5. Kacau

PRANG! PRANG!

"Langit!"

"Kakak!"

"Zidan!"

Suara guci pecah yang dilempar Papa Zidan ke arah Langit, jelas saja langsung menghentikan ucapan Langit. Bahkan semua orang yang menyaksikannya berteriak. Tapi untungnya, Langit tidak terkena guci yang dilempar Papa Zidan, karena ia segera menghindar saat melihatnya.

Semua orang yang berada di sana kaget mendengar suara itu. Mereka tertegun melihat Papa Zidan yang bersikap seperti itu. Bahkan bunga berteriak ketakutan dan langsung melempar ponselnya.

"Sudah cukup, Zidan!" teriak Daddy Alam geram.

"Daddy...," panggil Langit yang melihat Daddy-nya menatap mereka begitu tajam.

"Sudah cukup! Daddy sudah muak melihat kalian seperti ini," tekan Daddy Alam.

"Dan kau, Zidan! Kau sudah melewati batas," tegas Daddy Alam seraya menunjuk pada Papa Zidan

"Tapi, Tuan. Dia—"

"Aku tau maksudmu, Zidan. Sudahlah, jangan membesar-besarkan masalah. Terima saja keputusaan ini. Lagi pula mereka belum menikah 'kan? Bukannya bagus, memutuskan hubungan sebelum pernikahan dari pada setelah pernikahan itu terjadi?" ucap Daddy Alam memotong perkataan Papa Zidan seraya melangkah mendekatinya.

"Tuan, anda tidak seharusnya berkata seperti itu," ujar Papa Zidan sedikit lirih.

"Apa yang tidak bisa aku katakan, Zidan?"

"Tuan—"

"Kau tahu jelas, apa posisimu bukan?"

"Daddy...," panggil lirih Langit pada Daddy Alam. Ia tidak suka mendengar Daddynya mengungkit masalah kedudukan.

"Daddy...," panggil lirih Langit pada Daddy Alam. Ia tidak suka mendengar Daddynya mengungkit masalah kedudukan.

"Kenapa, Nak? Bukankah ucapan Daddy semuanya benar?" ucap Daddy Alam tersenyum sinis. "Dan sebaiknya kau tetap diam, Nak. Bukankah ini yang kau inginkan?" tambahnya dengan menyindir anaknya.

Langit yang mendengarnya, hanya bisa diam. Ia ingin menyalahkan, tapi posisinya sekarang sedang didukung oleh Daddynya atas apa yang telah ia putuskan.

Alam kemudian menatap tajam Zidan yang menatapnya dengan menahan amarah dan tangan yang terkepal kuat. Alam menarik nafas dalam sebelum berkata dengan penuh ancaman, "Lebih baik, sekarang kau pulang, Zidan. Dinginkan kepalamu yang emosimu itu. Putrimu masih membutuhkanmu 'kan? Jangan sampai, kau malah mati di sini."

 Zidan menutup matanya dengan tangan mengepal hingga memutih. Rahangnya mengeras mendengar ucapan Tuan Besar yang sudah ia layani selama 20 tahunan. Ia mencoba menahan emosi yang menggejolak di hatinya. Lalu ia membuka mata sebelum berkata, "Saya sedang membela putri saya, Tuan. Saya sangat menyayangi putri saya, hingga tak sanggup melihatnya terluka. Bahkan membayangkannya pun, saya tak mampu. Anda tidak seharusnya membela yang salah. Sekalipun itu anak anda."

"Ck, kau lupa? Aku juga seorang ayah. Aku juga menyayangi putraku. Dan kau pikir aku mau melihat putraku mati di tanganmu?"

"Tapi dia sudah menyakiti putri saya, Tuan. Dan anda tau itu bahkan mengerti maksud saya, tapi anda diam dan malah membelanya? Aku juga hanya seorang ayah yang kecewa pada pada putramu ini."

"Kau pikir aku tidak marah mendengar keputusannya? Aku marah, Zidan! Sangat marah! Bintang adalah menantu idamanku selama ini. Dia bahkan sudah ku anggap sebagai anakku sendiri. Kau juga harus ingat, Zidan. Aku juga ikut andil merawat putrimu itu. Meski tak sebanyak dirimu, tapi aku tau perasaannya," ujar Alam mengingatkan Zidan tentang perasaannya pada Bintang.

"Anda tidak tau perasaan putriku, Tuan. Anda tidak akan tau sesakit apa dia nanti, saat mendengar pembatalan pernikahan yang diputuskan sepihak oleh putramu. Anda jangan mengada-ada," ucap Zidan dengan pandangan mencemooh sambil menggelengkan kepalannya.

"Kau seharusnya mengerti, Zidan. Mungkin mereka bukan jodoh. Akan lebih baik jika Bintang mencari pria lain, bukan?" balas Alam.

Deg!

Jantung Langit berdetak kencang saat mendengar ucapan Daddy Alam. Matanya menatap tajam pada Daddynya. Dadanya rasanya sangat panas mendengar hal itu. Bahkan amarah yang tadi kian surut karena bogeman calon mertuanya, sekarang amarah itu kembali meradang. Ia tentu belum siap jika harus melihat Bintang bersama dengan pria lain. Meskipun ia telah membatalkan pernikahan ini. Hatinya memanas hingga ia hanya bisa mengepalkan kedua tangannya dengan erat.

"Sebaiknya kau pergi sekarang, Zidan. Aku sudah lelah berdebat denganmu. Kau pergilah, Bintang masih membutuhkanmu untuk menghapus air matanya," ucap Alam kembali, berniat memutus perdebatan mereka.

Zidan tersenyum remeh sebelum berkata, "Baik, Tuan. Saya akan pergi. Mungkin ini memang sudah mencapai batas waktu saya, untuk melayani Tuan. Saya juga lelah dengan semua ini. Terima kasih untuk semua kebaikan tuan selama ini. Saya—"

"Aku tidak memintamu berhenti bekerja bersamaku, Zidan!" putus Alam berdecak kesal.

"Tapi saya memutuskan untuk berhenti, Tuan. Anda tentu tau, saya harus menenangkan putri saya yang akan patah hati. Dan saya butuh waktu luang yang banyak untuknya. Karena saya lebih memilih kehilangan semua harta saya dari pada putri saya. Saya juga tidak akan sanggup bekerja di bawah kekuasaan anda lagi, Tuan. Saya tidak sanggup melihat wajah anak anda yang dulu selalu meyakinkan saya, tentang cintanya pada putri saya. Saya tidak sanggup melihat bajingan itu, Tuan." Tekan Zidan panjang lebar. Matanya tak lepas dari dua pria itu—ayah dan anak yang selalu ia hormati.

Alam hendak menanggapi ucapan Zidan, tapi Zidan langsung mengangkat tangannya ke depan Alam. "Izinkan saya bicara, Tuan. Dan ini mungkin akan jadi perkataan saya yang terpanjang," sela Zidan.

"Silahkan, tapi hanya bicara! Jangan mencoba melukai anakku,"  kata Alam seraya mendudukkan tubuhnya kembali di sofa.

Zidan tersenyum sinis, menatap Langit yang masih berdiri kokoh di depannya. Lalu ia menatap pada Tuan yang sudah sangat ia kenal luar dalamnya.

"Saya tentu tidak akan menyakitinya, Tuan. Meski saya ingin sekali membunuhnya. Saya masih ingat dengan putri saya yang mungkin, akan sangat marah jika tau saya membunuh kekasihnya. Ups..., mantan kekasihnya. Putri saya adalah satu-satunya harta paling berharga yang saya punya. Bintang adalah putri yang sangat... saya sayangi. Dan Bintang—" Zidan menjeda ucapannya, lalu menatap Bumi dengan pandangan berbeda.

Deg!

Langit merasakan sengatan di dadanya saat mendengar nama kekasihnya disebut oleh pria paru baya di depannya. Apalagi saat melihat mata Papa Zidan yang menunjukkan kepedihan, bukan amarah seperti yang ia terima tadi.

Zidan menarik nafas kasar sebelum berkata sambil menunjuk ke dada Langit, "Bintang memilihmu untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi kenapa, Nak? Apa salah Bintang selama ini? Kenapa kau memberinya harapan, tapi kau juga yang menghancurkan harapannya? Bukankah kau yang datang padaku, membujukku, dan meminta Bintang padaku? Aku sungguh kecewa padamu, Nak. Seharusnya aku tak pernah membiarkan kalian bersama."

Zidan menurunkan telunjuknya dari dada Langit sebelum berkata, "Kau bilang, akan membuat Bintang bahagia. Kau bilang, tidak akan membiarkan setetes air mata jatuh di pelupuk matanya. Kau bilang, selalu ingin bersama Bintang untuk selamanya. Lalu kemana semua ucapanmu itu, Nak?" Zidan berucap lembut dengan penekanan di setiap katanya, namun terdengar menyakitkan di telinga Langit.

Langit mengepalkan kedua tangannya. Ada rasa sesak yang menyelusup masuk ke hatinya saat mendengar ucapan pria paruh baya yang selalu ia panggil 'Papa'.

"Nyatanya, kau hanya memupuk harapan dan menumbuhkan cinta. Lalu kau menggoreskan luka yang dalam padanya, dengan menghancurkan semua harapannya. Kau tahu, Nak? Menikah denganmu adalah pernikahan yang sangat Bintang impikan. Bintang sangat mencintaimu! Lalu bagaimana perasaannya? Saat tau tentang pernikahannya yang batal? Dan yang pasti, akan lebih menyakitkan saat ia tau, yang membatalkan pernikahan ini adalah laki-laki yang sangat ia cintai. Apa kau memikirkan semua itu, Nak?"

Zidan menengadahkan kepalanya. Lalu menutup matanya yang menahan keluarnya air mata. Ia melihat Langit yang hanya diam mendengarnya. Setelah beberapa detik, ia kemudian menarik nafas dalam sebelum melanjutkan ucapan terakhirnya.

"Bintang pasti akan sangat sakit hati. Tapi ucapan Tuan Alam memang benar. Sebaiknya pernikahan ini berakhir sebelum terikat. Karena akan lebih sakit, melihat seorang suami yang mencampakkan istrinya. Saya permisi," tuturnya seraya membungkukkan kepalanya hormat dan pergi meninggalkan ruang keluarga Abhivandya, dengan amarah yang coba ia tahan.

Semua orang diam dengan pikiran masing-masing. Tanpa semua orang sadari, Alam yang tengah duduk di sofa menahan air matanya dengan tangan mengepal kuat. Ia merasa tertohok dengan setiap ucapan Zidan. Seolah Zidan sedang menyindirnya.

Sedangkan Langit hanya diam dan tatap berdiri di tempatnya. Wajahnya sudah sangat berantakan dengan luka di sudut bibirnya sebab bogem mentah dari Papa Zidan.

Berbeda halnya dengan Bunga dan Mommy Rania yang sedari tadi tidak henti-hentinya menangis sambil berpelukan. Mereka merasa sangat sedih melihat kejadian ini.

Ruangan keluarga Abhivandya yang biasanya bersih dan menjadi tempat berbagi tawa, sekarang tampak kacau dengan banyaknya dekorasi pernikahan yang berhamburan bersama dengan pecahan guci yang di lempar Zidan.

"Bersihkan kekacauan ini," perintah Alam pada para pelayan sebelum berdiri dan pergi meninggalkan kekacauan di depan matanya.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Putri Minwa

Putri Minwa

lanjut, jangan lupa mampir Dibalik kesetiaan Nayla ya thor

2022-11-09

0

Sarah

Sarah

kenapa sih ga bilang langsung aja alasannya. jadi bikin tambah kesel kan. gemeeeeeesss pingin jitak.

2022-10-28

1

Sarah

Sarah

lah gimana sih. kok dia kayak ga rela gitu bintang sama yg lain. kan dia sendiri yang batalin. knp jadi galau?

2022-10-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!