Bab 3 Teman Lama

Pagi sekali Benjamin sudah pergi tanpa menyiapkan sarapan, itu cukup aneh apalagi ia tidak meningalkan pesan. Akhirnya Patricia mengurus segalanya sampai Benjamin pulang, dengan muka merah yang nampak letih ia menyandarkan bahu pada kursi.

"Apa ada pekerjaan baru?" tanya Patricia.

"Yeah, kau tahu akan ada pesta nanti malam di balai desa," jawabnya.

"Pesta apa?" tanyanya lagi.

"Kau lupa perayaan desa kita?" balas Benjamin bertanya.

"Ouh," sahut Patricia yang memang melupakan pesta itu.

"Kau harus datang, semenjak kembali kau tidak pernah berinteraksi dengan penduduk sekitar. Kau bahkan melupakan Emily," ujar Benjamin yang kemudian pergi kedalam.

Itu memang betul, semenjak kembali ke desa itu ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Sebagian besar mengurung diri di kamar, hanya sekarang karena ada Sonu ia mau keluar itu pun ke hutan yang jelas tak ada orang.

"Ada apa?" tanya Sonu melihat wajah murung Patricia.

"Um... kakek menyuruh ku datang ke pesta nanti malam," sahutnya.

"Apa itu masalah?" tanya Sonu lagi.

"Sebenarnya tidak, hanya saja rasanya aku belum siap bertemu dengan yang lain. Termasuk Emily," jawabnya yang tiba-tiba teringat masa kecilnya bersama sahabatnya itu.

"Kau siap menantang maut tapi tidak mampu menghadapi manusia, sebaiknya kau urungkan niatmu menjadi ksatria sebab kami mendapatkan pekerjaan dari manusia. Terlebih beberapa manusia berkuasa yang menyebalkan," ujar Sonu.

"Aku tidak takut pada manusia, apalagi mereka adalah orang-orang yang ku kenal saat masih kecil!" ujar Patricia merasa sedikit tersinggung.

"Lalu apa masalahnya?."

"Kau tidak akan mengerti, ada beberapa hal sederhana yang justru sulit untuk dipahami orang lain."

Sonu jelas menyadari bahwa Patricia tidak nyaman akan hal ini, menghormati privasinya ia memutuskan untuk tidak mengorek lebih jauh.

"Sarat menjadi ksatria adalah pemberani, jika menurut orang lain mudah maka kau bisa membuatnya mudah. Setiap ksatria harus menjadi lebih pemberani lagi, jika kau merasa tak sanggup pegang tangan patnermu," ujar Sonu sambil mengulurkan tangannya.

Patricia melihat tangan itu, begitu kasar dan ada bekas luka sayatan kecil di beberapa tempat. Tangan khas ksatria yang telah melewati berbagai kesulitan, berbanding terbalik dengan wajahnya yang memiliki senyum bersahabat bahkan jauh dari kata sangar yang biasanya dimiliki ksatria.

Untuk pertama kalinya setelah hari itu seseorang mengulurkan tangannya, ini membuat haru meluap pada hati Patricia hingga air mata hampir menetes. Tapi ia memiliki sikap angkuh yang mengubur sisi femininenya, meski begitu ia memberikan tangannya untuk digenggam Sonu dan membalas senyumnya.

Saat matahari telah terbenam maka bel pun dibunyikan yang tandanya pesta telah dimulai, Benjamin bersama Patricia dan Sonu pergi bersama menghadiri pesta itu.

Sesuai ucapannya tadi siap Sonu menggenggam tangan Patricia untuk meredam gemetar tangannya, menghilangkan kegugupan Patricia dan menggantikannya dengan sebuah senyuman.

"Benjamin!" teriak seorang pria memanggil begitu mereka tiba.

Benjamin melambaikan tangan sambil tersenyum kemudian berkata, "Aku akan menemui teman-temanku, berbaurlah dengan yang lain dan nikmati pestanya."

Patricia mengangguk dan membiarkan kakeknya pergi, setelah beberapa kebingungan perhatiannya tertuju pada seorang gadis yang berjalan kearahnya.

Perlahan ingatan masa kecil kembali pada benaknya yang akhirnya melepaskan genggaman Sonu dan berlari ke arah gadis itu, begitu saling bertemu mereka berpelukan dengan cukup erat untuk melepaskan kerinduan.

"Emily, aku begitu merindukanmu!" ucapnya setelah melepaskan pelukan.

"Aku juga, aku sudah mendengarnya dari Benjamin. Aku turut berduka cita," sahut Emily sungguh-sungguh.

"Well, itu sudah terjadi dan aku harus melanjutkan hidup bukan? terimakasih," balasnya.

Emily tersenyum tulus, saat kecil mereka sangat dekat hingga bisa mengerti perasaan satu sama lain tanpa kata.

"Jadi... siapa yang datang bersama mu?" tanya Emily melirik Sonu yang berdiri dibelakang.

"Oh kenalkan dia Sonu," jawab Patricia.

Mereka saling mengenalkan diri dan bersalaman.

"Oh kau harus mendengar ini, kau tahu si gendut Estes? sekarang dia sudah menjadi pemuda tampan yang gagah," ujar Emily antusias.

"Sungguh? bagaimana bisa?" tanya Patricia mengingat satu lagi teman masa kecilnya.

"Dia sekarang menjadi prajurit istana, dia bahkan tergabung dalam prajurit khusus yang telah mendapat pengakuan dari Raja."

"Astaga, apa kau benar-benar sedang membicarakan si gendut?" tanya Patricia tak percaya.

"Kau harus bertemu dengannya! dia sengaja pulang untuk ikut menghadiri pesta," ajaknya.

Tanpa meminta persetujuan Patricia Emily langsung menarik tangannya, memaksanya berjalan sementara Sonu mengikuti dari belakang.

Dari kejauhan mereka sudah bisa melihat seorang pemuda yang tengah digandrungi gadis-gadis, sekali lihat saja Sonu sudah bisa menebak itu adalah Estes yang mereka bicarakan sementara Patricia masih tak mengenalnya.

"Estes!" panggil Emily agar pemuda itu melihat ke arahnya.

Saat mata pemuda itu menatap Patricia ekspresinya berubah haru, segera tangannya pun menarik tubuh Patricia dan memeluknya dengan erat. Membuat para gadis yang melihatnya iri.

"Oh Patricia! kapan kau kembali?" tanyanya.

"Belum lama, bagaimana denganmu?" balasnya.

"Baru datang beberapa hari yang lalu."

"Kau... heh bagaimana bisa?" tanya Patricia sambil menonjok perut sixpack Estes.

Estes hanya tertawa kecil, siapa pun tentu tidak akan menyangka pada perubahan fisik yang ia miliki. Bahkan Patricia yang ia kenal sejak kecil, apalagi Patricia sempat pergi dari desa itu untuk waktu yang cukup lama.

"Oh perkenalkan ini Sonu," ujarnya sambil menarik tangan Sonu agar ia mendekat.

Fokus pada cara Patricia menggenggam tangan Sonu membuat Estes tahu pemuda yang kini berdiri di hadapannya memiliki sesuatu yang spesial, wajahnya tersenyum tapi Sonu tahu hatinya tidak.

"Senang bertemu denga mu," ujar Sonu mengulurkan tangan.

"Aku juga, apa kau warga baru?" tanya Estes menyambut tangan itu.

"Bukan, hanya pengelana yang menumpan lewat."

"Oh, ksatria bayaran huh?" tanya Estes.

Sonu mengangguk seraya tersenyum, tapi tangan mereka masih berjabat dan semakin mengeras. Patricia yang entah mengapa merasa berada ditengah pertarungan segera melepaskan jabatan tangan itu seraya tersenyum canggung.

"Jadi bagaimana pekerjaan mu? ku dengar kau tergabung dalam satuan prajurit hebat," tanya Patricia mencoba mencairkan suasana.

"Yeah, kau tahu pertarungan demi pertarungan. Kebanyakan tugas kami hanya memimpin pasukan dalam perang," sahut Estes yang kembali tersenyum hangat.

"Sungguh? bukankah itu hebat? kau seorang pemimpin kawan!" ujar Patricia antusias.

Pertanyaan demi pertanyaan pun ia ajukan yang membuat Estes semakin semangat untuk bercerita, hanya Sonu yang merasa tidak senang sebab rupanya Patricia bukan hanya tertarik pada kisahnya saja.

Entah mengapa ia merasa seperti seorang kekasih yang baru saja diselingkuhi didepan mata, itu membuatnya muak hingga memutuskan untuk pulang seorang diri. Sementara Patricia sibuk tertawa dengan dunia lama yang telah kembali kepadanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!