Kabur

Sinta menganti pakaiannya dan tak menggunakan pakaian rumahan melainkan pakaian lebih nyaman untuk keluar rumah.

Sinta tak mau membuka pintunya bahkan sudah beberapa kali ayahnya mengetuk. Sejak ia masuk ke dalam kamar dan menguncinya lalu segera mandi dan mengganti pakaian juga mengambil barang dan uang yang ia butuhkan.

Sinta pun masih mendengar percakapan sang ayah dan Panji di luar kamarnya.

"Sayang buka pintunya nak, putriku ayo bicara pelan dengan ayah, ayah ingin kita selesaikan masalah ini, nak."

Sang ayah hampir hilang kesabaran ini adalah kalimat yang berulang kali ia gunakan dan sama sekali Sinta tak membuka pintunya.

Sinta mendesah malas. Ia masih takut dosa ia juga takut masuk neraka tapi, ayahnya sama sekali tidak mau memahami ucapannya bahkan terus memaksa nya lalu jika Sinta kembali setelah kabur mau berubah? Tidak mungkin terjadi, jawabannya.

"Ayah tahu, Sinta sakit hati Sinta Sakit, Ayah berikan Sinta pada pria seperti Panji."

Mendengar suara dari dalam, Sang ayah mendekatkan telinganya.

Sinta mundur perlahan dan duduk di depan pintu.

"Ayolah nak keluar dan bicara baik-baik dengan ayah, akan ayah pertimbangkan agar kau tidak menikah dengannya."

Bujukan ayahnya masih belum bisa meluluhkan hati Sinta.

"Tidak mau. Sampai kapanpun Sinta tidak mau, dan Ayah memaksa Sinta, yah." Kesalnya tak bisa terbendung dan berakhir dengan air mata.

"Ayah tahu dia itu lebih tua dari Sinta."

"Sinta gak mau nikah sama dia, ayah. Kenapa juga ayah punya hutang, Sinta bisa hidup berhemat ayah, kita tinggal di rumah sederhana juga Sinta mau ayah, kenapa?" Sinta menangis didalam kamar sambil bicara.

Sang ayah yang ada didepan pintu mendengarkan dengan seksama sampai hatinya juga merasakan perih.

Tapi, tak ada cara lainnya sebentar lagi umurnya tak lama Sinta harus bahagia dengan pilihan Sang ayah.

"Nak.. Panji itu baik, dia akan memberikanmu apapun yang kamu mau, Apapun nak." Sinta menggeleng didalam kamar.

"Enggak butuh ayah... Enggak butuh Sinta hal apapun Sinta cuman mau hidup tenang sama Ayah sama Kakak Lukas, bukan hidup kayak gini." Sinta mengusap air matanya.

"Nak Panji itu orang paling kaya, terpandang, Ayah bukan apa-apa dan Ayah sama sekali banyak kurangnya. Lebih baik kamu bahagia tanpa memikirkan kakak mu, dia mungkin sudah mati."

"Enggak Ayah. Kakak gak mungkin mati, Kakak masih hidup!" Sinta mengeraskan suaranya didalam kamar dan di depan pintu sang ayah memejamkan matanya menahan amarah yang sejak tadi hampir lepas kendali.

"Baiklah ayah akan pergi jika kau lapar ayah buatkan makanan di meja makan dan makanlah, Kau harus memiliki tenaga untuk lusa besok." Sinta menggeleng dan mengatakan tidak dengan berbisik.

Sang Ayah pergi keluar rumah dan Saat itu Sinta yang habis menangis keluar kamar menyadari rumah sepi. Sinta memeriksa setiap sudut rumah dan Sinta melihat roti di dalam kulkas ia mengambilnya dan memasukkan kedalam tasnya. Sinta keluar lewat belakang rumah dan saat baru saja menutup pintu pagar belakang rumah. Sinta melihat mobil Panji lewat pasti ia akan bertamu kerumahnya

Sinta harus cepat.

Sinta yang sudah mengantongi uang pergi ke terminal dan membeli tiket bus antar kota. Sinta yang sudah mendapatkan kursi seketika melihat beberapa penumpang juga masuk dan duduk di kursi mereka. Sisa satu kursi kosong di sebelah Sinta dan itu tiba-tiba diduduki seorang lelaki yang sama yang mengobati lutut Sinta.

Sinta tak sadar itu.

Lelaki itu menoleh dan tersenyum tipis tanpa Sinta tahu karena fokus melihat ke luar kaca jendela bus.

Saat bus mulai pergi meninggalkan kota kelahirannya Sinta merasa sedih dan juga harus meninggalkan ayahnya sendirian.

Saat bersamaan Sang ayah pulang kerumah dan merasakan kalo hawa rumah sangat hampa. Panji yang ada didepan mobilnya menghampiri Ayah Sinta yang baru kembali dari pasar.

Ayahnya tak perduli dengan tamu membosankan itu malah memilih melangkah ke teras dan masuk kedalam rumah saat sudah membuka pintu dan meletakkan belanjaannya Sinta sama sekali tak menyentuh makanannya.

Sang Ayah khawatir dan mencari kunci cadangan di lemari dapur dan membuka pintu kamar Sinta yang ternyata tidak di kunci.

Sang ayah perlahan membuka mengira Sinta tertidur. Tapi, yang dilihatnya adalah kamar berantakan dan tak ada ponsel dan celengannya di pecahkan itupun, semuanya. Sinta pergi dari rumah saat ia sedang kepasar.

Sang ayah memegang kepalanya mengusapnya dan menjambaknya pada rambut yang sangat pendek hampir tak bisa di jambaknya.

"Sinta.!"

"Sinta!"

Suara panggilan sangat keras itu mengagetkan Panji yang sedang duduk di ruang tamu di acuhkan juga oleh Ayahnya Sinta.

Panji berdiri terkesiap menatap Ayahnya Sinta berlarian keluar masuk ruangan yang ada di dalam rumah.

"Sinta kabur dan itu karenamu!" Tuduh ayahnya Sinta pada yang baru saja datang.

Panji yang padahal ia baru datang dan tak melihat siapapun keluar rumah.

"Panji cari Sinta sampai dapat atau kau tak akan pernah menikahinya dan aku doakan putriku akan menikahi pria lebih baik dari pada kau!" Tunjuk Ayah Sinta didepan wajah Panji.

Dan itu berhasil membuat wajah Panji berubah kesal dengan apa yang dikatakan ayahnya Sinta.

"Tidak akan pernah terjadi sampai kapanpun Sinta hanyalah milikku dan akan menjadi istriku, Siapapun orangnya aku akan membunuhnya." Dengan amarah yang hampir memunculkan urat leher dan urat di kepalan tangannya begitu nyata.

Ayahnya Sinta tidak memperdulikan hal itu dan pergi keluar mencari putrinya sendirian.

Panji langsung menghubungi semua kenalannya termasuk kenalan gengster yang ia bayar mahal untuk menjadi sekutunya Untuk mencari Sinta.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!