Tuti tergopoh-gopoh menghampiri Dara yang masih mematung di antara keramaian hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang di rumah sempitnya itu, pikirannya tiba-tiba membeku seketika tak dapat mencerna apa yang terjadi sebenarnya.
“Dara, kenapa masih berdiri di sana, cepatlah ke kamar, perias pengantin sudah menunggumu sejak berjam-jam yang lalu!” titah sang ibu yang seolah tanpa dosa dan dengan entengnya mengatakan semua itu.
“Mak, apa maksud dari semua ini?” lirih Dara dengan pandangan yang sayu, mengharap sebuah jawaban yang benar-benar dapat memuaskan dan menjawab semua rasa ke penasarannya.
Mendengar pertanyaan lirih putrinya, Tuti justru malah menarik paksa tangan Dara, sampai gadis itu terseok karena saking kencangnya Tuti menarik pergelangan tangan kanan Dara yang kurus kering itu. Mereka masuk ke dalam kamar pribadi Dara yang kini sudah berubah menjadi kamar yang penuh dengan seserahan berisi barang-barang mewah yang di hias beraneka rupa.
Barang-barang mahal dan bermerek itu seakan memenuhi setengah dari luas kamarnya yang tidak seberapa luas itu. Kamar berukuran 3x3 meter itu pun harus terasa semakin sempit karena seorang MUA menggelar alat make up miliknya di sebuah meja kayu yang Dara sangat ingat kalau itu berasal dari tuang tamu rumahnya.
“Ah, sudah datang rupanya mempelai wanitanya, mari kita mulai merias.” Seorang pria kemayu menghampiri Dara yang terlihat ketakutan dan risi karena pria itu memegang-megang bahunya dengan leluasanya.
“Mbak Cellin bisa keluar sebentar, saya mau bicara dengan putri saya sebentar,” pinta Tuti pada pria kemayu yang dia panggil dengan nama Cellin itu.
Dengan sedikit kesal pria itu keluar dari kamar, dia sedikit bete akibat menunggu berjam-jam lamanya, dan setelah yang dinantikan tiba, dirinya malah di suruh untuk keluar.
“Kau lihat semua ini, dan lihat ini, kita dapat rezeki besar!” pekik Tuti menunjuk barang seserahan, lalu menyingkap lengan baju kebaya panjangnya memperlihatkan gelang emas dan cincin yang sangat berkilauan.
“Apa maksud semua ini, Mak? Rezeki apa? Lantas apa hubungannya dengan aku yang harus menjadi pengantin, apa Emak menjualku?” Dara memicingkan matanya, merasa curiga dengan ibunya.
“Bocah kurang ajar! Berani-beraninya menuduh ibumu sendiri yang tidak-tidak, aku hanya ingin memberimu kebahagiaan, dan juga kebahagiaan untuk keluarga kita, ratusan tahun kau bekerja juga kau tak akan mungkin memberikan ini semua padaku, lagi pula pria yang akan menikahimu itu bukan pria sembarangan, dia tampan, kaya dan sepertinya sangat tergila-gila padamu.”
“Ta-tapi siapa dia, Mak?” Otak Dara tak bisa berpikir apa pun, tak ada bayangan juga tentang siapa yang akan tiba-tiba menjadi calon suaminya itu.
“Aku, aku yang akan menjadi suamimu, cepat berdandan, waktuku tak banyak, selesai akad kita harus kembali ke Jakarta, dan kau tinggal di rumahku.” Sosok Bagas tiba-tiba muncul dari balik pintu menginterupsi perdebatan antara Dara dan ibunya.
“Pak Bagas? Kenapa Anda berada di sini? Apa maksud semua ini, apa ini ulah Anda?” sentak Dara kaget, kakinya mundur beberapa langkah ke belakang saat Bagas berjalan mendekat ke arahnya.
“Kau benar, ini semua ulahku. Bukankah sudah aku bilang sebelumnya, kalau aku akan mendapatkan apa pun yang aku mau dengan cara apa pun, hem?” bisik Bagas tepat di telinga Dara yang tak bisa lagi menghindar dari bosnya itu karena kini punggungnya sudah menyentuh dinding kamarnya.
“Tapi ini sungguh tidak benar, kita bahkan tidak saling mengenal, bagaimana bisa kita menikah?” gugup Dara.
“Dara Jelita, tepat 21 tahun pada tanggal 3 bulan September mendatang, penyuka warna hijau, ukuran baju S, ukuran celana nomor 27, sepatu nomor 38, aku juga tahu ukuran pakaian dalammu, apa itu masih belum cukup di katakan mengenalmu?” Bagas menyeringai memperlihatkan deretan gigi putihnya seakan mengejek ketakutan yang kini sedang dirasakan oleh Dara.
“Sakit jiwa, aku tak akan pernah mau menikah dengan pria arogan sepertimu.”
“Sayangnya orang tuamu sudah menerima sejumlah uang dan satu hektar sawah dariku, kalau kau menolaknya kau harus mengganti itu semua tiga kali lipat!” Bagas tersenyum miring.
Seketika Dara menoleh ke arah sang ibu yang berpura-pura tak memperhatikan interaksi antara putri dan calon menantu kayanya itu.
“Mak, jelaskan semua itu!” Mata Dara memicing ke arah Tuti yang gelagapan.
“Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang kaya, berkorbanlah sedikit untuk keluargamu, apa salahnya, sih!” kata Tuti terdengar sangat egois.
Apa, sedikit? Rasa-rasanya kalau tak ingat Tuti adalah ibu kandungnya dia ingin sekali berteriak di hadapan wanita setengah baya yang di kepalanya hanya berisi uang, uang, dan uang saja itu, bahwa selama ini tidak sedikit yang Dara korbankan demi kebahagiaan keluarganya, banyak hal. Di saat anak-anak seumuran dengannya asik bermain, nongkrong bersama teman-temannya, dirinya harus rela bekerja serabutan demi agar keluarganya bisa makan, dan itu dia rasakan dari semenjak usianya menginjak sembilan tahun. Tubuh kecilnya rela berpanas-panasan di ladang dan sawah milik orang lain demi imbalan yang tak seberapa, dan itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk di berikan pada ibunya, lalu dengan entengnya Tuti sekarang mengatakan pada Dara untuk berkorban sedikit saja?
Lantas yang dilakukannya selama ini apa, kalau bukan sebuah pengorbanan?
“Sudahlah, jangan berdebat lagi, aku terburu-buru, kalian tak pernah tahu kalau setiap menit waktuku yang terbuang itu berarti puluhan juta yang hilang, cepat berdandan dan kita selesaikan acara pernikahan ini!” lerai Bagas yang merasa ibu dan anak itu hanya mengulur waktu dan membuat semuanya menjadi sangat lambat.
“Mak, aku tidak mau menikah dengannya,” mohon Dara dalam isak tangisnya yang terdengar sangat memilukan.
“Bukankah kau dengar sendiri tadi, kalau dia meminta ganti rugi tiga kali lipat dari semua uang yang telah dia keluarkan, dari mana kita mendapatkannya, bahkan menjual nyawa kita berempat pun tak akan cukup untuk membayarnya, cepatlah lakukan saja!” ujar Tuti tak mau peduli.
Lemas rasanya seluruh tubuh Dara saat semua saksi dan penghulu mengatakan kata “sah” dengan serentak, itu berarti kini dirinya adalah seorang istri dari pria yang sungguh dia sendiri tak tahu bagaimana kepribadiannya, siapa dia sebenarnya, bahkan keluarganya tak ada yang datang satu orang pun, dia hanya datang di temani Panji, sang asisten pribadinya yang selalu setia mengikuti dan mendampingi ke mana pun Bagas pergi.
Satu yang Dara tahu kalau suaminya itu egois dan arogan, selain dia seorang bos besarnya tentu saja.
Benar saja, tak ada hitungan jam setelah selesai acara akad, tanpa basa-basi Bagas langsung membawanya pergi dari rumah orang tuanya menuju ke Jakarta kembali.
Sudah tak ada lagi tenaga untuknya berontak atau menolak, karena semuanya akan terasa percuma dan sia-sia saja, dirinya kini sudah menjadi seorang Nyonya Bagas Prawira, dan segera menempati istana milik suaminya itu.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah mewah yang benar-benar bagaikan istana, namun sayangnya karena rasa sedih dan kesal di hati Dara, wanita itu bahkan tak punya waktu untuk sekedar mengagumi rumah mewah nan luas itu. Dia sibuk menangisi nasibnya sendiri, yang dinikahi secara siri atas paksaan Bagas dan juga seluruh keluarganya.
Langkahnya begitu lunglai saat mengekor langkah tegap dan cepat Bagas dan Panji yang memimpin di depannya.
Namun langkah Dara seketika terhenti saat sudut matanya menangkap sebuah bingkai berukuran sangat besar berisi foto wanita yang sangat mirip dengan dirinya tergantung di dinding ruang tamu rumah itu.
Jelas sekali kalau itu bukan dirinya, dia sangat hafal dengan tubuh dan gayanya sendiri, tapi wanita dalam bingkai itu sungguh mirip dengan dirinya.
“Tak usah terkaget seperti itu, kau akan menemukan lebih banyak foto serupa di dalam rumah ini,” ujar Bagas yang menyadari kalau Dara kini tengah memperhatikan bingkai berukuran raksasa di ruang tamunya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-04-29
1
Azizah az
kamu hanya JD bayang masalalu si bagas
2022-10-02
1