Seharian penuh, Lyra mengurung diri di dalam kamar dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Kejadian malam itu benar-benar membuat Lyra down.
Beberapa kali, Renata mengetuk pintu kamar Lyra namun tidak ada sahutan dari siempunya. Seperti sekarang ini, Renata kembali mengetuk kamar putrinya itu untuk mengantarkan makanan karena semenjak pagi, putrinya itu sama sekali belum keluar kamar.
“Lyra sayang, buka pintunya nak!” pinta Renata namun Lyra tidak menanggapi. Gadis itu semakin memeluk erat lututnya, meringkuk di balik selimut tebal sembari menangis.
“Sayang, kamu seharian belum makan, ayo makan dulu,” Renata dengan sabar membujuk Lyra namun sama sekali tidak ada tanggapan.
Affandi menghampiri istrinya, mengelus lembut bahu istrinya, “Masih belum mau keluar?”
Renata menganggukkan kepala.
“Ya sudah, biarkan aja dulu, Lyra butuh waktu,” ujar Affandi. Lelaki itu mengambil alih nampan berisi makanan yang dibawa Renata kemudian mengajak istrinya itu untuk turun menuju lantai satu.
Pasangan tengah baya itu kemudian mendudukkan dirinya pada meja makan dengan posisi saling berhadapan.
“Lyra punya asam lambung, Mas,” ujar Renata cemas.
Affandi mengerti perasaan khawatir istirnya namun ia sendiri juga tidak bisa memaksa putrinya. Perasaan putrinya itu pasti sangat hancur, dan putrinya butuh waktu untuk menerima semua yang sudah dialaminya.
Affandi menggenggam kedua tangan Renata yang tersimpan di atas meja, diusapnya lembut punggung tangan tersebut menggunakan telapak tangannya.
“Sekarang ini, Lyra pasti sangat terpukul, hal ini benar-benar tidak mudah untuk bisa dilewati dan diterima. Jadi, kita harus kasih Lyra waktu untuk menenangkan dirinya, ya?”
Renata tidak merespon, hatinya terus merasa resah.
“Mas, punya kunci cadangan kamar Lyra, kan?”
“Iya ada.”
Renata segera bangkit dari kursi yang ia duduki hingga membuat genggaman tangan Affandi terlepas.
“Ayo kita buka pintunya sekarang, aku benar-benar takut kalau sampai dia kenapa-kenapa.”
Affandi menghela nafas panjang, ia menatap istirnya sejenak membuat istirnya itu mendesak dengan tidak sabar. Ia pun akhirnya bangkit dari posisinya, bergegas mengambil kunci cadangan kamar Lyra lantas kembali menuju kamar putrinya itu.
Pintu akhirnya berhasil terbuka, segera Renata memasuki kamar putrinya dan betapa terkejutnya ia saat mendapati putrinya tergeletak di atas lantai dengan tangan kanan berlumuran darah.
“Lyra ya Allah!” pekik Renata sembari berlari menghampiri putrinya.
Wanita setengah baya itu langsung merobek baju yang ia kenakan kemudian ia ikatkan pada lengan Lyra untuk menghentikan pendarahan.
“Mas, ayo cepat kita bawa Lyra ke rumah sakit!” pinta Renata dengan berlinang air mata.
Affandi segera mengambil alih putrinya untuk ia gendong menuju mobil diikuti Renata. Bahkan, Renata sampai tidak sempat untuk mengganti pakaiannya. Ia sudah tidak peduli dengan penampilannya yang terpenting sekarang adalah nyawa putrinya.
“Mas ayo cepet!” pinta Renata saat mobil mulai melaju meninggalkan pekarangan rumahnya, membelah jalanan kota yang lumayan padat sore itu.
Renata terus menangis sembari mengusap lembut puncak kepala Lyra. Hatinya begitu sakit melihat putrinya yang begitu menderita.
Tiga puluh lima menit lamanya, mobil yang dikendarai Affandi akhirnya tiba di salah satu rumah sakit kota yang paling dekat dengan rumahnya. Segera Affandi mengeluarkan putrinya dan meminta bantuan suster yang memang sudah sigap menyambut kedatangan Lyra.
Lyra pun dibawa menunju ruang gawat darurat untuk segera diperiksa dan diobati lukanya sementara Renata dan Affandi menunggu di luar ruangan.
Affandi memeluk erat istirnya yang kini menangis hebat karena putrinya. Tangannya terus bergerak untuk mengusap lembut bahu sang istri yang terus bergetar.
Affandi sendiri merasa tidak tenang, hatinya diselimuti perasaan khawatir namun sebisa mungkin ia tidak sepanik istirnya. Keadaan akan sangat tidak baik-baik saja jika ia ikut menangis bersama istrinya.
Dua puluh menit kemudian, dokter akhirnya keluar. Affandi bersama Renata segera berdiri dan mendekati sang dokter untuk menanyakan keadaan putrinya.
“Maaf, sebelumnya apakah pasien mengalami kekerasan?” tanya sang dokter.
Renata mengangguk, “Iya dokter.”
“Pasien sangat sedih dan kemungkinan mengalami depresiasi. Salah satunya adalah melakukan tindakan untuk mengakhiri diri. Dan juga, asam lambung pasien naik, tampaknya pasien sudah tidak makan dalam kurun waktu yang cukup lama.”
Lyra sangat sedih mendengar penjelasan dokter.
“Apa kita boleh melihat keadaan putri saya, Dok?” tanya Affandi.
“Setelah pasien dipindahkan ke ruang inap, pasien sudah boleh untuk dijenguk.”
“Baik, terima kasih, Dok,” ujar Affandi.
Dokter yang menangani Lyra pun mengangguk kemudian kembali memasuki ruangan gawat darurat untuk menyiapkan Lyra pindah menuju ruang inap.
...***...
Malam harinya, Lyra sudah tersasar. Kini, gadis itu hanya terdiam sembari menatap kosong keluar jendela.
“Sayang, makan ya mama suapin?” ujar Renata namun Lyra membalas dengan gelengan kepala. Gadis itu sama sekali tidak mau mengeluarkan suara.
Renata menghela nafas panjang, ia kemudian meletakkan bubur yang dibawanya di atas nakas yang berada di sisi ranjang. Renata menghampiri suaminya yang tampak sibuk dengan ponselnya di atas sofa.
“Mas,” panggil Renata sembari menyandarkan kepalanya pada pundak sang suami.
“Kenapa sayang?”
“Nanti kamu minta sama dokter Davin buat carikan psikiater untuk Lyra, ya?” pinta Renata.
“Iya, aku udah bilang sama dokter Davin, katanya malam ini psikiaternya bakal datang.”
Renata mengangguk mendengar penjelasan sang suami. Ia lantas menarik kepalanya dari bahu sang suami. Ditatapnya Lyra dengan tatapan penuh kesedihan namun tersirat rasa syukur di hati Renata karena putri semata wayangnya itu masih bisa diselamatkan nyawannya.
Suara ketukan pintu terdengar membuat Affandi mempersilahkan tamu untuk masuk. Ternyata itu adalah dokter Davin bersama dengan seorang perempuan cantik yang tampak masih muda.
“Permisi, Tuan dan Nyonya Nalendra,” ujar Dokter Davin sopan.
“Dokter Davin,” ujar Affandi sopan.
“Tuan, Nyonya, ini Nona Clara, dia psikiater yang akan membantu Nona Lyra untuk memulihkan kondisi mentalnya,” terang Dokter Davin.
“Clara,” ujar Clara sopan sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Renata dan Affandi secara bergantian.
“Dokter Clara, saya minta tolong bantuin putri saya, ya, Dok,” ujar Renata.
“Saya pasti akan berusaha yang terbaik untuk pasien, Ibu,” jelas Clara.
“Tapi sebelum saya berbicara dengan Nona Lyra, bisakah saya berbicara dengan bapak dan Ibu?” sambung Clara sembari menatap bergantian pada Affandi dan Renata.
“Tentu saja,” balas Renata.
“Lebih baik kita mengobrol di ruangan saya, Pak, Buk,” ujar Clara.
“Tapi, Lyra?”
“Saya akan membantu Tuan dan Nyonya Nalendra untuk menjaga Nona Lyra,” kata Dokter Davin.
“Aku tidak mau!” seru Lyra tiba-tiba bersuara membuat Renata segera menghampiri putrinya itu.
“Sayang, akhirnya kamu mau buka suara,” ujar Renata senang.
Lyra menatap takut pada dokter Davin yang langsung terbaca oleh Dokter Clara.
“Hmm, sepertinya setelah ini Dokter Davin tidak bisa lagi menjadi dokternya Nona Lyra,” ujarnya.
“Tidak apa-apa, nanti biar saya minta perawatan untuk menjaga Nona Lyra,” kata Dokter Davin.
“Baiklah, terima kasih, Dokter Davin,” kata Affandi yang langsung dijawab anggukan oleh dokter Davin.
“Kalau begitu saya permisi,” pamit Dokter Davin kemudian berlalu pergi meninggalkan Lyra bersama kedua orang tuanya dan Dokter Clara.
***
Gess aku lagi sedih, hibur aku dengan vote komen kalian dongg :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤᭄𒈒⃟ʟʙ⏤͟͟͞͞R
kesian lyra sampai trauma
2022-10-05
1
Ayuna
yg melecehkan Lyra itu teman wanita yg ulang tahun itu kan atau orang itu seorang guru?
2022-10-03
0
Ayuna
semangat Kak
2022-10-03
0