Sesampainya di kampus, Digta dan Zeya turun dari mobil secara bersamaan. Tanpa sengaja, mereka bertemu dengan Dion–salah satu Dosen di fakultas Hukum tersebut.
“Pagi Pak Digta,” sapa Dion. Lantas matanya menatap Zeya dengan heran. Karena ini pertama kalinya Digta mengajak perempuan naik ke mobilnya dan dibawa ke kampus. “Siapa ini?” Tanya Dion sambil menunjuk Zeya.
“Selamat pagi, Pak. Saya—“Zeya ingin menyapa Dion dengan sopan. Tapi, belum apa-apa, Digta sudah mengambil alih pembicaraan dan membawa Dion pergi menjauh.
Zeya mengerucutkan hidung dan bibirnya. Lalu ia pun melangkah pergi menyusuri kampus untuk mengantar berkas-berkas guna memenuhi syarat menjelang mata kuliahan dimulai.
Saat di ruang kemahasiswaan, Zeya tak sengaja bertemu dengan seorang lelaki berwajah familier. Lelaki yang ia termui saat dj pesawat, lelaki yang mengusiknya selama pesawat lepas landas sampai mendarat.
Ketika melihat Zeya, lelaki itu melotot lebar. “Loh, kamu?” Jerry menunjuk Zeya.
Zeya menarik napas dalam-dalam dan segera menghindar. Tapi, seperti biasa, lelaki itu justru mengikuti langkahnya.
“Kamu mahasiswa di sini juga? Jurusan apa?” Lelaki itu terus berusaha mensejajarkan langkahnya. “Ternyata jodoh memang nggak kemana ya.”
Zeya menyipitkan mata tajam. “Apa mau kamu?”
“Kenalan. Aku belum tahu siapa nama kamu?”
Zeya memejamkan matanya malas. “Zeya. Oke? Udah, kan?”
“Zeya….” Jerry tersenyum tipis. “Kamu ikut magister di sini?”
“Menurutmu? Aku jadi OB di sini?”
Jerry terkekeh geli. “Sudah ketemu dengan Dosen pembimbing? Ternyata, aku dapat Dosen pembimbing yang killer.”
Zeya berhenti melangkah, kini badannya berhadapan dengan Jerry. “Lihatnya di mana?”
“Tanya dengan Pak Dion bagian kemahasiswaan.”
Zeya pun berbalik badan dan berlari menuju ruangan kemahawasiwaan yang tadi bersama Jerry yang mengikutinya dari belakang. Zeya mencari meja-meja Dosen yang tidak terisi penuh.
“Permisi, Pak. Pak Dion yang mana ya?” Tanya Zeya pada salah seorang Dosen di sana.
“Tuh, di belakangmu.” Dosen tersebut menunjuk punggung Zeya.
Zeya dan Jerry membalikan badan. Ia kaget saat mengetahui, ternyata Dion adalah laki-laki yang menyapa Digta tadi pagi.
“Kenapa cari-cari saya?” Tanya Dion ketus.
“Izin, Pak. Saya ingin tahu nama Dosen pembimbing saya.”
“Oh.” Dion terkekeh geli, lantas berjalan menuju mejanya. Ketika Dion sudah duduk di kursi, lelaki itu membolak-balikkan sebuah buku. “Siapa nama kamu?” Tanya Dion pada Zeya.
“Zeya Rainan Agustaf, Pak,” jawab Zeya.
“Nama yang bagus,” komentar Jerry. Membuat Dion dan Zeya menatapnya.
“Ini jadwal kuliah kamu. Minta tanda tangan dengan Dosen pembimbingmu ya.” Dion memberikan lembar kertas pada Zeya.
Zeya menatap kertas itu dengan saksama dan mencari nama Dosen pembimbingnya.
“Wah, Dosen kita sama,” komentar Jerry lagi saat mengintip lembar kertas Zeya.
Zeya mengerutkan alisnya saat melihat Dosen pembimbingnya adalah Digta.
“Sial,” gerutu Zeya dalam hati.
“Dia memang galak,” sambung Jerry.
Zeya menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Dion. “Makasih, Pak.”
“Em, sebentar….” Dion mencegat langkahnya. “Kamu ada hubungan apa dengan Pak Digta.” Dion menggaruk hidungnya. “Dia sudah punya istri dan satu anak, loh. Hati-hati kamu.” Dion berbicara seolah-olah sedang mencurigai Zeya sebagai pelakor.
“Oh, enggak kok, Pak. Saya ini Adik iparnya Pak Digta,” jelas Zeya.
“Ooohh, kirain. Yasudah, itu dikumpulkan sebelum masuk kuliahan. Jadi, secepatnya minta tanda tangan dengan Pak Digta ya. Apalagi kamu adik iparnya, pasti lebih mudah.”
“I-iya, Pak. Saya permisi dulu.” Zeya pun berbalik dan melangkah pergi.
“Zey, serius kalau Pak Digta kakak iparmu?” Jerry masih mengekorinya. “Kalau begitu, kita minta tanda tangannya barengan ya? Please banget, Zey. Aku nggak berani kalau minta sendirian.”
Zeya berhenti melangkah dan berdiri berhadapan dengan Jerry. “Kamu pikir aku berani?”
“Tapi, kamu lebih mudah cari akses bertemu Pak Digta.”
“Tahu, ah. Aku pusing….” Zeya memutuskan untuk ke cafe yang berada tak jauh dari fakultasnya.
Ketika memasuki cafe, ia tak sengaja bersitatap dengam Digta—yang ketika itu sedang duduk di kursi cafe.
“Wah, Pak Digta. Pas banget….” Komentar Jerry. “ayo sampering.” Jerry mendorong bahu Zeya.
“Ih, kamu saja yang duluan. Kenapa dorong-dorong aku, sih.”
“Yaelah, kamu kan, adik iparnya.”
Zeya memutar bola mata jengah. Dan melangkah lebih dulu mendekati Digta.
“Mas …,” panggil Zeya pelan dan duduk di depan Digta.
Digta berhenti menyesap kopi-nya ketika mendongak menatap Zeya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Digta, meski sekadar menyapa.
“Kebetulan, Dosen pembimbing aku Mas Digta. Boleh nggak, kalau minta tanda tangan kertas ini?” Zeya menyodorkan lembar kertasnya. “Sekalian temenku juga.” Zeya juga menyodorkan lembar kertas milik Jerry.
Digta menyandarkan punggungnya di kursi sembari menatap Zeya dan Jerry bergantian.
“Pertama, ini kampus, bukan rumah. Jangan coba-coba panggil saya dengan sebutan tidak formal seperti itu.” Jeda sejenak. “Kalau kamu memang masih tahu diri,” ujar Digta pedas. “Kedua, ini cafe, bukan kampus. Kamu tahu cafe ini tempat apa? Tempat duduk, tempat nongkrong, tempat bersantai. Bukan tempat bertemu Dosen atau bicara dengan Dosen seenak jidatnya.” Jeda lagi. “Kecuali, kamu memang tidak tahu malu.” Tatapan Digta semakin tajam. “Dan ketiga, saya tidak ingin kamu menjadi perantara temanmu, saya tidak ingin titip-menitip seperti ini. Kalau bisa, harus menghadapi saya satu per satu. Jangan keroyokan seperti ini.” Jeda. “Kecuali, kalau kamu memang tidak punya otak.”
Lantas Digta berdiri dari kursinya. Ia mengambil tas dan buku-buku yang ada di atas meja. Sebelum beranjak meninggalkan Zeya dan Jerry yang masih ternganga di tempat.
“Sialll!!!” Zeya mengerang kesal. Ia meneguk minuman bekas Digta dan menghempas gelas-nya di atas meja. “Berani sekali dia—“
Belum sempat Zeya mengumpat puas, Digta kembali lagi memasuki cafe dan menuju mejanya. Ia menatap gelas kopi-nya yang sudah kosong. “Loh, kemana kopi saya?”
Seketika, Zeya menyemburkan minuman yang masih tersisa di dalam mulut. Buru-buru Zeya menyela mulutnya. “M-maaf, Mas, eh, Pak… sudah saya minum.”
Digta menarik napas berat dan mengembuskannya dengan kencang. “Kalau gitu, kamu yang bayar minumnya.” Dan Digta kembali melangkah pergi.
Setelah memastikan Digta sudah pergi dan tidak kembali lagi, Zeya semakin mengerang kesal.
“Tuh, kan, kamu lihat sendiri tuh! Kenapa aku nggak mau ketemu kakak iparku sendiri!”
Jerry menelan ludah. “Ya maaf, Zey. Aku pikir, Pak Digta baik kalau jadi kakak iparmu.”
“Tahu ah, bete!” Zeya bangkit dari kursi dan menuju kasir. “Mba, berapa bill meja yang itu?” Zeya menunjuk meja Digta tadi.
“Oh, itu sudah dibayar Mba,” kata Mba-Mba kasir.
“Loh, siapa yang bayar?”
“Bapak yang duduk di situ tadi, Mba.”
Zeya semakin menarip napas dengan sebal. Ternyata, dia dikerjai dengam Digta!
“Oke, makasih, Mba.” Zeya pun beranjak dari cafe.
“Zey, tunggu dong….” Jerry masih mengejarnya. “Kamu satu rumah dengan Pak Digta?”
“Hem….” Zeya hanya berdehem.
“Kalau begitu, aku titip ini ya. Pak Digta pasti mau tandatangan kalau sudah di rumah.” Jerry menyerahkan kertas itu di tangan Zeya, lantas lelaki itu pun segera berlari pergi.
“Jerrryyyyy!!!” Teriak Zeya kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
dite
mau mau aja diperalat si jerry
2022-11-21
0
Iqlima Al Jazira
bener juga sich🤔
2022-11-04
0
Mustika Anggun
lagi dong kk updatenya
2022-09-25
0