Maaf, anda siapa ya?!" tanyanya sopan
" Bima. Bimantara Sadewo," hening. "Bisa kita ketemu? Ada yang perlu kita bicarakan."
Rere tidak pernah menyangka bahwa Bima akan menghubunginya. 'darimana dia tahu nomorku' batinnya.
" Maaf, soal apa ya?"
" Jalan mawar no 10." hening sesaat, " atau aku yang akan mendatangi rumahmu."
" oke." Rere menjawab cepat. Ia tidak mau pria tidak jelas itu datang ke rumahnya.
***
Jalan Mawar 10 adalah sebuah rumah mungil di dekat sawah, tidak jauh dari rumah Rere. Yang paling ia sukai dari rumah itu adalah dekat dengan Lumbung dan kebun mangga milik ayahnya dan tentu saja taman bunga kecil miliknya yang sengaja dibuatkan ayahnya di dekat lumbung itu.
Waktu kecil Rere sering maen disana. Waktu itu, rumah no 10 ini tampak angker tak berpenghuni. Kata teman-temannya itu rumah nenek tua yang meninggal bunuh diri di rumah itu. Tapi sekarang sangat berbeda, rumah itu sudah direnovasi total, dibuat dua lantai dengan alas marmer dengan ornamen dan pernak-pernik yang didominasi bahan kayu jati. Rumah itu juga dikelilingi taman bunga indah yang ditumbuhi pohon mangga di tiap sudutnya. Yang lebih menggiurkan pohon mangganya pendek-pendek tapi sudah berbuah lebat dan ranum. Rere tak kuasa menahan liurnya tiap membayangkan makan mangga muda yang langsung memetik dari pohonnya.Duh...
" Sudah sampai mbak, mari silakan masuk." sapa pria yang tampak seumuran dengannya
" Maaf anda.." Rere menggantung kalimatnya
" Ah, perkenalkan, saya Seno, ajudannya mas Bima." jawab Seno sopan
" Ah.. ," Rere tersenyum, masuk mengikuti Seno
Bima tampak turun dari lantai dua saat Rere memasuki ruang tamu. Ia mengenakan kaos polo berwarna putih dipadukan celana jeans belel yang entah kenapa tampak pas di tubuhnya, yang bisa dibilang, cukup atletis.
Bima mengulurkan tangan dan Rere dengan sigap menjabat tangan Bima.
" Silakan duduk."
" terimakasih " sahut rere
Suasana tampak canggung setelah Seno meninggalkan mereka berdua bersama dua gelas minuman dingin.
" Oke langsung saja, aku ingin menunjukkan ini." Bima berusaha membuka obrolan dan menyodorkan berkas berupa fotokopi sertifikat tanah dan perjanjian tukar guling lahan.
Dokumen itu sudah tampak usang, tulisannya samar terbaca tapi masih tampak dengan jelas nama dan tanda tangan yang ada di dalamnya.
Rere membaca dokumen-dokumen itu dengan seksama.
" Ayahmu pasti sudah pernah menceritakan soal masalah ini padamu."
Rere mengangguk
" Kita tahu persis bahwa tanah diujung desa yang sekarang dimiliki keluarga Wardoyo, dulunya adalah milik kakekmu. Mereka menukar guling tanah itu dengan tanah sekolahan yang katanya milik mereka. ditambah dengan sawah disebelahnya yang belakangan ditemukan bahwa sawah itu milik orang lain." Bima berusaha merangkum persoalan yang mereka pahami bersama.
" tapi anehnya," Bima melanjutkan, " semua dokumen yang ada sekarang hanya berupa salinan surat perjanjian tukar guling lahan, yang katanya palsu dan direkayasa sendiri oleh almarhum kakekmu. Salinan ini tidak akan bisa digunakan untuk mengklaim kepemilikan lahan sekolahan dan sawah yang seharusnya memang sudah menjadi hak milik ayahmu sebagai ahli waris. Bahkan beberapa tahun lalu ada petani yang tiba-tiba mengaku memiliki sertifikat asli atas kepemilikan sawah di dekat sekolah yang seharusnya juga menjadi hak milik ayahmu, andai saja kita bisa menemukan surat perjanjian aslinya" Bima menambahkan,
" lucunya lagi, entah bagaimana, ayahmu bisa kehilangan surat perjanjian tukar guling asli yang pernah dibuat kakekmu dan buyutnya Azka."
Bima membenahi posisi duduknya. " apa kamu ngga ngerasa ada yang aneh?!"
" Apa kamu benar tidak ingin membersihkan nama baik ayahmu yang lahannya direbut, dituduh memalsukan surat perjanjian lalu sekarang mau dituntut karena dianggap menggarap lahan orang tanpa ijin?" Bima terus berusaha memprovokasi Rere
Rere yang berusaha mencerna setiap perkataan Bima, paham betul arah pembicaraannya.
" Terus apa yang mau kau tawarkan?!" tanyanya to the point
Bima cukup kaget dengan respon tegas Rere. Namun, ia puas telah memenangkan inisiasi awal.
" Aku bisa membantu kamu menemukan surat perjanjian asli itu, bila aku menjadi lurah."
Rere tampak sedikit kecewa tapi ia sangat piawai menguasai keadaan, " Oke, aku akan kembali menemuimu ketika kau terpilih jadi lurah." ia bangkit, " Sekarang biar aku pikirkan cara lain yang lebih mudah."
Bima menyusul bangkit menghadang Rere yang hendak keluar dari pintu. mereka berdiri berhadapan. Sangat dekat.
" Bantu aku. Maka aku akan membereskan semua masalahmu." tawar Bima. Ia tidak tau lagi cara meyakinkan Rere untuk mau membantunya.
" Well Bima, kurasa aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Sebaiknya kamu fokus dengan pencalonanmu saja karena lusa aku sudah harus kembali ke Jakarta." tolak Rere halus.
" Aku harus mengungkap kebenaran di balik kematian ayahku, dan aku butuh bantuanmu." Bima mulai pasrah. Ia tau tak bisa berharap terlalu banyak pada wanita di hadapannya itu.
" Kebenaran??" ulang Rere ragu.
Bima berpindah dari pintu menuju kursi rotan yang ada di terasnya.
" Ibuku yakin bahwa kematian Bapak ada kaitannya dengan Subandi yang ingin menggantikan Bapak menjadi lurah waktu itu." Bima melempar pandangan jauh ke hamparan sawah yang terbentang dihadapannya.
" Banyak kejanggalan yang ditemukan ibu, tapi ia tak berdaya melawan kekuasaan Wardoyo" lanjut Bima
Rere yang mulai merasa simpati, duduk di kursi samping Bima, " itu kan sudah lama Bim, apa untungnya kau ungkap sekarang? Toh itu juga bisa membahayakanmu dan ibumu."
" Akan berbeda kalau aku adalah seorang lurah. Setidaknya aku akan punya kekuatan setara dengan mereka."
" Bim, apa kamu lupa, Ayahmu dulu juga lurah, tapi apa?" Rere tak melanjutkan pernyataannya
" Bukan hanya untuk Bapak, Re. Aku ingin warga juga mendapat keadilan dan bebas dari tirany Wardoyo." hening sejenak, " Aku tahu itu bahaya dan mungkin juga sia-sia seperti Bapak. Tapi setidaknya aku ingin berbuat banyak sebelum meninggal, seperti almarhum Bapak." Bima tertunduk
Apa yang dikatakan Bima ada benarnya. Selama menjabat, banyak perubahan positif yang diberikan Pak Danar untuk desa Randu Ginting. Pembangunan jalan, sarana pemandian umum, mck, dan masih banyak hal lain yang tidak didapatkan warga saat dipimpin keluarga Wardoyo. Tiba-tiba saja rasa kemanusiaan Rere terpanggil. Entah kenapa ia merasa sangat iba melihat Bima tertunduk lemah tak berdaya.
" Bantuan seperti apa yang bisa kuberikan, Bim?" tanya Rere ragu
" Menikahlan denganku!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments