Farzan dan Grisel berada di mobil tengah dalam perjalanan menuju rumah orangtua Farzan. Keduanya saling diam meski pergi bersamaan.
“Jangan lagi memojokkanku di depan keluargaku!” Farzan akhirnya membuka suara setelah sebelumnya hanya diam. Hanya mengingatkan karena tak ingin jika Grisel terus berbuat sesuatu seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaannya.
Grisel mencebik dan langsung menoleh Farzan, sorot matanya menunjukkan rasa tak suka sama sekali.
“Apa? Kamu mau bicara denganku karena ingin bertemu dengan keluargamu saja, kenapa sejak kemarin hanya diam dan tidak membahas apa pun? Apa kamu pikir hubungan kita hanya jika ada keluargamu?” Grisel bicara dengan nada ketus, wajahnya cukup menunjukkan jika dia tak suka dilawan.
“Apa kita harus bertengkar sekarang?” tanya Farzan, masih fokus dengan jalanan dan tidak menoleh pada sang istri sama sekali. Dia hanya mengingatkan, tapi tanggapan Grisel terus saja berlebihan.
“Ya, karena kamu yang memulai!” jawab Grisel dengan nada membentak.
Farzan menghela napas kasar, kemudian memilih diam dari pada berdebat dengan Grisel hingga mobil mereka sampai di rumah orangtuanya. Grisel terus menatap kesal pada Farzan, lantas bersedekap dada dan mengalihkan pandangan ke jalanan.
**
Grisel dan Farzan sudah sampai di rumah orangtua Farzan, di sana anggota keluarga sudah berkumpul untuk acara bulanan yang biasa diadakan keluarga mereka.
“Grisel, kamu dan Farzan sudah menikah sangat lama tapi belum juga memiliki keturunan, apa tidak ada keinginan untuk mengecek kondisi kalian agar tahu masalah yang menyebabkan kamu belum bisa hamil?” tanya Anisa—ibu Farzan, menatap penuh harap pada Grisel, bagaimanapun wanita itu juga ingin menimang cucu dari putra yang dibanggakannya.
Tentu saja keluarga Farzan tidak tahu jika Grisellah yang sebenarnya tak ingin hamil, sedangkan Farzan sudah lelah karena Grisel selalu membuat alasan jika memang belum diberi keturunan saat ditanya oleh anggota keluarga.
“Kami sudah periksa dan semua hasilnya bagus kok, Ma. Hanya saja memang belum diberi kesempatan untuk hamil,” jawab Grisel yang tentu saja berdusta. Dia memasang wajah memelas, seolah putus asa untuk mengambil simpati keluarga besar Farzan.
Farzan menggenggam erat sendok yang dipegang, ingin sekali berteriak jika Grisel yang memang tak ingin hamil. Zayn—sepupu Farzan yang juga hadir di sana, tampak melirik Farzan, melihat jika kakak sepupunya itu terlihat tidak senang sama sekali.
“Aku ke kamar kecil sebentar.” Farzan meletakkan alat makan ke piring, sebelum kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan.
Zayn terus memperhatikan Farzan, tahu jika kakak sepupunya itu sedang mencoba menghindari percakapan soal Grisel yang tak kunjung hamil. Dia lantas menatap Grisel, melihat tatapan tidak senang dari wanita itu saat Farzan pergi.
Grisel menyipitkan mata ketika melihat Farzan yang pergi begitu saja, bahkan terkesan mengabaikan dirinya. “Dia ini tidak bisa mengontrol emosi,” gumam Grisel dalam hati.
Zayn lantas melirik Grisel, wanita itu yang dianggapnya busuk luar dalam itu tampak tersenyum tapi penuh kepalsuan, membuat Zayn muak dan mual melihat senyum Grisel.
“Aku ke kamar mandi juga sebentar.” Zayn mengusap mulut dengan serbet, lantas berdiri dan mengabaikan orang yang berada di meja.
Semua orang menatap Zayn, sebelum kemudian kembali fokus pada makan malam mereka, juga pada Grisel yang sedang menjadi bahan perbincangan.
“Ya sudah, yang penting kalian sudah berusaha,” timpal ibu Zayn—adik ayah Farzan.
“Ya, Bibi. Aku pun ingin sekali punya bayi, tapi mau bagaimana lagi jika belum diberi,” ucap Grisel masih saja memasang wajah memelas penuh kepalsuan.
Anisa sebenarnya sudah sangat mengharapkan kehadiran cucu, bahkan wanita itu langsung menerima keputusan Farzan yang ingin menikah karena sudah sangat bermimpi bermain dengan anak Farzan kelak. Namun, sayangnya wanita paruh baya itu harus menahan keinginannya, karena Grisel yang sudah berbohong dan sejak awal tak ingin memiliki anak.
“Sudah, kamu jangan memikirkan hal itu lagi. Biarlah Tuhan nanti yang memutuskan kamu diberi keturunan atau tidak, yang terpenting sekarang kamu makan yang banyak dan jangan banyak pikiran.” Anisa tersenyum hangat pada Grisel, bahkan menambahkan lauk ke piring menantunya itu untuk memberi perhatian.
Meski Anisa merasa kecewa, tapi tak lantas membuatnya marah atau memaksa begitu saja. Anisa dan suaminya—Harun, sadar jika tak semua hal bisa mereka dapatkan dengan mudah, apalagi jika itu menyangkut keturunan, karena hanya Tuhan yang bisa memberi dan mereka hanya bisa berdoa untuk meminta.
**
“Apa kamar mandi pindah ke lantai tiga?” Zayn tahu jika Farzan tidak ke kamar mandi, hingga menyusul dan mendapati kakak sepupunya itu di balkon lantai tiga.
Farzan menoleh saat mendengar suara Zayn, hingga kemudian tersenyum getir karena sudah menduga jika adik sepupunya itu pasti akan meledek hidupnya yang tak ada kebahagiaan sama sekali.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Farzan dengan nada suara ketus.
Farzan kembali menatap halaman belakang rumah orangtuanya, kedua tangan bertumpu pada tepian pagar tembok pembatas balkon, menikmati malam yang gelap dengan hati begitu kelam.
Zayn sendiri ikut berdiri di samping Farzan, sebelum kemudian sengaja menghela napas kasar untuk menarik perhatian sepupunya itu.
“Apa sekarang kamu menyesal?” tanya Zayn yang tentu saja mengandung nada sindiran.
“Aku tidak tahu maksudmu?” Farzan menolak peka dengan ucapan Zayn.
Zayn mencebik, membalikkan badan dan kini pinggangnya menyandar pada besi pembatas balkon.
“Tidak tahu ya sudah,” ucap Zayn. “Hanya saja aku merasa nasibmu sangat buruk setelah memilih Grisel. Entah istilahnya apa, tapi yang jelas kamu sudah membuang permata dan memungut sampah, bukankah begitu?”
Zayn tersenyum miring, jelas sedang menyindir kakak sepupunya itu.
“Ck … kalau yang kamu maksud adalah Joya, kenapa kamu tidak memungut permata itu?” Tentu saja Farzan takkan dengan mudah mengakui penyesalan telah melepas Joya saat mereka masih kuliah.
“Maunya, sayang dia sudah memiliki pemilik,” ucap Zayn, melirik Farzan yang terdiam dan masih menatap ke bawah. “Semoga kamu tidak bertemu Joya, atau hatimu akan langsung berpaling seratus delapan puluh derajat dari Grisel ke Joya.”
Zayn menepuk pundak Farzan, sebelum kemudian meninggalkan kakak sepupunya itu.
Farzan mengepalkan telapak tangan begitu erat setelah Zayn pergi. Bukan tak ingin melihat wajah Joya atau tak ingin mengetahui bagaimana kehidupan mantannya itu. Namun, dia ingat ucapan Joya yang tak ingin melihatnya lagi, membuat Farzan mencoba menghindar meski pernah tanpa sengaja melihat mantan kekasihnya itu.
“Apa doamu saat itu, sebenarnya adalah sebuah kutukan untukku.” Farzan tersenyum getir, hingga menggelengkan kepala seolah menyangkal pemikiran yang melintas, meskipun hal itu benar.
**
“Apa maksudmu izin ke kamar kecil tapi pergi sangat lama, hah? Kamu sengaja membuatku terpojok dengan pembahasan bayi bersama keluargamu!” Grisel begitu marah saat keduanya sudah sampai di rumah. Dia sampai membanting tas ke lantai saat sampai di ruang tamu. Tatapan matanya berapi-api, baginya apa pun yang dilakukan Farzan tidak ada benarnya.
“Aku hanya mencari udara segar,” ucap Farzan santai. Seolah tak acuh dan berniat langsung naik ke lantai atas.
“Kamu sengaja! Kamu sengaja melimpahkan jawaban kenapa aku tidak hamil padaku!” Grisel masih tidak puas dengan jawaban Farzan, sampai menahan lengan pria itu dan mencegah sang suami yang hendak menaiki anak tangga.
Farzan sudah lelah bersabar, hingga tanpa sadar menepis kasar tangan Grisel sampai terlepas dari lengan.
Grisel sangat terkejut saat Farzan menepis tangannya, menatap sang suami dengan bola mata membulat lebar.
“Bukankah kamu yang tidak ingin hamil, sudah sepatutnya kamu pula yang menjelaskan pada mereka alasannya. Aku sudah memberimu segalanya, bahkan lebih dari cukup jika dibandingkan dengan penghasilanmu sebagai model. Namun, apa yang kamu berikan padaku? Kamu membuatku kecewa dengan mengambil keputusan yang sama sekali tidak aku setujui!” Farzan menatap tajam mata Grisel, meski suaranya tak begitu lantang, tapi setiap kata mampu membuat darah di tubuh sang istri mendidih.
Grisel semakin tidak terima jika Farzan mengungkit masalah impiannya, bukankah selama ini pria itu juga tak pernah mempermasalahkan apa yang diinginkannya.
“Apa kamu sebenarnya ingin bilang jika menyesal telah memilihku, hah? Atau jangan-jangan kamu memang menyesal dan ingin kembali bersama Joya! Katakan! Katakan kalau itu benar!” teriak Grisel yang memang mudah terpancing emosi. Dia memegang kedua lengan Farzan kemudian mengguncang tubuh pria itu.
Farzan begitu geram dengan Grisel, sedetik pun dirinya tak menyesal atau berpikir untuk berpaling. Namun, tuduhan Grisel akhirnya membuat Farzan begitu murka, sudah tidak sanggup lagi menghadapi wanita itu. Dia sekali lagi menepis bahkan menghempaskan kedua tangan Grisel, membuat wanita itu membulatkan bola mata lebar karena tak percaya.
“Ya, semua tuduhanmu benar! Jika aku bisa kembali ke masa lalu, maka aku ingin memilih Joya daripada terbujuk rayuanmu! Aku lelah dengan semua tuduhan tak mendasar darimu! Aku lelah dengan egomu yang sama sekali tak memikirkan aku sebagai suamimu. Jika seperti ini terus, mungkin berpisah adalah jalan terbaik!” hardik Farzan, bicara seraya menunjuk wajah istrinya itu.
Farzan menatap tajam pada Grisel, berharap istrinya itu sadar dan menghargai dirinya. Semua yang dikatakan tidak sepenuhnya benar, hanya untuk menggertak agar sang istri juga sadar kalau yang dilakukan selama ini salah, sadar jika dirinya juga memiliki batas kesabaran.
“Oh … jadi kamu mengakui jika sebenarnya menyesal telah memilihku, hah!” Bukannya sadar akan kesalahannya sebagai seorang istri, Grisel malah semakin yakin jika Farzan sebenarnya ingin berpaling darinya.
Farzan benar-benar lelah dan tak habis pikir, bahkan bicara baik-baik maupun kasar, tak mampu menyadarkan Grisel dari kesalahan.
“Lebih baik kita berpisah untuk sementara waktu, jika kita terus bersama, hanya akan ada pertengkaran tiada akhir di setiap waktu. Aku harap kamu mau merenungi masalah yang ada di antara kita.” Akhirnya Farzan memilih berjalan ke arah pintu, hendak pergi dan memberikan waktu pada Grisel untuk berpikir.
Grisel kembali merasa geram, baginya semua pertengkaran antara dirinya dan Farzan bukanlah karena masalah bayi. Lebih tepatnya Grisel masih cemburu dengan Joya yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya akan masalah mereka, baginya sang suami masih belum bisa melupakan mantan kekasih yang dilepas karena terpaksa.
“Lihat saja, aku pasti akan membuat Joya menderita dan kamu menyesal karena telah mengakui jika masih mengharapkannya!” geram Grisel yang kemudian mendorong vas bunga yang berada di meja kecil dekat tangga, hingga jatuh membentur lantai dan hancur tak berbentuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
JOYA LO BAWA2, PADAHAL SEMUA KSALAHAN, LO YG BUAT..
2024-03-16
1
Sulaiman Efendy
LO YG SLLU BIKIN FARZAN EMOSI..
2024-03-16
1
EL Shawieto
Dasar binatang lo Gris!!!👊👊👊👊
2023-02-07
1