Kian pun berjalan keluar halaman menunggu bis di halte depan gedung kantor. Di jam pulang para pekerja seperti ini biasanya jalanan ibukota sudah sesak oleh kendaraan. Kemacetan adalah hal yang tak bisa dihindari. Kian menghela nafas pelan, menatap langit yang mulai kemerahan. Hidup di ibukota ternyata tak seindah yang ada di khayalannya dulu sebelum dia memutuskan untuk merantau.
Waktu di kampung, Kian berkhayal ingin menjadi artis saat berada di ibukota layaknya film-film ftv yang sering ia saksikan di televisi. Namun apalah daya, khayalan ada di atas awan tapi kemampuan tidak sepadan. Dengan wajahnya yang pas-pasan dan bermodalkan ijazah SMA, bisa diterima di perusahaan ini saja sudah cukup bagus. Sudut bibirnya tertarik saat dia mengingat khayalan bodohnya itu.
Ditengah lamunannya Kian merasa ada sesuatu yang bergerak didepan matanya, melambai-lambai hingga akhirnya dia terkesiap melihat Rendy yang sedang menggerakkan tangan di depan wajahnya. Menyadarkan Kian dari lamunannya.
"Ehh kak Rendy, sejak kapan ada disini?" tanya Kian kaget. Dia mengusap wajahnya yang bersemu merah menahan malu.
"Sejak sejam yang lalu sambil melihat wajah kamu yang bengong," jawabnya dengan senyuman jahil.
Mendengar jawaban pria itu, Kian menundukkan wajah malu. Rendy pasti sudah melihat tampang bodohnya saat melamun.
"Haha,, aku bercanda, kok. Aku baru saja ada disini."
Kian menghela napas lega. Untuk sesaat ia menatap Rendy yang masih tertawa lepas karena berhasil menjahilinya. Tawa yang membuat dadanya berdebar-debar. Dimata Kian, Rendy sosok laki-laki sempurna yang membuatnya susah tidur selama berhari-hari.
"Emang Kak Rendy mau kemana, kok tumben ke halte?"
"Mau pulang."
"Lho bukannya biasanya Kak Rendy naik motor".
"Motornya lagi di servis, Kian"
"Ohh."
Saat mereka tengah asyik mengobrol, bis yang mereka tunggu pun tiba. Rendy masuk lebih dulu lalu mengulurkan tangannya membantu Kian menaikki bis. Kian tertegun menatap uluran tangan itu, tapi akhirnya menerimanya dan naik bersama Rendy.
Tidak hanya jalanan yang penuh sesak, bis yang mereka tumpangi juga berjejal para penumpang. Hingga penumpang yang tidak dapat kursi harus rela berdiri berhimpitan. Seperti Kian dan Rendy saat ini, mereka terpaksa berdiri di tengah sesaknya penumpang lain.
Kian yang tidak bisa menggapai besi pegangan, berpegangan pada sandaran kursi agar tidak jatuh. Namun seseorang memanfaatkan keadaan dengan memegang tangan Kian. Seolah ia juga ingin berpegangan disana. Kian ingin melepaskan tangannya, tapi ia hampir terjatuh saat supir mendadak mengerem.
Tiba-tiba seseorang meraih tangannya dan menariknya lebih dekat. Kian hampir saja memaki orang itu kalau saja ia tidak tahu tangan kekar yang saat ini menggenggam tangannya adalah milik Rendy.
"Kalau kamu jatuh, bahaya!" ujarnya.
Kian tidak bisa menolak. Karena tidak sedikit orang-orang yang memiliki niat buruk mengambil kesempatan di saat seperti ini. Dengan berpegangan tangan, orang akan berpikir mereka sepasang kekasih.
Tak dipungkiri, Kian merasa kali ini jantungnya berdegup lebih kencang karena posisinya yang terlalu dekat dengan Rendy. Ia bahkan bisa mencium aroma Citrus dari tubuh laki-laki itu. Kian merasa heran, padahal sudah bekerja seharian, tapi bau keringat tidak tercium sama sekali dari tubuhnya.
"Kian, Kiandra.. Bisnya sampai di depan komplek nih." Rendy kembali melambaikan tangannya didepan wajah Kian. Membuat gadis itu terperanjat kaget. Ternyata sedari tadi Rendy sudah mengetuk besi dengan koin sebagai tanda berhenti untuk sopir. Hanya saja Kian tidak menyadarinya. Ia terlalu asyik menikmati aroma yang khas dari tubuh Rendy.
"Ehh iya Kak, terimakasih banyak. Aku turun duluan ya." Kian tergagap. Ia pun turun dari bis dengan cepat sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Menutup pipinya yang nyaris saja meledak karena rona merah.
"Dasar bodoh! Bagaimana aku bisa bengong sambil menikmati aroma tubuhnya. Aku pasti sudah gila." Rutuk Kian.
Tanpa Kian sadari dibalik punggungnya, ada seseorang yang tersenyum melihat tingkahnya.
"Dia terlihat manis saat tersipu."
***
Keesokan harinya Kian memutuskan untuk tetap berangkat lebih pagi dari biasanya. Rasanya lebih nyaman karena bis tidak di penuhi penumpang. Ditambah lagi cuacanya yang belum terlalu terik. Tahu sendiri kan Jakarta, jam masih menunjukkan angka 8 saja panasnya sudah membuat keringat bercucuran.
Baru saja Kian sampai didepan komplek, tiba-tiba seorang pengendara motor datang mendekat, mensejajari langkahnya. Kian melirik sekilas. Namun karena pria itu menggunakan helm full face, membuat Kian tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Kian berusaha untuk tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan langkahnya, tapi pengendara motor itu masih saja mengikutinya.
"Hai, boleh kenalan?"
Kian memutar bola mata jengah saat orang itu berusaha menggodanya. Namun ia sama sekali tidak menanggapi. Ia hanya mempercepat langkahnya agar sampai di halte depan komplek.
Ada sesuatu yang mengganjal Kian, ia merasa seperti mengenal suara orang itu. Suara bariton yang tidak asing di telinganya. Saat ia menatap orang itu lagi, Kian baru menyadarinya.
"Kak Rendy?" Suara Kian terdengar ragu, tapi ia tetap mengucapkannya untuk memastikan pria yang ada didepannya ini benar Rendy atau bukan. Lalu pria itu membuka helmnya dan tersenyum lebar melihat raut bingung di wajah Kian. Setelah melihat wajah siapa dibalik helm itu sebenarnya, Kian refleks melayangkan pukulan di bahu Rendy. Membuat pria itu meringis kesakitan.
"Aduhh." keluhnya sambil mengusap bahunya.
"Lagian siapa suruh pagi-pagi sudah iseng."
"Iya..Iya maaf. Yauda ayo berangkat," ucap Rendy sambil menyerahkan helm lain yang dia bawa.
"Kemana?" tanya Kian bingung.
"Ke Kantor lah masa ke KUA."
"Ke KUA juga aku ngga nolak!" balas Kian dengan nada meledek.
Rendy hanya tersenyum samar mendengarnya. Setelah Kian naik, ia menarik pedal gas dan motor melaju menyusuri jalanan Ibukota. Sebenarnya Kian heran apa penyebab Rendy ada di depan kompleknya pagi ini. Tidak mungkinkan laki-laki itu sengaja menjemputnya? Oh ayolah, dia tidak mau sepercaya diri itu. Tapi tetap saja Kian menurut dan menerima ajakan Rendy. Lumayan dapat tumpangan gratis, batinnya.
Selama diperjalanan mereka saling diam membisu, hanya terdengar suara mesin kendaraan yang saling bersahutan di sisi mereka. Hari masih terlalu pagi. Jalanan belum begitu macet, jadi mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai dihalaman kantor.
Setelah melepas helm, Kian merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu mengembalikan helm tersebut kepada Rendy, ia melirik gerobak bubur ayam yang ada di trotoar jalan sambil memegangi perutnya. Kian belum sempat sarapan pagi ini.
"Kamu belum sarapan?" tanya Rendy saat melihat Kian memegangi perutnya.
Kian menggeleng. "Belum, Kak." jawabnya mengulum senyum.
"Kalo gitu kita sarapan dulu, baru naik keatas," ajak Rendy sambil berjalan keluar halaman menuju trotoar dimana gerobak bubur ayam berada. Sedangkan Kian hanya mengikuti dari belakang.
"Pak, bubur ayam dua ya," ucap Rendy sambil mengacungkan dua jarinya ke penjual paruh baya itu.
"Oke Mas siap," balasnya dengan senyum lebar, hingga deretan giginya terlihat jelas. Tidak butuh waktu lama 2 porsi bubur ayam sudah selesai dibuat.
"Ini buat Mas, ini buat Mba." Sambil memberi mangkok bubur ayam dengan hati-hati.
"Terimakasih, Pak," jawab Rendy dan Kian hampir bersamaan. Lalu mereka menyantap bubur mereka masing-masing dalam keheningan.
"Rendy!" Terdengar seorang wanita memanggil nama Rendy dari kejauhan. Saat mereka menoleh, gadis itu sedang melambaikan tangannya kearah Rendy. Lalu berjalan menghampiri. Tubuhnya yang tinggi dibalut blazer hitam dengan dalaman berwarna merah cerah serta rok span yang menutupi hingga lutut membuat auranya sebagai wanita karir memancar sempurna. Belum lagi wajah cantik dengan kulit putih bersih, membuat Kian merasa ciut untuk berharap lebih pada Rendy. Ia jelas tidak ada apa-apanya dibanding Viona.
"Tumben kamu berangkat pagi banget, Sayang?" ucap wanita itu sambil tersenyum pada Rendy. Untuk sesaat dia tidak menyadari keberadaan Kian disebelahnya. Atau memang sengaja untuk tidak memperdulikannya.
"Mmhh.. Ada pekerjaan yang harus ku kerjakan pagi ini. Kamu sudah sarapan?"
"Seandainya pun aku sudah sarapan, rasanya aku tetap ingin sarapan bersamamu. Tapi sayangnya aku sedang buru-buru karena akan ada rapat. Mungkin next time, Sayang," ucap wanita itu.
Jujur saja, sebenarnya Kian merasa ingin muntah saat mendengar Viona berkali-kali memanggil Rendy dengan sebutan Sayang. Kalau di bilang cemburu, tentu saja ia cemburu. Tapi ia tidak punya kapasitas untuk itu.
"Hmm..baiklah," jawab Rendy. Sebelum Viona pergi, ia sempat mencium pipi Rendy di depan Kian. Membuat Kian yang melihat pemandangan itu hanya bisa menelan ludah sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
SR_Muin
jejak
2020-08-20
0
Sugianti Bisri
Lanjut Thor, keren nih ceritanya 👍👍👍
" Temani aku, Ken! " udah update loh😊😊😊
2020-08-03
0
Papi Suho❤️💦
semangat terus untuk authornya
2020-07-29
0