Braaakkkk ...,
Suara ponsel yang terjatuh tidak membuatnya tersadar dari rasa terkejut, mendengar kabar yang baru saja disampaikan salah seorang sahabatnya.
Pria itu tetap berdiri tegak, matanya menatap kosong ke depan. Cukup lama dia tertegun sampai tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan ambruk terduduk di lantai. Air mata mulai mengalir keluar dalam diam.
Ingatan tentang seorang gadis yang tersenyum membayang di depan mata. Seorang gadis yang selama belasan tahun menghuni hati dan pikirannya.
Pria tadi mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Dia beberapa kali menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. Mencoba menelaah kembali apa yang baru saja dia dengar dari sahabatnya.
"Benarkah kabar yang aku dengar tadi?" tanyanya dalam hati.
"Sebaiknya aku telepon yang lain untuk memastikannya," ucapnya bermonolog.
Pria itu mengusap air mata yang sudah mulai mengering di pipi, mengedarkan pandangan mencari ponsel yang terjatuh karena keterkejutannya. Dia menggulir layar ponsel mencari nama seorang sahabat yang lain dan segera menghubunginya.
"Assalamu'alaikum, Qih. Tadi aku ditelepon Yudhi, dia bilang kalo Ergha ...." tidak dapat lagi dia melanjutkan ucapannya.
"Iya," jawab sahabatnya di seberang telepon.
Pria tadi mematikan teleponnya. Berusaha bangkit, berjalan ke arah kursi dan duduk di sana menatap keluar jendela besar, menenangkan pikirannya.
Dia adalah Nalendra Sulaiman. Seorang pengusaha muda cukup ternama di bidangnya. Berwajah tampan dan berperawakan bagai atlet.
Matanya beralih pada sebuah laci di meja kerja. Dia membuka laci tersebut dan mengambil foto seorang gadis berseragam SMA yang sedang tersenyum.
Seorang gadis dengan wajah yang tidak terlalu cantik, tetapi mempunyai senyum yang tulus dan meneduhkan orang yang memandang. Lama mata Nalendra menatap foto gadis itu.
"Apa kau baik-baik saja? Tidak, kau pasti sedang menangis! Apa yang harus aku lakukan?" Nalendra Kembali bermonolog.
Kini dia sedikit menengadah sambil menutup mata, seakan berusaha menahan air mata agar tidak jatuh kembali ke pipi.
Semburat bayangan gadis di foto tadi sedang tersenyum, bercanda tawa dengan teman-teman perempuannya. Mereka berada di samping lapangan sekolah, belasan tahun yang lalu. Matanya yang coklat berkilau sedikit melirik ke arah laki-laki yang berjalan di depannya bersama teman-temannya pula.
Lelaki muda tersebut melihat gadis bermata coklat itu, tersenyum padanya. Ada debaran yang sulit dia artikan, tetapi rasa senang langsung menghinggapi kalbu. "Siapa dia? kenapa dia melihatku?" gumamnya dalam hati.
Lelaki muda itu adalah Nalendra, baru seminggu dia pindah ke Sekolah Negeri 1 yang dekat dengan rumahnya. Sebelumnya dia bersekolah sekaligus pesantren di kampung halaman ayahnya di Garut. karena suatu hal, saat menginjak kelas dua dia pindah ke sekolah negeri di dekat rumahnya di daerah Bandung.
Gadis bermata cokelat yang meliriknya terus melekat dalam ingatan. Ingin sekali dia menanyakan pada temannya tentang gadis bermata cokelat itu, tetapi dia takut jika teman barunya akan langsung mencap dia seorang Playboy. Bagaimana tidak, belum genap dia seminggu pindah sudah menanyakan seorang gadis. Pasti temannya akan langsung menertawakan dia.
Hari berganti, Minggu pun telah berganti bulan. Sudah hampir tiga bulan dia pindah sekolah. Setiap hari dia selalu melihat gadis bermata cokelat itu, tetapi namanya pun dia tidak tahu. Gadis itu satu angkatan dengannya hanya berbeda kelas.
"Hei, kamu mau ikut ga?" tanya Rezky teman sebangkunya. "Ngelamun mulu!"
"Kemana?" tanyanya dengan wajah datar.
"Astaghfirullah, kirain dari tadi dengerin. Kita mau nengok Liana!" seru Imam, sedikit kesal karena merasa omongannya tidak didengarkan Nalendra.
"Iya, maaf ...," sesal Nalendra. Dia baru teringat Liana yang katanya masuk Rumah sakit karena peradangan usus buntu beberapa hari yang lalu.
"Ok, nanti sore jam empat kita kumpul di dekat kota baru, kita ngambil jam besuk sore aja yang jam 5. Aku nebeng sama kamu aja ya 'Ndra," ucap Rezky tersenyum dengan senyuman merayu. Rumahnya dan Nalendra lumayan dekat pikirnya.
"Baiklah, siapa aja yang ikut?" tanya Nalendra.
"Kita-kita aja, berlima sama Si Willy," jawab Habib Putra, dia teman sebangku Liana.
"Willy?" tanya Nalendra, mengernyitkan alisnya.
"Willy, anak IPA 1. Dia teman Liana dari SD," jelas Rezky.
"Oh." Nalendra mengangguk, matanya kembali menatap ke arah kelas gadis bermata cokelat. Hari ini dia belum melihat gadis itu. Waktu istirahat sudah hampir selesai, tetapi gadis bermata cokelat belum terlihat keluar dari kelasnya.
"Apa dia tidak sekolah?" tanyanya dalam hati. Raut khawatir mulai terlihat di wajah tampannya, Nalendra menghembuskan nafas panjang.
"Kenapa? udah, ga usah sedih gitu. Nanti juga ketemu," ledek Rezky.
"Apaan sih!" sergah Nalendra disambut tawa teman-temannya.
*
Sesuai janji mereka berkumpul di depan kawasan kota baru. Mereka berempat, Nalendra, Rezky, Imam dan Willy bersiap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Liana dirawat.
Butuh hampir satu jam perjalanan dari Sekolah ke Rumah Sakit tempat Liana dirawat. Salah satu Rumah Sakit besar milik Pemerintah di daerah Bandung.
"Kamar berapa?" tanya Willy sambil membuka helmnya dan menghampiri Habib Putra yang telah menunggu mereka di parkiran Rumah Sakit.
Habib melihat ponselnya, "Gedung D lantai 2," ucapnya. "ayo cepet."
Langit terlihat cerah sore itu. Mereka berlima berjalan ke arah gedung tempat Liana dirawat. Melewati resepsionis, lorong gedung dan memasuki lift yang akan membawa mereka ke lantai dua.
"Malas naik tangga," ucap salah seorang diantara mereka.
Mereka berjalan ke arah kamar yang ditunjukan oleh perawat yang sedang berjaga.
"Kamar VIP emang beda," bisik Imam tersenyum simpul pada teman-temannya.
Setelah mengetuk pintu, mereka langsung masuk ke kamar tempat Liana dirawat. Terlihat Liana sedang duduk bersandar pada bantal yang tertumpuk di tempat tidur, di sofa seorang wanita paruh baya tersenyum menyambut kedatangan mereka.
"Ah ... itu pasti mamanya," gumam Rezky menghampiri wanita paruh baya tadi dan menyalaminya, begitu pun dengan teman-temannya yang lain.
"Ayo duduk ... duduk sini," ajak wanita paruh baya tadi menunjukan sofa tempat dia duduk sebelumnya.
"Makasi, Tante," ucap Habib Putra tersenyum.
Nalendra tersenyum melihat interaksi Habib Putra dengan wanita paruh baya itu. Ya, dia sudah tahu Liana dengan Habib Putra memang mempunyai kedekatan yang cukup unik. Mereka bersahabat sejak kelas 1 SMA walaupun berbeda kelas. Namun, mereka tidak sampai berpacaran, hanya bersahabat.
"Eh, ada Rania," celetuk Habib Putra ketika melihat sosok wanita berkerudung sedang duduk di kursi samping tempat tidur Liana.
Gadis itu menoleh pada Habib Putra dan memberikan senyuman yang sangat manis. "Hai, Bib," sapanya.
Nalendra seketika berbalik mendengar suara yang sedari pagi dia rindukan, lalu melihat gadis yang baru saja menyapa temannya dan terpaku. Jantungnya mulai berdetak kencang lebih dari biasanya.
"Gadis itu ...," gumamnya dalam hati.
"Ko ga cerita Rania mau ke sini?" tanya Habib Putra.
"Ngapain juga cerita!" celetuk Liana.
"Ya kalo dia cerita 'kan bisa bareng sama aku ke sininya," jelas Habib Putra.
"Bareng gimana, jauh kali Bib," jawab Rania sambil tersenyum.
"Ga usah dianggap, dasar Onta!" ledek Liana membuat Rania terkekeh.
"Oh iya pasti belum kenal kan. Ini Nalendra murid baru yang aku ceritain waktu itu," terang Liana pada Rania karena dia tau sedari tadi temannya ini mencuri lirikan pada teman barunya.
"Hai." Rania mengulurkan tangannya menyapa Nalendra.
"Hai juga, Nalendra," jawabnya memperkenalkan diri.
"Rania," balas Rania.
"Udah jangan kelamaan salamannya," bisik Rezky cekikikan melihat wajah Nalendra yang entah mengapa terlihat memerah tersipu.
"Gimana kabarnya?" tanya Nalendra pada Liana.
"Ko bisa sih kamu kena usus buntu?" tanya Willy.
Liana menceritakan awal kejadian dia sakit perut hingga masuk UGD lalu dinyatakan usus buntu dan harus dioperasi.
Semua menyimak Liana yang bersemangat bercerita, kecuali Nalendra yang sesekali melirik Rania yang duduk di kursi samping tempat tidur pasien.
"Rania ... jadi gadis bermata cokelat itu bernama Rania. Nama yang bagus," gumam Nalendra dalam hati. Dia merasa sangat senang akhirnya bisa mengetahui nama gadis bermata cokelat itu.
ceklek ...
Semua yang di sana menoleh ke arah pintu. Seorang laki-laki berbadan tinggi masuk keruangan Liana. "Eh, banyak tamu."
"Katanya tadi sebentar, tapi ko lama banget!" gerutu Liana.
Laki-laki tadi hanya tersenyum, lalu duduk di dekat mama Liana.
"Udah mau magrib, aku pulang ya," ucap Rania pada Liana dan di balas anggukan.
"Nanti aja bareng," pinta Habib Putra.
"Bareng bareng, rumahmu itu berlawanan arah, ga akan bisa bareng!" sergah Liana membuat Rania tertawa kecil.
"Vid, bukannya mau ngambilin baju Amih, tuh sekalian anterin Rania pulang," titah Liana pada saudaranya. "ini dah malem, biar dia anterin, sekalian jalan."
"Oke," jawab Rania tersenyum.
"Baiklah," jawab David singkat. David adalah saudara sepupu Liana. Usia mereka hanya berbeda dua tahun, lebih tua David.
"Ayo," ajak David pada Rania. "Wa' uih hela," lanjutnya berpamitan pada mama Liana.
"Nya ... ati-ati, Kade di jalanna," jawab mama Liana. "Nuhun, Rania," lanjutnya memeluk Rania.
"Kenapa dia ga nolak?" gumam Nalendra dengan wajah cemberut melihat Rania keluar dari kamar diikuti David.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Putri Minwa
semangat
2024-03-04
2
Mitt²🍒⃞⃟🦅
menarik , semangat terus kak . jangan cape2 biar bisa update terus🙏
2022-11-10
2
kok balik bab awal ?
2022-11-01
1