Tubuh Alina terbaring lemah di atas kasur empuk nya. Mata indah nya kini terlihat sangat sembab karena tidak berhenti mengeluarkan air mata.
Di temani bibi, Alina tak henti nya memanggil mama dan papa nya.
Sementara Adam, dengan setia dia menunggu Alina di ruang tamu.
"Kak Adam? Kok sendirian? Kak Alina mana?" Suara Anisa membuat Adam sedikit kaget.
"Nis, kamu baru pulang?" Ucap Adam.
"Iya, tadi abis jalan sama Raka." Ucap Anisa santai.
"Raka? Raka siapa?"
"Raka itu pacar Nisa, kak. Kalau tau kak Adam sama kak Alina ada di rumah, mending tadi Anisa ajak Raka mampir dulu." Jelas Anisa.
"Oh iya, kak Alina mana?"
"Alina ada di kamarnya." Jawab Adam singkat.
"Mama sama papa? Kok gak kelihatan dari tadi? Ini kan udah malam, harusnya papa udah pulang dong. Tapi ini kok rumah sepi." Anisa merasa aneh dengan keadaan rumah.
"Nis.. sebenarnya," Kata-kata Adam terhenti.
"Aku ke kamar kak Alina dulu ya kak."
Anisa langsung bergegas ke kamar kakak nya.
~Ceklek...
"Kak... Nga..pa..in sih di ka..mar?" Ucap Anisa terbata saat melihat kondisi kakak nya.
Bibi yang dari tadi duduk di tepi ranjang Alina pun langsung berdiri, mempersilahkan Anisa untuk duduk di samping Alina.
Anisa yang bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan kakak nya, melempar pandangan ke arah bibi, seakan menghujani bibi dengan berbagai pertanyaan. Tapi mulut bibi pun bungkam.
Anisa semakin bingung.
"Ada apa kak? Kakak kok menangis? Bibi juga. Kok muka nya sedih gitu? Mama sama papa mana? Kok gak ada? Rumah sepi banget kak. Ada apa sih?"
Anisa menghujani Alina dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat sulit untuk dia jawab.
Alina hanya bisa menangis, menangis dan menangis.
Bagaimana caranya dia menjelaskan semua ini kepada Anisa. Rasa nya tak sanggup untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Kalau aku saja masih tidak bisa menerima berita ini, bagaimana dengan Anisa? Apa dia mampu menerima semua ini?" Batin Alina menatap sendu Anisa.
"Kak! Ada apa sih kak? Jawab dong kak. Jangan diam aja. Anisa jadi takut lihat kakak seperti ini." Desak Anisa dengan perasaan yang sudah mulai tidak enak.
Alina menarik nafas, menenangkan diri nya sejenak.
"Kamu dari mana, Nis? Dari tadi kakak telepon tapi nomor kamu gak bisa di hubungi." Suara Alina terdengar serak.
"Maaf ya kak, handphone Nisa mati. Nisa juga lupa gak bawa charger. Tadi Nisa jalan sama pacar Nisa, di ajakin nonton, eh ternyata film nya lumayan lama. Jadinya jam segini baru pulang deh. Maafin Nisa ya..." Anisa menjelaskan.
"Lain kali jangan seperti itu lagi. Kamu harus kabarin kakak kalau mau kemana-mana. Jangan buat kakak cemas seperti ini."
"Iya kak. Anisa minta maaf. Anisa janji gak akan ulangi lagi. Tapi, masa iya sih cuma gara-gara Nisa gak ada kabar, kak Alina sampai nangis-nangis kayak gini?" Anisa masih penasaran ada apa dengan Alina.
Melihat Alina yang masih begitu sedih, bibi sangat mengerti dengan yang di rasakan Alina, hingga akhirnya bibi pun angkat suara.
"Non Nisa, sebenarnya... bapak sama ibu.." Tiba-tiba bibi ragu melanjutkan kata-kata nya.
"Mama sama papa? Mama sama papa kenapa, bi?" Anisa mengalihkan pandangan ke arah bibi.
Kali ini perasaan Anisa sudah sangat tidak enak. Ada rasa takut yang tidak biasa menghampiri nya.
"Ada apa sih sebenarnya? Kenapa kalian diam? Beri tau Nisa apa yang terjadi." Suara Nisa mulai meninggi.
"Mama sama papa mengalami kecelakaan." Alina akhirnya berhasil mengucapkan kata-kata itu.
"A..apa? Kecelakaan? Dimana kak? Lalu kenapa kakak disini? Kenapa kakak gak di Rumah sakit? Mama papa pasti di rumah sakit kan?"
Alina menggeleng berusaha menahan tangis nya.
"Lalu?"
"Mama sama papa mengalami kecelakaan pesawat, Nis."
"Gak! Mama sama papa gak bilang sama Nisa kalau mau pergi. Kakak pasti bohong kan." Air mata Nisa mulai jatuh, meski mulut nya berucap tidak percaya.
"Tadi siang mama telepon kakak, kasih tau kalau mama mau ikut sama papa ke Bali selama satu minggu. Mama juga telepon kamu, tapi nomor kamu gak aktif. Lalu tadi sore, kakak lihat berita. Ada pesawat yang tujuan nya sama, di nyatakan hilang kontak. Kakak, bibi, pak Ujang, bahkan kak Adam pun sudah mencari tau kebenaran berita itu. Dan ternyata, nama mama dan papa tercatat sebagai salah satu penumpang di pesawat itu."
Tak bisa lagi berkata apa-apa. Tidak ingin juga mempercayai semua nya, tapi tidak mungkin kakak nya main-main dengan masalah seperti itu.
Disaat seperti itu, melihat adik nya begitu terpukul, membuat Alina mau tidak mau, harus kuat, harus tegar demi Anisa.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments