Papa Zidan mengingat janjinya pada Almarhumah Istrinya yang meninggal saat Bintang masih berusia lima tahun. “Papa pernah berjanji pada mamamu, akan membuat Bia bahagia. Dan tidak akan membiarkan satu orang pun menyakiti Bia, meskipun dia—” tutur Papi Zidan dengan perasaan menyesal.
“Bia bahagia kok, Pa. Bia baik-baik aja,” potong Bintang.
Papi Zidan melepaskan pelukan erat itu, kemudian menatap wajah Bintang yang tersenyum dengan mata hazel berbinar yang mencoba meyakinkan Papi Zidan—kalau semuanya baik-baik saja. Ia menyentil dahi Bintang hingga Bintang meringis sambil mengusap dahinya. “Aw, Ish..., Papa. Sakit tau,” protesnya.
“Makanya kalau orang tua ngomong, jangan di potong kayak gitu. Papa belum selesai jelasinnya,” tegur Papa Zidan berdecak kesal dengan sikap anaknya.
“Maaf lagi,” balasnya sambil mencubit kedua telinganya dan sedikit tersenyum malu.
“Udah Papa maafin. Sekarang, Papa mau ngomong sesuatu yang sangat penting untuk Bia. Ini menyangkut masa depan Bia. Dan Papa harap, Bia kuat dan bisa menerima ini semua.” Zidan mengambil tangan Bintang dan meletakkan ke dalam menggenggamnya. Ia menatap seraya salah satu tangannya mengusap dahi Bintang yang berkerut karena bingung dengan maksud ucapannya.
“Papa mau bilang apa sih? Langsung aja, Pa. Papa tidak perlu khawatir, Bia ini perempuan kuat, kebanggan Mama." Bintang menarik tangan Papa Zidan dari dahinya.
Papa Zidan menghembuskan nafas kasar. Bukan ini yang ia inginkan. Ia takut menghancurkan harapan dan mimpi putrinya. Ia takut menyakiti putrinya dengan kabar buruk yang akan ia ungkapkan. Tapi ia juga tidak bisa membuat putrinya tidak mengetahui apapun—terlebih ini menyangkut kehidupan putrinya.
Papi Zidan menggenggam erat tangan Bintang, menatap mata hazel putrinya sekilas. Lalu memejamkan sekilas matanya dan berkata dengan berat hati, “Besok kalian tidak jadi menikah.”
Bintang membeku dengan mata melotot tidak percaya mendengar perkataan Papa Zidan. Ia merasa ucapan itu adalah sebuah lelucon. Karena menurutnya itu tidak akan mungkin terjadi. Tapi tetap saja saat mendengarnya, ia sangat terkejut. Ia mencoba memastikan apa yang ia dengar. Matanya mengerjap dan menatap mata hazel yang mirip dengan matanya. “Papa pasti bercanda,” kekeh Bintang dengan tertawa kecil. Ia mencoba menampik kenyataan yang ia dengar. “Enggak lucu tau, Pa,” imbuhnya melepaskan genggaman tangan Papa Zidan dan mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Tapi sayangnya, Papa sama sekali tidak bercanda Nak,” tekan Papi Zidan seraya mengambil kembali tangan putrinya itu.
Bintang menepis tangan Papi Zidan. Menutup rapat mulutnya dengan perasaan sakit yang perlahan menjalar di hatinya saat mendengar jawaban menekan dari Papa Zidan. Ia menatap langit-langit, lalu menatap Papa Zidan dengan mata yang menahan buliran air mata.
“Nak, kamu harus kuat. Papa akan selalu ada untuk kamu, Nak.” Papa Zidan memegang kedua pundak Bintang dan menarik Bintang perlahan ke dalam pelukannya. Ia tidak sanggup melihat putrinya seperti ini. Ada kepedihan dan kekecewaan dari mata putrinya, dan Papa Zidan bisa lihat itu di mata sang putri.
“Bilang sama Bia, kalau Papa bohong. Mas Langit—enggak akan mungkin membiarkan pernikahan ini batal ‘kan?” terang Bintang pelan dan terbata-bata, tapi masih mampu didengar oleh Zidan.
“Papa tidak bohong, Nak. Bahkan Langit sendiri yang meminta pembatalan pernikahan kalian,” ungkap Zidan dengan suara melemah yang membuat Bintang merasakan sesuatu yang secara perlahan menusuk jantungnya.
Bintang menenggelamkan kepalanya lebih dalam—ke dada Papanya. Rasa sesak yang menyeruak di dalam hatinya, membuat genangan air mata yang akhirnya membanjiri pelupuk matanya. Merapatkan bibirnya tidak percaya, jika Langit mampu melakukan ini padanya.
"Kenapa, Pa? Mengapa Mas Langit membatalkan pernikahan kami?" tanyanya pelan.
"Tanpa alasan, sayang. Baji*gan itu tidak memberi tau Papa alasannya," jawab Papa Zidan dengan amarah membayangkan wajah Langit. “Maafkan Papa yang tidak bisa menjagamu dari Laki-laki bajingan itu,” gumam Papa Zidan seraya mengelus surai milik Bintang.
Bintang mendengar gumaman Papanya, tidak bisa untuk membalas. Apalagi saat mengetahui bahwa Langit membatalkan pernikahan mereka tanpa alasan. Kenyataan itu sungguh sangat melukai perasaannya. Saat ini mulutnya tak bisa berucap, karena hanya keluar isak tangis. Ia menggigit bibir bawahnya, menekan dadanya yang sesak dengan salah satu tangannya, dan tangan satunya juga yang meremas punggung kokoh yang mendekapnya.
Papa Zidan merasakan tangan Bintang yang meremas punggungnya, segera memperdalam pelukannya agar putrinya dapat menyalurkan perasaannya. Menenangkan hati yang saat ini pasti merasa sangat terluka.
“Bu—bukan salah, Papa,” balas Bintang terbata-bata setelah merasa sedikit tenang, meski masih terdengar isakan tangisnya.
“Papa tau setelah mendengar kabar ini, kamu pasti sangat sakit hati. Tapi Papa mohon, jangan menyakiti diri kamu.” Hanya itu harapan Papa Zidan, karena ia sangat takut dengan kemungkinan putrinya akan melukai tubuhnya.
Papa Zidan menarik Bintang keluar dari pelukannya. Ia menatap mata sembab yang di banjir air mata itu dengan pandangan sendu. Ia sudah menebak ini akan terjadi setelah ia mengungkapkan pembatalan pernikahan ini. Dan itu lah yang membuat ia sangat marah pada Langit, karena membuat putri kesayangannya sampai seperti ini. Bahkan sekarang dalam hatinya selalu mengumpat Langit atas semua perbuatannya.
Papa Zidan mengusap air mata Bintang. Menempelkan kedua tangannya di pipi Bintang. Hatinya begitu sakit, melihat kepedihan di mata putrinya.
“Papa harap kamu kuat, Nak. Putri Papa adalah orang yang kuat. Papa yakin itu.” Zidan menatap Bintang dengan binar yakin untuk menguatkan putrinya itu. “Kamu boleh minta apa saja sama Papa. Asalkan itu mampu membuat kamu kuat, dan mengurangi sakit di hati kamu Nak,” pinta Papa Zidan.
Bintang tidak menjawab dan hanya menatap Papanya dengan mata yang memerah karena tangis.
Sedangkan Papa Zidan berusaha untuk membujuk putrinya agar tidak menangis lagi. “Papa enggak mau putri Papa menangis, hanya untuk laki-laki bajingan itu. Asal kamu tau, Nak. Melihatmu terpuruk begini, Mamamu di atas sana pasti marah banget sama Papa dan pasti juga akan bersedih,” sambungnya seraya mengusap surai kecoklatan milik Bintang. “Kamu tidak mau membuat Mamamu di surga, bersedih ‘kan?"
Bintang menggeleng sebagai jawaban. Ia sangat menyayangi mamanya yang di surga. Meski ia hanya memiliki sedikit kenangan bersama dengan mamanya.
Mendapatkan jawaban itu, Papa Zidan kembali berkata dengan lembut, “Kalau begitu, kamu tidak boleh menangis dan kamu harus kuat. Kamu bisa kan, Nak?” Papa Zidan menatap penuh harap pada anaknya. Berharap anaknya mau mendengarnya tidak bersedih lagi.
Bintang menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk paham. Ia menerbitkan senyuman palsu di wajahnya. “Papa tenang saja, Bia kuat.” Bintang memeluk Papi Zidan untuk menutupi perasaannya. Ia memejamkan matanya di sana untuk menekan sakit hatinya.
Setelah beberapa saat, Bintang melepaskan pelukan dan menampilkan senyuman paksa. Lalu berkata, “Bia ke kamar dulu, Pa. Bia capek banget.”
“Iya, Nak. Ingat! Kamu harus kuat! Papi selalu ada untuk kamu, Nak! Jangan menyakiti diri sendiri,” nasihat Papa Zidan dengan penuh penekanan dan mata sayu menatap sang putri.
“Iya, Pa.” Bintang berlalu pergi meninggalkan Papa Zidan yang menatapnya dengan perasaan sendu. Ayah mana yang mau anaknya terluka? Tidak ada bukan?
Setelah melihat Bintang menghilang dari pandangannya, Papa Zidan langsung mengambil ponsel dari saku celananya. Menekan nomor telepon seseorang di sana, lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.
Sambungan telepon itu berdering, sampai berubah menjadi suara pria di seberang sana. Papa Zidan menekankan kata-katanya kepada orang itu, "Saya hanya berharap, tidak ada penyesalan yang terjadi seperti di masa lalu, Tuan."
Setelah panggilan telepon itu terputus, Zidan meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menarik napas, lalu dihembuskan dengan kasar. Perlahan ia membaringkan tubuhnya ke sofa dan memijat dahinya yang terasa ngilu. Jika perasaannya saja saat ini kacau, lalu bagaimana dengan putrinya itu. Zidan tidak habis pikir dengan keputusan Langit untuk membatalkan pernikahan ini, bahkan tanpa alasan yang jelas.
"Kenapa ini harus terjadi pada putriku, Tuhan?" batinnya seraya memejamkan mata.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Putri Minwa
aduh kasihan sekali, sampai batal nikah
2022-11-09
0
Sarah
Pelukkkkk... yang kuat... yang sabar yah Bintang. Semangatttt
2022-10-15
0
Sarah
Ya ampunnnn tega kaliiiii😭😭😭😭😭
2022-10-15
0