W.K 2

Aku terpaku, menatap sosok laki laki yang sedang berdiri tak jauh dari tempatku berada. menghentikan langkah ini, menajamkan penglihatan, benarkah dengan apa yang kulihat ini. tubuh ini seolah kehabisan tenaga hingga kedua kakiku tak sanggup lagi menopang keseimbangan tubuhku.

Tanpa sadar semua berkas yang ada ditangan terjatuh berceceran di lantai, dan itu mengundang semua mata menatap panik ke arahku, tak terkecuali laki laki yang sempat mengoyak hati ini hingga hancur berkeping keping.

Tertangkap jelas gurat keterkejutan di raut wajahnya, ketika mata kami saling bertemu dengan tatapan saling mengunci.

"Bu Muthia baik baik saja kan?"

Aku tersadar dari keterpakuan akan fakta yang ada di hadapanku, setelah ada suara Dewi asistenku mendekat dan mulai mengambil kertas yang sudah berserakan di lantai.

"Saya gak papa, maaf yaa sudah bikin kamu repot." Jawabku gugup dengan pandangan yang masih tertuju pada sosok itu.

Dewi tersenyum sambil merapikan semua berkas yang sudah dia punguti dan menatanya ulang.

"Gak papa Bu, ini sudah tugas saya.

Kalau ibu lagi tidak enak badan, lebih baik istirahat dulu sebentar, biar saya pesankan teh hangat buat ibu. Ibu silahkan duduk dulu di sebelah sana." Dewi menunjuk sebuah bangku kosong yang berada tak jauh dari tempatku berdiri.

Akupun mengangguk mengiyakan arahan Dewi. 'sebaiknya aku merilekkan dulu pikiran ini, kenapa aku masih selemah ini, padahal itu adalah masa lalu yang sudah berakhir.'

Dengan langkah gontai aku memilih duduk di salah satu bangku kosong sambil menunggu Dewi memesankan minuman hangat, mungkin setelah aku istirahat sebentar, aku akan kembali mampu mendamaikan hati ini.

Kuhembuskan nafas ini berlahan sambil menutup kedua mata, untuk sedikit melegakan rasa yang menghimpit dada, luka lama itu seolah kembali tersayat, dan perihnya begitu menyiksa.

Saat kembali membuka kedua mataku, sudah ada seseorang yang berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan tajamnya.

Kami saling menatap dalam diam beberapa saat.

Hingga kami saling membuang muka ke sembarang arah setelah menyadari ada seseorang yang meletakkan secangkir teh panas di atas meja tempatku istirahat saat ini.

"Silahkan diminum dulu Bu, semoga setelah minum yang hangat hangat,Bu Muthia lebih baikan." 

"Trimakasih Wie."

"Kalau begitu saya masuk duluan ya Bu, sambil menyiapkan materi yang nanti dibutuhkan."

Ku anggukkan kepala dan tersenyum ramah pada gadis manis usia dua puluh tahunan itu.

"Boleh aku duduk disini? Aku ingin bicara sebentar saja, jika itu kamu ijinkan." Suara bariton yang sudah lama tak terdengar di telinga ini tiba tiba membuyarkan pikiran dari bayangan masa lalu.

"Silahkan kang." Jawabku datar tanpa ekspresi, meskipun jujur hati ini sudah tak karuan, perasaan yang sekian tahun terkubur, kini kembali terbuka lagi.

Laki laki itu, masih saja sama seperti dulu, tetap menarik dengan kharisma bersahajanya, senyuman itu, tatapan teduh matanya, aah rindu ini semakin membuat sesak di hati.

"Apa kabarnya?"

Ia mengawali percakapan.

"Alhamdulillah seperti yang kang Aswin lihat sekarang, baik dan sehat." akupun tersenyum menyembunyikan rasa yang sudah tidak karu karuan.

"Kang Aswin sendiri, apa kabar?"

Ganti melontarkan pertanyaan basa basi, untuk menutupi kegugupan yang kini menyerang ku.

"Alhamdulillah, baik.

Sudah jadi bapak dua anak ini." 

Matanya sambil menatapku hangat, masih sama dengan tatapannya yang dulu.

Menanggapi dengan senyuman dan menundukkan wajahku dari tatapannya.

"Thia, maafin aku kalau dulu saat menikah tidak memberi kabar." Lanjutnya, tampak mendung bergelayut dikedua bola mata elangnya.

Hening.....

Saling membisu dengan pikiran masing masing.

"Sudahlah kang, semua sudah berlalu, mungkin jodoh nya kang Aswin bukan aku." Memaksakan tersenyum meski hati terasa sakit.

"Sebelum aku memutuskan menikah dengan pilihan orang tua, aku sudah berusaha mengutarakan niatku untuk melamar kamu waktu itu, mungkin kesannya aku terburu buru hingga membuatmu tidak yakin dengan niat itu." 

"Semua sudah berlalu dan sekarang kita punya jalan masing masing, melihat kang Aswin bahagia, aku juga bahagia." Jawabku lirih sambil menundukkan kepala dan menahan sekuat hati agar buliran buliran bening itu tidak terjatuh, meskipun hati berusaha iklas menerima, tak terpungkiri jika luka itu masih sangat terasa sakitnya.

"Iyaaa, semua sudah berlalu dan kita sudah punya kehidupan masing masing."

Kang Aswin pun menimpali sembari memalingkan wajah ke samping, ada gurat kecewa disana.

" Apa Pa kabarmu Thia, suamimu tidak ikut?." Lanjut kang Aswin dan seketika dada ini mulai terasa sesak dengan pertanyaan yang ia lontarkan.

Pertanyaannya membuat hati ini makin terasa perih.

'Taukah kamu kang, kalau hati ini belum mampu berpaling dari mencintaimu, meskipun aku tau, jika semua sudah tidak mungkin untuk kita kembali bersama.'

Memberanikan diri melihat wajah dan menatapnya lekat, mencari rasa itu apakah masih tersirat dari sorot matanya yang sayu, sorot yang selalu aku rindukan.

"Aku masih sendiri kang, belum menikah, apalagi punya anak." Jawabku datar.

Hening.......

Membisu dalam bayangan lintasan Masa lalu, dimana keyakinan untuk menjalani kehidupan bersama, menghabiskan masa tua tetap dengan cinta dan kesetiaan, namun akhirnya semua itu kandas hanya karena sebuah perjodohan.

Kami membisu dengan pikiran masing masing.

"Muthia, maafin aku.

Maaf.....!" Sambung kang Aswin sendu dan air matanya sudah jatuh tanpa bisa lagi ditahan.

Pandangannya tertuju pada kedua tanganku yang saling bertautan di atas meja.

"Tidak ada yang perlu dimaafin, karena kang Aswin tidak bersalah dalam hal ini, bukankah aku sendiri yang tidak mengiyakan lamaran kang Aswin waktu itu.?"

Mata kami saling bertemu dengan tatapan mengunci.

Suara telepon dari ponselku membuyarkan kebisuan diantara kami.

Nama Dewi tertera di layar datar milikku.

"Iya Wie, gimana?"

"Sebentar lagi pertemuan dimulai Bu, Bu Muthia sudah ditunggu."

"Baiklah, saya akan segera kesana."

Mematikan sambungan telepon dari Dewi dan berpamitan dengan kang Aswin.

"Kang saya permisi dulu ya, insyaallah Alloh jika ditakdirkan untuk bertemu lagi, semoga dengan keadaan yang lebih baik."

"Muthia, boleh aku minta nomer ponselmu." Pinta kang Aswin.

"Aku mengernyit menatapnya ragu.

"kamu jangan salah paham, aku hanya ingin mengundangmu untuk jadi pembicara di acara peresmian yayasan yang sebentar lagi akan dibuka." Seolah mengerti keraguan ini, hingga tanpa di minta, kang Aswin menjelaskan secara detail.

"Boleh..."

Memberikan satu kartu namaku dari dalam tas, dan menyodorkannya ke arah kang Aswin.

"Ini kang, kang Aswin bisa hubungi saya ke nomer yang ada disitu."

"Kalau begitu saya pamit dulu ya, Assalamualaikum..."

"Waalaikumsallm jawabnya lirih."

#Masa lalu, yang sudah membuatku hampir gila karena sebab penyesalan. Cinta yang tak mau pergi hingga saat ini, rasa yang tak mampu pergi dari relung hati terdalam. Dengan susah payah aku bangkit dan berusaha untuk melupakan. Tapi kini, cinta itu datang lagi, dengan sosok yang sama tapi dengan keadaan yang berbeda. Tuhan, ujian yang seperti apa lagi yang akan aku jalani setelah ini.

Terpopuler

Comments

neng ade

neng ade

nyesek banget thor

2023-06-11

1

Sasya Angel

Sasya Angel

semangat

2022-10-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!