kemudian mendudukkan dirinya pada tepi ranjang. Digenggamnya kedua tangan putrinya yang terasa sedikit dingin. Kemudian, netranya jatuh pada perut rata milik Lyra. Sembari tersenyum ia kembali menatap putrinya kemudian berkata, “Nggak kenapa-kenapa kok sayang. Kata Dokter asam lambung kamu kembali naik makannya kamu jadi mual dan pusing.”
“Mama nggak bohong, kan?”
“Nggak lah, ngapain juga mama bohong, iya kan, Pa?” ujar Renata sembari menatap sang suami, meminta persetujuan pada lelaki yang sudah menemaninya selama kurang lebih dua puluh tahun lamanya.
“Iya, udah kamu tenang aja. Setelah kamu keluar dari rumah sakit, kamu udah bisa balik lagi ke sekolah seperti biasa.”
“Iya, udah kamu jangan mikir yang macem-macem. Kamu kan tahu sendiri gimana kalau asam lambung naik, kayak orang hamil.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤᭄𒈒⃟ʟʙ⏤͟͟͞͞R
pelakunya masih diumpetin belum boleh keluar🤭
2022-10-05
1
Ayuna
semoga cepat terungkap siapa sebenarnya yg jebak dia tuh
2022-10-05
0
Ningrum
yg sabar y lyra
2022-10-05
0