Pagi-pagi sekali, Zeya terpaksa harus bangun dan mandi untuk bersiap-siap berangkat menuju bandara. Padahal biasanya, Zeya selalu bangun siang dan malas mandi. Terutama di hari Minggu.
Selama di perjalanan menuju bandara, Zeya memperhatikan kedua orangtuanya yang bersenandung gembira mengikuti musik dari stereo mobil. Seolah-olah, moment kepergian Zeya adalah moment yang paling mereka tunggu-tunggu.
“Mama dan Papa kelihatan bahagia sekali yaa anaknya pergi.” Zeya bersedekap sambil menyindir kedua orangtuanya.
Papa terkekeh geli sambil menoleh ke belakang sejenak. “Siapa yang nggak bahagia melepas anak bungsunya untuk hidup mandiri.”
“Kalau mau mandiri itu, harusnya nge-kost senditi, hidup sendiri. Bukan bergantung dengan Mba Ambar, Pa. Sama saja dong bohong.”
“Terus kalau hidup sendiri di Jakarta, kamu mau ngapain? Hidup bebas? Mau pergi pagi pulang pagi?”
“Enggak bakalan, Pa. Aku janji!” Zeya membentuk jemarinya menjadi tanda pis.
Mama ikut memutar kepalanya. “Kamu pikir, Mama bakap percaya dengan janji manismu? Sudahlah, Zeya … keputusan kami sudah bulat. Dan percayakan saja semuanya dengan kami.”
“Huh.” Zeya memalingkan wajah ke arah jendela dengan sebal.
Sesampainya di bandara, kedua orangtuanya tidak ada embel-embel menunggu Zeya sampai Zeya masuk ke dalam pesawat. Mereka langsung memeluk Zeya dan mengucapkan selamat tinggal, lalu pulang.
Benar-benar tidak berprike-orangtua-an!
“Bye Zeyaaa, semoga beruntung!” Dian mengepalkan tangan ke udara dan menariknya jadi membentuk semangat.
Zeya hanya manyun dan menarik kopernya masuk ke dalam pintu keberangkatan.
***
Baru duduk di pesawat, Zeya langsung menggunakan headset dan memutuskan untuk memejamkan matanya saja sambil menyandarkan kepala di jendela.
Seseorang menggoncang tubuhnya dan melepaskan sebelah headset Zeya, membuat kelopak mata perempuan itu terbuka.
“Kenapa sih?” Zeya dongkol kepada lelaki yang telah mengganggu tidurnya tersebut.
“Sorry, bukan kah yang kamu duduki itu bangku saya?” Lelaki itu menunjukkan tiket-nya pada Zeya.
Zeya melihat tiket pesawatnya dengan saksama. “Ini kursi saya ada di D, dan kamu F.”
“Tapi, F itu duduk di dekat jendela. Dan D duduk di pinggir dekat jalan.”
Zeya mengernyit. “Sejak kapan peraturannya berubah?”
“Memang seperti itu peraturannya sejak dulu, karena bangku kita berada di sisi kiri badan pesawat. Kalau kamu ragu, kamu bisa lihat kodenya di atas bangku kamu.”
Zeya memejamkan matanya sejenak sambil mengerang kesal. “Ribet!” Lantas ia bangkit dan keluar dari deretan kursi.
Membiarkan lelaki itu menempati kursinya tadi.
“Sorry, aku sedikit mual kalau nggak duduk di dekat jendela,” kata lelaki itu lagi.
“Bodo amat.” Zeya menggerutu dan duduk di kursinya. Zeya kembali menggunakan headset dan tidur.
Sampai akhirnya pesawat lepas landas, dan Zeya enggan menutup matanya sampat pesawat mendarat kembali di bandara Soekarno-Hatta.
Seseorang kembali menggoncang tubuhnya, dan Zeya membuka mata kembali. Ia menoleh ke arah lelaki tadi. Padahal sudah jelas-jelas di antar kursi mereka ada orang duduk, tapi lelaki itu masih bisa memanjangkan tangan untuk mengusi Zeya.
“Apa sih?” Zeya kehabisan kesabaran.
“Sudah sampai,” kata lelaki itu.
Zeya membuka mata, dan orang-orang sudah berdiri untuk mengambil barang mereka di kabin pesawat.
Zeya pun ikut berdiri dan mengambil barangnya. Lantas buru-buru keluar dari pesawat.
Tanpa ia sadar seorang lelaki tadi telah mengikuti langkahnya.
“Hei ….” Kini lelaki itu mensejajarkan langkahnya. “Sorry atas ketidaknyamanan kamu selama terbang tadi. Aku nggak bermaksud mengganggu kamu.”
Zeya menyipit tajam. “Kamu sudah nonton film Taken belum?”
“Yang dibintangi oleh Liam Neeson?”
“Yup. Kamu tahu kenapa anaknya diculik?”
Lelaki itu mengangkat alisnya.
“Kesalahan terbesarnya adalah, berkenalan dengan laki-laki yang tidak dikenal.”
Laki-laki di sebelah Zeya tertawa. “Maksud kamu, aku ini—“ lelaki itu menghentikan omongannya.
“Siapa tahu….” Zeya mengangkat kedua bahu.
“Aku Jerry.” Lelaki itu justru mengulurkan tangan untuk berkenalan.
Zeya tidak menanggapi dan berjalan dengan cepat demi menghindari lelaki bernama Jerry tersebut.
***
“Zeyaaaa!”
Ambar melambaikan tangan setelah melihat Zeya keluar dari pintu kedatangan.
Zeya melangkah cepat sambil menarik kopernya dan langsung memeluk Ambar.
Mungkin sudah hampir tiga tahun merek tidak bertemu, karena kesibukan Ambar dan ditambah lagi masa covid membuat mereka sulit bertemu.
“Ya ampun, kamu sudah langsing ya, sekarang. Perasaan dulu agak gemukan.” Komentar Ambar.
“Aku diet hehehe.” Zeya terkekeh.
Lantas melepaskan pelukannya dari Ambar dan menatap anak kecil berusia tujuh tahun berdiri di sebelah Ambar. “Ini Ciyaa?”
“Iya, Ciya.” Ambar mengelus kepala Ciya.
“Ya ampun, udah gede ya. Padahal dulu masih sering aku gendong-gendong, loh.” Zeya membungkukkan badan agar tingginya dan Ciya sejajar. “Halo Ciya, aku Tantemu, Zeya. Tos dulu dong!” Zeya menunjukkan kelima jarinya.
Ciya masih terlihat takut-takut dan memeluk kaki Ambar.
“Maklum, baru pertama kali ketemu orang baru,” ujar Ambar.
Zeya kembali berdiri. “Mba sendirian aja jemput aku?”
“Berdua doang dengan Ciya. Mas Digta lagi ngajar.”
“Alhamdulillah.” Zeya mengusap dada.
“Loh, kenapa memangnya?”
“Nggak apa-apa, Mba. Aku bingung gimana cara berbaur dengan Mas Digta.”
“Hahaha, santai aja. Sudah aku bilang kalau Mas Digta itu orang yang baik. Kamu pasti suka, deh….”
“Mba pikir aku pelakor ya, main suka-suka dengan laki orang.”
Ambar tertawa lagi. “Beneran kamu bakalan menyukai Mas Digya. Karena dia laki-laki yang baik dan perhatian. Kalau kamu sudah mengenal Mas Digta lebih dalam. Mungkin kriteria calon suamimu seperti Mas Digta.”
“Ih, Mba bisa aja deh.”
“Yaudah, Yuk. Kita langsung pulang saja.”
Mereka pun meninggalkan Bandara.
***
Sesampainya di rumah, Ambar langsung menunjukkan kamar Zeya yang berada di lantai bawah. Kamarnya cukup luas dan nyaman, sangat cocok untuk Zeya yang males naik-turun tangga.
Setelah menaruh semua barang-barangnya di kamar, Zeya pun makan siang di ruang makan yang telah disediakan oleh Ambar.
Ponsel Ambar berdering, ia izin sebentar pergi dari ruang makan untuk menerima telepon dari mamanya.
“Assalamualaikum, Ma,” sahut Ambar setelah berada di halamaj belakang.
“Zeya sudah sampai?”
“Sudah, Ma. Lagi makan siang bareng Ciya.”
Terdengar suara helaan napas yang berat dari seberang sana. “Mama mengkhawatirkan kamu dan adik kamu.”
“Ma, percaya dengan aku. Semuanya akan baik-baik saja dan rencana kita akan berhasil. Asalkan, Mama dan Papa tetap menjaga rahasia.”
Dian terisak. “Mbar, jangan lupa diminum obatnya dan terus rutin kontrol ya. Mama dan Papa belum bisa datang ke Jakarta karena Papa masih sibuk dengan kerjaannya.”
“Nggak apa-apa, Ma. Kita bisa berkumpul saat lebaran nanti.”
Dian masih tersiak. “Mama nggak pernah menyangka kalau kehidupan kamu akan jadi seperti ini, Amba. Kamu perempuan yang baik, istri yang hebat, dan kakak yang tangguh untuk Zeya. Kami semua menyayangi kamu.”
“Aku pun menyayangi kalian semua. Andai aku punya pilihan lain, aku tidak ingin memilih lahir seperti ini. Tapi, semua sudah ketentuan dari yang di atas dan aku hanya bisa menjalani dan menerima dengan lapang dada.”
“Mama mencintai kamu, sayang.”
“Aku juga, Ma.”
Percakapan siang ini diiringi dengan isakan tangis dari keduanya. Sampai nanti isakan tangis ini menjadi senyuman kebahagiaan, ketika Ambar sudah pergi dari kehidupan mereka dengan tenang. Dan lebih tenang lagi disaat hidup akan berjalan sesuai rencananya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
bu anto
mama dn ambar sdh tahu kl ambar sakit.
sengaja mendekatkan zeya dg ciya dn digta
2023-02-03
1
💗vanilla💗🎶
ternyata mmg sdh rencana ambar ya .. sedih 😩
2023-01-23
1