Nalendra terkejut ketika Dareen tiba-tiba duduk di pangkuannya. Jantungnya berdetak tak karuan apalagi setelah menyadari Rania menatapnya.
"Ah, i- tu ...,"
"Haturnuhun," ucap Rania tersenyum.
Nalendra bersyukur kulitnya sawo matang, setidaknya itu mungkin bisa menutupi wajahnya yang memerah karena Rania tersenyum padanya. Dia mengusap kepala Dareen lembut, menyembunyikan rasa gugupnya.
"Sudah sore, kami pamit ya Rania," kata Bu Adni berpamitan. Beliau memeluk Rania untuk menguatkannya.
"Terimakasih, Bu." Bu Adni mengangguk.
Rania dan orangtuanya juga mertuanya mengantarkan rekan-rekan Ergha sampai parkiran. Nalendra dan teman-temannya masih mengobrol di luar rumah orangtua Rania ditemani Dareen yang sepertinya nyaman sekali duduk di pangkuannya sampai waktu magrib tiba, mereka berjamaah di mesjid terdekat dan pamit pulang.
Ini adalah malam pertama Rania tanpa Ergha di sampingnya. Dia tidak mampu membendung tangisnya ketika melihat Dareen tertidur pulas di sampingnya. Cara tidur Dareen begitu mirip dengan Ergha, Rania membelai wajah anak semata wayangnya dengan lembut.
"Jadilah anak yang shaleh, yang kuat agar Bunda juga bisa kuat melewati semuanya tanpa ayahmu. Insya Allah kita bisa melewati semuanya, Allah sungguh Maha Baik, Maha Perencana yang baik. Allah punya rencana yang sangat indah buat kita berdua, Dareen. Bunda sayang Dareen." Rania mencium kening Dareen lembut tanpa membangunkannya.
Hari yang panjang dan sangat menguras emosi tidak membuat Rania terlelap, bahkan dia tidak bisa tidur. Nafasnya sungguh berat. Jam sudah menunjukan pukul dua dini hari, tetapi Rania tetap belum bisa memejamkan matanya. Pikirannya sangat kalut, air mata terus merembes ke pipinya.
Akhirnya, dia memutuskan untuk bangun mengambil air wudhu dan shalat malam. Dia ingin mengadu pada Rabb-Nya, berharap Rabb-Nya akan menguatkan dan menenangkan hatinya yang kalut.
Waktu sungguh berjalan amat lambat, itulah yang Rania rasakan sekarang. Menunggu waktu subuh sambil membaca Alquran.
"Buunnaaaa." Dareen sepertinya melompat dari tempat tidur dan langsung memeluk dari belakang Rania yang sedang duduk di sajadahnya .
"Sudah bangun?" tanyanya membelai pipi Dareen dari samping.
"Bunda, ayah ko ga pulang?" tanyanya membuat Rania agak gelagapan. Namun, dia berusaha tenang.
"Ayah sudah pulang, Sayang. Allah telah memanggil ayah karena merindukannya." Entah Dareen mengerti atau tidak apa yang baru saja Rania katakan.
"Jadi kapan ayah kapan akan pulangnya?" tanyanya lagi.
"Apa Dareen rindu ayah?" Rania balik bertanya pada putra kesayangannya.
"Iya, Aku ga sabar deh ketemu ayah," jawabnya polos.
"Ga sabar? kenapa emangnya, Sayang?" tanya Rania lembut.
"Ayah kan janji sama aku mau beliin sepeda buatku. Bunda, besok 'kan hari Sabtu, ayah libur 'kan?" tanyanya lagi.
Rania menarik nafas pelan. Rasanya sakit sekali mendengar penuturan anaknya, seperi tertusuk sesuatu yang tajam.
"Iya, nanti biar bunda atau Om Zyan aja yang beli ya," jawab Rania.
"Kenapa? apa ayah ga mau beliin aku sepeda. Bukankah ayah janji, Bunda. kalo janji kan harus ditepati, iya kan Bunda," jelasnya.
"Bukan, bukan ayah ga sayang lagi. Ayah sangat sayang sama Dareen juga bunda. Kemarin ayah sudah bilang ke bunda dan nitipin uangnya ke bunda. Jadi nanti biar bunda aja yang beli diantar Om Zyan, Ok Sayang."
"Apa ayah kerja luar ya Bunda. Ko ga bisa aku." terdengar seburat kekecewaan dalam suaranya.
"Tidak, Sayang," jawab Rania. "Eh, ko malah ngobrol. Ayo cepat masuk kamar mandi ambil wudhu, nanti shalat ke mesjid sama Abah sama Om," ucap Rania yang bingung harus menjelaskan seperti apa ke Dareen.
Sejak bayi Dareen selalu bangun sebelum subuh, itu terus berlanjut hingga sekarang. Makanya Ergha dan Rania sepakat untuk mengajarinya ikut ke mesjid shalat subuh itu pun tidak dengan paksaan. Mereka bersyukur Dareen mau belajar ikut ayahnya ke mesjid dan sangat antusias begitu mendengar adzan.
**
"Teh, Ibu sama Bapak mau pulang dulu ke Bekasi. Mau ngurus surat-surat kematian A Ergha, nanti bapak mungkin minta bantuan pak Hartono buat ke Polsek na mah. Bapak minta surat kuasa teteh. 'Kan harusnya teteh yang ngurus semua, tapi 'kan teteh harus di sini dulu," kata Pak Darmawan.
"Iya, Rania mungkin di sini sampai 7 harinya," balasnya.
"Nanti juga besok kan 3 harian dan 7 hariannya Bapak sama Ibu juga ke sini lagi sama Febri," ujarnya. dibalas anggukan oleh Rania.
Hari itu, banyak tamu yang masih berdatang untuk mengucapkan duka pada Rania.
Hari ke-3 pun tamu masih berdatangan. Keluarga Ergha yang tinggal di Bandung datang ke rumah orangtua Rania, ikut membantu persiapan tahlilan 3 harian. Orang tua Ergha akan datang di sore hari karena masih harus menyelesaikan beberapa hal.
"Bunda, ini hari apa?" tanya Dareen menghampiri Rania dan duduk di pangkuannya.
"Hari Sabtu, Sayang." Rania memeluk mencubit gemas pipinya.
"Ayah ko belum pulang juga. Apa ayah lupa mau beliin aku sepeda hari ini, 'kan ga boleh bohong ya bunda," ujarnya sedikit cemberut.
Rania memejamkan matanya, "Bagaimana caraku menjelaskannya?"
"Ayah ga lupa, Sayang. Ayah ... sudah meninggal," ucapnya pelan. "ayah sudah tidak bisa menemani kita di sini, kalau Dareen sayang ayah dan rindu sama ayah, Dareen bisa berdoa sama Allah, agar Allah memberikan kebahagiaan di sana dan Dareen juga harus bersikap baik, rajin ibadahnya agar nanti kita bisa berkumpul kembali sama ayah di akhirat di surga-Nya Allah," terang Rania, berharap Dareen mengerti dengan penjelasannya.
"Ayah apa tadi?"
"Ayah sudah meninggal, Sayang. kalau Dareen sayang dan rindu sama ayah, Dareen harus rajin ibadahnya dan berdoa sama Allah agar kita nanti bisa bersama-sama lagi di akhirat di surga Allah," terang Rania membelai rambut anak semata wayangnya dengan lembut.
"Jadi, aku beli sepedanya sama siapa dong?" tanyanya.
"Sama om Zyan aja ya, tapi belinya nanti sore. Om Zyan lagi ke kampus dulu," jawab Rania.
"Kampus?"
"Kampus itu seperti sekolah. Dareen kan belajar di sekolah, nah ... Om Zyan belajarnya di kampus namanya," jelas Rania tersenyum.
"Aku dari kemaren ga sekolah."
"Nanti Dareen ikut ke sekolah ibu aja ya. Nanti bunda bilang ke ibu." Dareen mengangguk pelan, Ibu adalah panggilan Dareen untuk neneknya.
"Assalamu'alaikum."
Rania menengok ke arah pintu mendengar suara perempuan memberi salam.
"Wa'alaikumsalam, hai," ucap Rania tersenyum begitu melihat temannya datang.
"Maaf, aku baru bisa datang. Kemarin aku pelatihan beberapa hari di Lembang, jadi ga bisa pulang," ujarnya mendekati Rania lalu duduk di sampingnya dan memeluknya.
"Ga apa-apa," jawab Rania membalas pelukannya.
"Bunda, aku kejepit," ujar Dareen.
"Oh, iya maaf, Sayang." Rania lupa Dareen masih di pangkuannya. Dareen melirik tajam ke arah gadis yang memeluk bundanya.
"Maaf," ucap gadis itu sambil tertawa kecil. Dia mencubit pipi Dareen dengan gemas.
"Ih, ga boleh cubit-cubit!" serunya. Gadis itu semakin tertawa.
"Udah," ucap Rania memegang tangan Dareen yang menangkis tangan gadis tadi ketika hendak mencubitnya lagi.
"Ini Tante Liana, dia temannya bunda." Rania mengenalkan Liana pada Dareen.
Ya, gadis itu adalah Liana. Dia bekerja di kementrian kesehatan di kabupaten. Dia juga belum menikah.
Dareen melompat dari pangkuan Rania dan pergi keluar rumah. Rania tersenyum melihat anaknya cemberut. Dareen memang kurang suka di cubit-cubit pipinya, apalagi oleh orang yang tidak dia kenal.
"Aku di telepon Amih jam 4 subuh, ngasih tau. Amih nyuruh pulang, tapi kan ga bisa," ujarnya memegang tangan Rania.
"Iya, ga apa-apa," jawab Rania.
"Gimana kabarmu?" tanyanya lagi.
"Beginilah, aku lagi ga baik-baik aja, tapi berusaha baik-baik aja buat Dareen," jawabnya, matanya sudah berkaca-kaca.
Liana mengelus punggung Rania. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Rania, ditinggal orang terkasih selamanya.
"Dareen udah sekolah?" tanyanya.
"Sudah, dia baru masuk TK- A."
"Terus, rencana ke depannya gimana?" Liana memang selalu to the point.
"Entahlah, jujur aja aku belum memikirkannya. Semuanya terlalu mendadak, nyampe waktu aku di telepon polisi ngasih tau kejadiannya aja, aku tuh ng-blank. Rasanya ... nyampe sekarang aja, aku- aku masih berasa ini ga nyata," jelas Riana mulai meneteskan air matanya.
"Maafkan aku ... maafkan aku, aku ga pandai menghibur," ucap Liana menarik Riana ke dalam pelukannya dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Buuunnndddaaaaa ...," panggil Dareen berlari ke arah Riana.
Riana lalu melepaskan pelukannya dari Liana dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
"Bundaa, aku mau beli sepeda sama Om." Dareen menunjuk ke arah pintu.
Rania melihat di pintu, sudah berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi, lumayan tampan, berkulit sawo matang sedang tersenyum ke arah mereka.
"Assalamu'alaikum," sapanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Aldi
ya Allah ,nangis aku
yang sabar y rania
2024-10-20
0
Putri Minwa
lanjut thor
2024-03-04
2
pengen punya sahabat kayak gitu..
yg selalu mendukung dn selalu ada saat terpuruk.
2022-11-01
1