"Kenapa dia ga nolak?" gumam Nalendra dengan wajah cemberut melihat Rania keluar dari kamar diikuti David.
"Na, Amih ke kantin dulu ya, lapar," kata Bu Ratna, mamanya Liana. "sakalian shalat," lanjutnya.
Liana hanya mengangguk pelan. Sekarang tinggallah Liana dengan teman-temannya.
"Na, sodaramu tadi ko ga nolak pas disuruh sekalian nganterin Rania, Rania juga ga nolak," tanya Imam penasaran.
"Ya ga akan mungkin nolaklah. 'Kan ada Amih, tar dimarahi kalo ga nurut," kelakar Liana sambih tertawa.
"Kayanya sodaramu suka Rania," celetuk Imam.
"Emang ..., tapi ditolak," jawabnya tertawa.
Mereka mengobrol panjang lebar tentang semua yang bisa mereka obrolkan mulai dari pelajaran, guru, makanan kantin sekolah hingga gosip yang sedang beredar di sekolah pun mereka obrolkan.
Waktu memang tidak terasa jika sudah asik mengobrol dengan teman. Mereka menghabiskan waktu kunjungan sampai pukul 7 malam.
"Pulang yuk," ajak Willy sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. "dah malem nih."
Malam itu Nalendra pulang dengan membawa banyak pertanyaan di benaknya, semuanya tentang Rania. Namun, dia juga merasa bahagia karena mendapati jika Rania beberapa kali mencuri lirikan padanya.
"Apa dia menaruh hati padaku?" itulah salah satu pertanyaan yang dia pikirkan, tetapi membuatnya tersenyum bahagia.
tok, tok, tok ...
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan panjangnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan memperbaiki posisi duduknya untuk menyembunyikan apa yang baru saja dia lakukan.
"Maaf, Pak. Ibu anda menghubungi saya, beliau bertanya kenapa Anda tidak bisa dihubungi," ungkap Aziz, asisten pribadinya.
"Oh," jawab Nalendra sangat singkat.
"Kalau begitu saya permisi, Pak," pamit Aziz.
"Ehm, tunggu ... tolong atur kembali sisa jadwalku hari ini dan besok. Aku ada urusan urgent," titahnya.
"Baik, Pak," jawab Aziz lalu meninggalkan Nalendra sendirian.
Aziz menghela nafas begitu menutup pintu ruangan atasannya. "Nambah kerjaan lagi!" gerutunya.
Nalendra langsung meninggalkan perusahaannya. Dia tidak mau membuang waktunya, Ingin segera mengetahui kabar wanita pujaannya kini.
"Semoga ga macet," harapnya begitu masuk ke dalam mobil dan melajukannya.
Jalanan Jakarta memang tidak bisa diajak berkompromi, beberapa kali dia terjebak jalanan yang padat merayap sebelum memasuki tol dalam kota. Sudah memasuki tol pun terkadang harus menahan emosi menghadapi kemacetan.
Setelah keluar salah satu tol di Bandung dia pun menghubungi temannya.
"Di mana? aku baru keluar tol," tanyanya langsung tanpa basa-basi.
"Kita dah di rumahnya, langsung sini aja," Kata temannya di seberang telepon.
Nalendra langsung mematikan sambungan teleponnya. "Semoga ga macet," gumamnya.
Setengah jam kemudian dia telah sampai di depan sebuah rumah yang telah dipasangi tenda. Dia mengedarkan pandangan mencari seseorang yang dia kenal.
"Itu mereka," ucapnya dalam hati.
"Assalamu'alaikum, hai Bro," salamnya pada teman-temannya yang sedang duduk berkumpul.
"Aku masuk dulu," lanjutnya setelah bersalaman dengan teman-temannya.
Dia berjalan masuk ke rumah bertenda tadi, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Begitu memasuki rumah terlihat banyak orang yang sedang melayat, di hadapannya nampak Jenazah yang telah terbungkus kain kafan dan tertutup kain samping batik berwarna cokelat sampai ke leher, sedang bagian kepala masih belum terbungkus dan ditutup oleh kain transparan berwarna putih.
Matanya kini tertuju pada wanita di samping jenazah yang sedang mengobrol dengan beberapa orang pelayat. Dia segera menghampirinya, Hatinya sungguh sakit melihat wanita tadi berusaha tersenyum pada semua orang yang menghampirinya, tetapi matanya berusaha menahan air mata yang siap menerjang pertahannya.
"Assalamu'alaikum," sapa Nalendra pada wanita tadi setelah memastikan para pelayat yang semula mengobrol dengan wanita itu pergi.
"Wa'alaikumsalam," balas wanita tadi dengan tersenyum yang dipaksakan.
"Terimakasih sudah datang," lanjutnya lagi sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai pengganti bersalaman.
Nalendra hanya mengangguk lalu duduk tidak jauh dari wanita tadi dan mulai membaca surat Yassin di ponselnya. Ingin rasanya dia memeluk wanita itu,menanykan bagaimana perasaannya walaupun dia tahu pasti hatinya sedang sakit karena ditinggal orang terkasihnya.
Nalendra dan teman-temannya ikut pergi ke pemakaman setelah menyalati jenazah di mesjid. Mereka masih merasa tidak menyangka jika temannya sudah pulang terlebih dahulu dipanggil Sang Maha Pencipta.
Setelah para pelayat mulai pulang, kini mereka tengah duduk bersama di dalam rumah yang berduka bersama istri dari sahabat mereka yang tidak lain adalah Rania si gadis bermata cokelat didampingi orangtuanya, mertuanya juga beberapa keluarga dan rekan kerja Ergha.
Rania mulai menceritakan dari saat dia ditelepon pihak berwajib yang memberitahunya jika suaminya mengalami kecelakaan.
"Saat itu aku sedang menemani Dareen tidur. Beberapa kali ponselku berdering, aku tidak mengangkatnya karena no nya tidak aku kenal dan sudah pukul 8. Aku hanya takut itu orang iseng yang menelepon secara acak," ucapnya memulai bercerita.
"Kemudian ada telepon dari ponselnya Ergha, aku ga pernah membayangkan jika yang menelepon itu bukanlah dia tapi Pak polisi ngasih tau jika Ergha kecelakaan dan sedang menuju RS di Bekasi." air matanya mengalir di pipinya yang memerah, sesekali terlihat bahunya sedikit berguncang menahan air mata agar tidak terlalu banyak yang keluar.
"Saat mendengarnya entah kenapa tiba-tiba jadi sunyi sampai Dareen menepuk-nepuk tanganku memanggilku. Baru aku sadar dan mencoba menelepon balik Ergha. Setelah aku mendengar ulang, aku menghubungi adenya Ergha dan memintanya menjemputmu. A-aku tidak mungkin bisa ke sana sendirian," terangnya.
Cukup lama Rania terdiam tidak melanjutkan ceritanya kembali. Semua yang berada di sana pun tidak ada yang bersuara, mereka mencoba memberi waktu bagi Rania mengatur kembali pikirannya yang kalut.
Tidak sedetik pun Nalendra mengalihkan pandangannya. Dia memandang wajah wanita bermata cokelat itu, beberapa kali dilihatnya dia menyeka air mata yang keluar dari matanya yang terlihat membengkak karena menangis.
Nalendra menarik nafas pelan mencoba mengatur nafasnya kembali, menahan air mata yang hendak jatuh dan keinginan untuk memeluknya.
"Ketika kami tiba di sana di UGD, Mereka sudah menutup tubuhnya. Di-a Di-a sudah ga ada." Rania kembali tersedu.
"Iya, begitu kami tiba Ergha sudah tidak ada. Dia masih ada ketika mereka membawanya ke Rumah Sakit dan sempat mendapat pertolongan. Namun, rupanya Allah lebih merindukannya hingga memanggilnya sebelum kami tiba," sambung pak Darmawan ayah Ergha sambil memegang tangan istri tercintanya berusaha menguatkan diri terutama istrinya karena kehilangan anak laki-laki satu-satunya.
"Kami pun berembuk dengan Rania menentukan di mana Ergha akan di makamkan. Rania meminta agar Ergha di makamkan di makan keluarganya, tentu saja kami harus berembuk juga dengan keluarga Rania di sini. Alhamdulillah, Ayah Rania dan Om nya tiba dua jam kemudian dan kami pun sepakat memakamkannya di sini," lanjutnya.
"Kami sangat terkejut begitu membaca pesan dari Ergha di grup kantor. Saya pikir Ergha sedang bercanda, tapi kemudian ada yang menghubungi kami dari ponsel Ergha memberitahu semuanya," kata Bu Adni, salah satu atasan Ergha di kantor.
"Itu adik saya, saya menyuruhnya memberi kabar duka ke kantor juga ke teman-temannya," jawab Rania.
"Kemarin tuh kami cerita-cerita, dia bercerita jika anaknya minta sepeda baru padahal sepeda yg ada di rumah aja masih bagus dan katanya belum berani mencopot roda bantunya," ungkap Bu Adni. "jujur saja, saya masih belum sepenuhnya percaya dia telah tiada."
Rania tersenyum, dia ingat jika Ergha berencana membelikan sepeda baru untun Dareen di hari libur nanti. Rania menghela nafas, sesak sekali rasanya.
"Bunda ...." Semua orang berbalik ke arah asal suara anak kecil tersebut.
"Dareen ...," jawab Rania memanggil anaknya, segera dia menyeka Bekas air mata dan tersenyum. Dia tidak mau Dareen melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan.
Rania sedikit merentangkan tangannya ketika Dareen menghampirinya, mereka berpelukan. Pelukan hangat dari seorang anak kecil yang mampu menguatkan Rania melewati ujian kehidupan.
Dareen adalah anak satu-satunya Rania dan Ergha. Dia baru berusia empat tahun. Wajahnya mirip sekali dengan Ergha.
"Dareen sayang Bunda," ucapnya. Rania tak sanggup menahan tangisnya dan menciumi wajah Dareen.
Semua yang ada di sana berusaha menahan tangis haru melihat pemandangan di depan mata mereka. Terharu melihat seorang anak yang harus kehilangan ayahnya diusia balita dan sekarang sedang menghibur Sang Bunda.
Dareen menunjukan mainan keretanya pada Rania.
"Dikasih om," ucapnya.
"Oh, dibeliin om Zyan. Udah bilang makasi?" tanya Rania melihat kereta kecil di genggaman anak semata wayangnya.
Dareen menggelengkan kepalanya lalu berdiri dan berjalan menghampiri lalu duduk di pangkuan seorang pria umur 30an.
Nalendra terkejut ketika Dareen tiba-tiba duduk di pangkuannya. Jantungnya berdetak tak karuan apalagi setelah menyadari Rania menatapnya.
"Ah, i- tu ...,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Putri Minwa
semangat untuk mu thor
2024-03-04
1
Ita rahmawati
bagus
2023-02-12
1
TK
👍
2022-11-15
2