Semenjak tinggal bersama Ambar, Zeya jadi suka mengurung diri di kamar. Apalagi kalau Digta sudah pulang kerja, Zeya benar-benar berada di dalam kandang.
Zeya menghabiskan waktu dengan nonton drama Korea kesukaannya, mumpung kegiatan belajar di kampus belum mulai dan belum ada tugas menumpuk.
Pintu kamarnya diketuk, bertepatan dengan munculnya Ambar di ambang pintu.
“Zey, makan malam dulu yuk.” Ajak Ambar.
Zeya mendongak. “Makan malam bareng-bareng di meja makan ya, Mba?”
“Iya dong, memangnya mau makan di mana?”
“Duluan aja deh, Mba. Aku nggak enak dengan Mas Digta.”
“Loh, kenapa begitu? Makan bareng-bareng lebih seru, Zey.”
Zeya tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan Ambar. Zeya mengganti pakaiannya menjadi lebih sopan sebelum keluar dari kamar dan ikut duduk di ruang makan.
Digta dan Ciya sudah duduk di ruang makan lebih dulu. Digta sibuk dengan ponselnya, sampai-sampai enggan melihat kehadiran Zeya. Atau sekedar menyapa.
“Besok, Zeya sudah mulai kuliah.” Ambar membuka percakapan.
Tidak ada tanggapan dari Digta. Dan Zeya pun menjadi kaku, mengingat Digta akan menjadi dosennya.
“Mas ….” Panggil Ambar.
“Um, ya?“ Digta akhirnya mendongak. “Sorry, ini aku lagi lihat tugasnya para mahasiswa.”
“Kalau lagi makan, jangan main hp dulu,” kata Ambar lagi.
“Oke-oke, sorry.” Digta menyingkirkan ponselnya seolah menurut dengan Ambar.
“Besok Zeya sudah mulai ke kampus, Mas. Perginya bisa barengan dengan kamu saja, kan?”
Zeya tersedak minumannya. Sedangkan Digta mengangkat kedua alis sembari menatap Zeya.
“Eh, Zeya, halo. Kapan sampainya?” Dan lelaki itu baru menyapanya sekarang setelah Zeya sudah cukup lama duduk di sini.
“Tadi siang, Mas,” jawab Zeya sekenanya.
“Oh iya….” Digta menggaruk pelipis. “Besok harus ke kampus ya. Sudah mulai masuk mata kuliahan?”
“Belum, Mas. Masih registrasi untuk nentuin jadwal kuliah.”
“Ooh…. Kalau gitu, besok bisa pergi bareng. Kebetulan saya ada kelas pagi.”
“I-iya, Mas.”
Zeya melihat ekspresi Ambar yang tersenyum padanya. Seolah Ambar merasa begitu bahagia.
Tidal ada pembicaraan lain saat mereka sedang menikmati makan malam. Hanya hening yang terjadi sampai Digta menghabiskn makanannya dan segera bangkit dari kursi makan.
“Sayang, aku sudah selesai. Aku mau ke ruangan kerja dulu untuk kelas online dengan mahasiswa,” ujar Digta lembut sambil tersenyum pada Ambar.
“Oke, Mas.” Ambar pun juga membalas dengan senyuman.
Setelah Digta pergi dari ruang makan dan mereka semua juga sudah selesai makan. Zeya mengambil beberapa piring kotor dari meja makan dan membawanya ke wastafel.
“Mas Digta baik, kan?” Ambar mendekatinya.
Zeya menyipit. “Baik sih.”
“Jadi, besok kamu bisa berangkat ke kampus bareng Mas Digta ya, Zey.”
Zeya menyiprat air di tangannya ke wastafel. “Mba, sebenarnya aku bisa naik angkutan umum saja. Aku takut merepotkan Mas Digta.”
“Kamu kan, orang baru di sini. Memangnya kamu paham naik angkutan umum? Di Jakarta itu ribet loh, Zey.”
“Tapi, sekarang zaman sudah canggih dan bisa pesen ojek lewat aplikasi. Nanti juga diantar sesuai alamatnya, Mba.”
“Tapi mahal tahu. Apalagi jarak rumah ini ke kampus itu nggak deket.”
Mendengar kata “mahal”, Zeya jadi lebih berpikir panjang. Mungkin sudah benar jalannya kalau dia harus nebeng bareng Digta. Untung-untung bisa menghemat ongkosnya.
***
Zeya mendengar samar-samar suara gedoran pintu di kamarnya dan suara lembut Ambar yang terjs memanggilnya.
Zeya berusaha membuka mata dan mencari jam weker yang sudah hilang dari atas nakas.
Zeya memutuskan untuk memejamkan matanya lagi. Tapi, dia ingat kalau satu jam yang lalu, Zeya baru saja melempar jam wekernya ke lantai karena berisik.
Hal itu membuat Zeya segera terduduk di kasur dan mencari keberadaan ponselnya uang ternyata dihimpit dengam tubuh ya sendiri.
Zeya memperhatikan jam ponsel yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sedangkan seharusnya, Zeya sudah harus berangkat bersama Digta pukul tujuh pagi.
“Mampus!” Zeya beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar.
Ambar sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. “Ya ampun, Zey. Mulutku sampe kering manggil kamu!”
“Ya ampun Mba, maaf. Aku ketiduran. Gimana ini?”
“Lain kali, kamarnya jangan dikunci. Agar aku bisa nyiram kamu pake air dingin atau air panas!” Seru Ambar sarkastis.
“Sorry, Mba, sorry.” Zeya mengerucutkan bibirnya.
“Yaudah buruan mandi. Mas Digta lagi nungguin kamu tuh di teras.”
“Mba, bilangin dengan Mas Digta untuk berangkat duluan saja. Ntar aku nyusul.”
“Nggak, Zey. Mas Digta mau koo nungguin kamu. Kamu buruan mandi dan siap-siap ya.” Ambar mendorong Zeya masuk ke dalam kamar.
Dan Zeya tidak tinggal diam. Pagi ini dia terpaksa tidak mandi dan hanya cuci mula menggunakan keempat jarinya.
Lalu ia menyemprotkan banyak parfum di seluruh tubuh dan mengganti pakaian yang layak untuk ke kampus.
“Aku sudah siap,” ujar Zeya setelah berdiri di depan teras menghampiri Digta dan Ambar yang sudah menunggu.
Digta mengibaskan tangan sembari menutup hidung. Mungkin dia ingin bilang kalau bau parfum Zeya begitu menyengat, tapi sepertinya Digta memutuskan untul diam saja.
“Sudah?” Digta bangkit dari kursi. Lelaki itu melirik jam tangannya. “Ciya jadi terpaksa harus ke sekolah nebeng tetangga karena sudah telat,” ujar Digta berupa sindirian sambil berjalan menuju mobil. “Sudah banyak waktu yang terbuang sia-sia karena menunggu orang lain yang lalai,” sindir Digta lagi secara pedas.
“Mas ….” Ambar menegur. Ia ikut melangkah sambil membawakan tas kerja Digta. Lalu Ambar memberi isyarat kepada Zeya agar segera masuk ke dalam mobil.
Zeya pun langsung duduk di kursi penumpang belakang ketika Digta sudah duduk di kursi kemudi.
“Apakah wajah saya seperti supir?” Digta menatap Zeya dari spion depan.
“Zey, pindah duduk ke depan, di sampingnya Mas Digta.” Pintah Ambar yang berbicara di jendela kaca mobil dekat Digta yang masih terbuka.
Zeya pun buru-buru pindah duduk di kursi depan.
“Maaf, Mas.” Zeya merasa tidak enak hati.
Digta tidak menanggapi dan memilih untul menatap istrinya. “Mas berangkat dulu ya, sayang.”
“Hati-hati, Mas.” Ambar mencium punggung tangan Digta, dan lelaki itu mencium kening Ambar.
Zeya mengerucutkan hidungnya. Bagaimana mungkin Digta bisa selembut dan nurut dengan semua perkataan Ambar. Dan juga sikap Digta begitu manis dengam Ambar.
Berbeda saat Digta bersikap pada Zeya. Begitu ketus, cuek dan sarkastis!
Kemudian, mobil pun melesat meninggalkan rumah dan membelah jalam raya.
Entah mengapa. Suasana di mobil berubah jadi begitu mencekam dan dingin. Bahkan, tidak ada suara penyanyi yang muncul di stereo mobil.
“Melanjutlan S2 itu tidak main-main, kalau hanya untuk gaya-gayaan, lebih baik tidak perlu.” Tiba-tiba suara Digta muncul. “Kalau beneran mau kuliah serius, harus bangun pagi dan datang ke kampus tepat waktu. Bukannya malah lelet begini. Bukan hanya waktu kamu yang sia-sia, waktu saya juga terbuang dengan mahal.” Begitu kalimat yang keluar dari bibir Digta dengan sarkas.
Sampai Zeya kaget mendengarnya.
“M-maaf, Mas.” Hanya itu yang mampu Zeya ucapkan.
“Berdoa saja, saya tidak menjadi Dosen yang mengajar di kelas kamu,” kata Digta lagi.
“Memangnya kenapa, Mas.”
“Karena saya ini dosen killer. Saya sangat totalitas dalam mengajar tanpa kenal status. Jadi, meskipun kamu adik ipar saya, bukan berarti saya akan menjadikan kamu anak emas. Kamu tetap diperlakukn sama dengan mahasiswa lain. Dan, jangan pernah berusaha untuk mendekatkan diri dengan saya demi nilai kamu naik. Karena saya tidak suka penjilat.”
Lagi dan lagi, Zeya harus menelan ludah mendengar ucapan Digta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Enung Samsiah
hari pertama udah bikin kesell,,,
2022-12-04
0
hania putri
mengerucutkan hidung itu gimana bentuk nya ya?
2022-09-27
1