Trang Trang Trang
Pedang itu saling bertemu diudara, saling bergesekan dan menekan. Jika mereka sekelompok monster maka ia masih memiliki peluang untuk menyelamatkan diri, tapi mereka adalah manusia dengan kemampuan pedang yang mumpuni. Ditambah dengan kecepatan berlari yang hebat ia tak yakin akan selamat dari pertempuran ini, terlebih ia kalah jumlah.
Mau bagaimana pun setidaknya sebagai ksatria ia harus melawan, mati dengan kekalahan telak lebih baik dari menangkup kedua tangan.
Trang Jleb
"Ah!" pekiknya saat ujung pedang musuh berhasil menusuk bagian perutnya.
Sreet
"Uh.." rasanya bagai terbakar dan nyeri secara bersamaan saat bilah pedang itu meninggalkan dagingnya yang terkoyak.
Mundur beberapa langkah dengan terhuyung ia merasa inilah akhir dari petualangannya, tapi sebelum itu.
Bruuuuhhhh
Aaaaaaaaaaa
Ia menebar bubuk pada udara agar terisap dan masuk ke mata mereka, menyebabkan rasa perih hingga untuk beberapa saat mereka tak bisa melihat dengan baik. Itu memberi sedikit waktu kepadanya untuk kabur, setidaknya ia harap jasadnya di makan oleh orc dari pada ditemukan musuh.
Dengan sisa tenaga yang masih ada kepalanya mulai berdenyut dan pandangannya mulai kabur, ditengah malam buta itu tak ada yang bisa ia lihat dengan jelas.
Srek
Aaaaaaaaaaa
Buk Buk Buk
Bruk
"Uh!" erangnya setelah beberapa kali tubuhnya terbentur saat terjatuh.
Ia menatap langit, hanya ada kegelapan. Tapi dalam kegelapan itu ia bisa melihat betapa tingginya jurang itu, tubuhnya yang babak belur sudah tak dapat digerakkan lagi. Kini yang bisa ia lakukan hanya menikmati waktu.
Hhhhhhh Hhhhhhh Hhhhhh
"Sial! robekannya terlalu besar, jika begini...mungkin ini akan menjadi misi terakhir ku."
Srak Srak Srak
"Cari disana! dia terluka berat pasti tidak akan bisa lari jauh!."
Hhhhhh Hhhhh Hhhhh
"Cih! masih mencoba mencari mayatku hah? apa yang akan kalian lakukan? melemparnya ke orc...atau serigala?."
"Uh... kepalaku mulai berdenyut, mengapa... rasanya sangat ngantuk sekali?."
...----------------...
Matanya terbuka tepat saat sinar matahari masuk melalui jendela yang terbuka, pagi seperti hari-hari yang lalu tanpa semangat. Setelah cukup lama meninggalkan desa kini ia kembali dengan banyak perubahan, yang tak pernah ia sangka rupanya desa itu tak banyak berubah berbeda dengan dirinya.
"Patricia! kau sudah bangun?" teriak Benjamin dari ruang makan.
Patricia mendengus kesal, kebiasaan kakeknya berteriak sangat mengganggu ketenangan hidupnya. Ia seorang pria tua tapi tingkahnya seperti nenek-nenek, begitu cerewet, banyak mengatur dan menyebalkan.
"Aku datang!" balasnya berteriak, segera ia bangkit meninggalkan kasur kerasnya demi memenuhi panggilan itu.
Di ruang makan Benjamin masih mengenakan celemek lusuhnya dan baru menuangkan sup panas kedalam mangkuk, membuat dua porsi sarapan untuknya dan cucunya.
Setelah selesai tanpa melepas celemeknya Benjamin duduk sambil berkata, "Kakek akan pergi menemui kepala desa, ada pekerjaan yang harus kakek selesaikan hari ini juga."
"Aku akan pergi mencari kayu bakar!," balas Patricia.
"Terimakasih nak, tapi ingat jangan sampai masuk terlalu jauh kedalam hutan. Kau tahu tempat itu tidaklah aman," sahutnya.
"Aku tahu!" tegas Patricia.
Benjamin pergi setelah sarapan, begitu juga dengan Patricia. Berbekal sebilah cerulit untuk jaga-jaga ia menyusuri pinggiran hutan, mengumpulkan kayu bakar sebisanya juga jamur untuk lauk makan malam.
Hutan itu begitu lembap, air hujan yang mengguyur beberapa hari yang lalu telah meninggalkan bau apek. Jika ingin mendapatkan jamur lebih banyak ia tahu harus masuk lebih dalam lagi, meski Benjamin telah melarangnya tapi sejauh ini tak pernah ada kasus penyerang monster jadi ia yakin hutan itu aman.
Sesuai dengan harapannya, ia mendapat banyak jamur dengan ukuran yang lebih besar lagi. Itu membuatnya semakin bersemangat untuk terus mencari, sampai akhirnya ia menemukan yang paling besar.
"Hmmm, mungkin akan sedikit sulit," gumamnya menatap medan yang harus ia tempuh demi mendapatkan jamur itu.
Tempatnya berada tepat diakar pohon tepi jurang, karena tanahnya licin ia tahu satu langkah yang salah akan membawanya pada kematian.
Satu tangan berpegangan pada dahan sementara yang lain terulur mencoba meraih, cukup sulit karena tangannya kurang panjang. Semakin ia merentangkan tangannya wajahnya semakin memerah, seperti tomat rebus.
Srek
"Ah!" pekiknya saat kakinya sedikit tergelincir dan hampir jatuh, terengah-engah ia menarik diri ke tempat yang aman.
Tapi sesuatu yang ia lihat dibawah jurang itu membuat keningnya berkerut, tak ingat jelas apa yang sebenarnya telah ia lihat tadi Patricia mencoba melongok.
Butuh beberapa detik untuk mengerti warna hitam apa yang tertimbun dedaunan, dengan cepat ia segera mencari jalan untuk turun kebawah sana. Tentu bukan hal mudah karena tanah yang licin, tapi ia bisa melakukannya dengan baik hingga berhasil turun dengan aman.
Srek Srek Srek
Sedikit demi sedikit dan dengan hati-hati ia menyingkap dedaunan itu hingga sebuah wajah pucat dapat ia lihat dengan jelas, setelah memeriksa denyut nadinya ia yakin orang itu masih hidup hanya saja melihat luka robek di perutnya terlalu parah.
Tak bisa meninggalkannya begitu saja Patricia memutuskan untuk membawa orang itu ke rumah, merawatnya dan menyelamatkan nyawanya. Saat Benjamin tahu tentang hal ini ia hanya dapat berkomentar, "Lakukan yang terbaik!."
Tiga hari kemudian Benjamin mulai penasaran siapa orang yang telah diselamatkan cucunya tersebut, karena dia belum juga siuman maka dia memutuskan untuk meminta tabib untuk memeriksanya lagi setelah menjahit luka robek itu.
"Apa kau menemukan sesuatu tentang dirinya?" tanya Benjamin sebelum pergi.
"Tidak, selain pakaian yang ia kenakan hanya ada beberapa belati dan koin," jawab Patricia.
"Baiklah, terus awasi dia!" perintah Benjamin.
Ia pun pergi dan tak lama kemudian datang kembali bersama seorang tabib, setelah melakukan pemeriksaan sang tabib hanya mengatakan bahwa luka yang orang itu terima cukup berat dan butuh waktu untuk menyembuhkannya. Selama ia masih bernafas dan nadinya masih berdenyut berarti masih ada harapan, sisanya mereka hanya bisa berharap ia akan cepat sadar.
"Terimakasih," ujar Benjamin sambil mengantar tabib keluar setelah pemeriksaan.
"Tidak masalah, ini sudah menjadi tugasku. Lalu apa kau sudah tahu siapa dia?" balasnya.
"Dilihat dari pakaian yang dia kenakan dan barang-barangnya aku rasa dia seorang ksatria."
"Sungguh? tapi apa yang dilakukan ksatria disini? apalagi dalam keadaan terluka seperti itu," tanyanya penasaran.
"Itulah yang masih menjadi misteri, kita hanya bisa berharap dia cepat sadar agar kita tahu apa yang telah terjadi."
"Kau benar Benjamin, ini membuatku cukup gugup. Kau tahu desa kita adalah tempat paling damai diseluruh daratan Sylary, jarang ada monster atau perompak."
"Tenanglah, kita punya prajurit istana yang siap membantu kapan pun," ujar Benjamin menenangkan.
Tabib itu tersenyum sambil terus berjalan pulang ditemani Benjamin, sementara di rumah Patricia duduk tepat disamping pemuda itu memerhatikan wajahnya yang keras dan sedikit memainkan belati.
Ada ketertarikan tersendiri baginya pada benda tajam itu, ukirannya yang indah membuat tangannya tak bisa berhenti mengelus. Lalu mata coklatnya yang tercermin dari bilah belati yang mengilap, bagai mengajaknya memainkan sesuatu yang menantang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments