Malam itu Pak Burhan kedatangan tamu, Pak Roni, salah satu anggota panitia pemilihan kepala desa Randu Ginting. Rere yang mendengar percakapan mereka dari ruang makan, mulai penasaran.
" Bu, emang mau ada pelkades lagi?"
Ibu mengangguk sambil membereskan meja makan.
" Siapa aja calonnya bu? Masih suka sengit kaya dulu ngga bu?" tanyanya lagi
" Besok baru mau diumumkan calonnya. Ibu rasa malah bakal lebih sengit dari sebelumnya. Tapi mudah-mudahan tidak ada korban lagi." jelas ibu
Meskipun kampung mereka termasuk pelosok dan tidak terlalu luas, namun pemilihan lurah selalu menjadi pertarungan yang sangat sengit. Selain karena kesuburan lahan dan sumber daya alam lain yang dimilik, Lurah merupakan sebuah posisi yang sangat dihormati disana. Dan posisi itu telah dikuasai turun temurun oleh keluarga Wardoyo yang dikenal korup dan tidak adil oleh mayoritas warga. Namun, karena kekuasaan keluarga wardoyo yang luar biasa, warga tidak mampu berbuat banyak. Selain menguasai sebagian besar area persawahan dan hutan jati di kampung itu, keluarga Wardoyo juga mengelolah peternakan yang cukup besar yang mempekerjakan hampir setengah penduduk dewasa desa Randu Ginting.
Sepuluh tahun lalu, ada seorang warga yang memberanikan diri mencalonkan lurah Randu Ginting menggantikan keluarga Wardoyo yang berkuasa saat itu. Beliau adalah Pak Danar. Meskipun menang dengan dukungan lebih dari 60% lebih suara warga, toh pada akhirnya Lurah terpilih itupun meninggal dunia karna kecelakaan yang terjadi di Simpang Bengkok setahun sebelum masa jabatannya berakhir.
***
Seorang wanita paruh baya tengah duduk termenung di depan sebuah foto.
" Sudah malam bu, ayo masuk ke kamar." ajak seorang pria padanya.
" Ibu belum ngantuk Bim, ibu kangen bapakmu." sahutnya disusul isak tangis
" Udahlah bu, ibu jangan kaya gini terus. Kasian Bapak bu. Bapak pasti ngga tenang lihat ibu begini terus." bujuk si anak
" Bim, Bapak dan Ibu ngga akan pernah bisa tenang sebelum kamu tuntaskan soal kematian Bapak. Kamu harus membalaskan sakit hati Ibu." jawabnya getir
" Bu, mau sampai kapan ibu seperti ini terus? Sudah 6 tahun loh bu, dan kita sama sekali tidak bisa menemukan bukti bahwa kematian Bapak itu berkaitan sama keluarga Wardoyo..."
" Enggak bim, ibu yakin itu ulah mereka. Ibu dengar ucapan mereka. Persekongkolan keji mereka."
" bu.."
" Kamu harus maju pada pilkades, ibu ngga rela keluarga pembunuh seperti mereka terus memimpin desa kita." potong si ibu
" Tapi bu.."
" Kalau kamu membantah perintah ibu, ibu akan pergi dari kampung ini. Ibu tidak sudi lagi diinjak-injak dan diperlakukan tidak adil oleh bajingan macam Subandi."
" Bu, ibu kan sudah dengar dari pak Roni, bahwa pak Subandi ngga akan ikut pilkades lagi."
" Tentu, karena ia tahu betul peluangnya semakin kecil. Dia tidak akan rela mengorbankan hartanya untuk mengulang kekalahan yang sama dengan Bapakmu. Karena ibu sengaja menyebarkan rumor bahwa kamu akan maju jadi lurah, ia pasti sedang mempersiapkan akal bulus untuk memajukan anaknya menjadi sainganmu."
" Tapi bu, Bima ngga pengen jadi lurah. Bima ngga mau mati sia-sia seperti Bapak. Lebih baik Bima jadi mafia lalu Bima habisi semua keluarga Wardoyo. Untuk apa susah-susah jadi lurah bu?!"
" Bima! sang ibu menatap tajam anaknya. Amarahnya memuncak. " Kamu pikir ibu membesarkanmu untuk jadi orang bejat macam Subandi?! Ibu kecewa sama kamu! " beranjak meninggalkan Bima menuju biliknya.
Bima bergeming, ia sungguh tidak berminat menjadi lurah. Selain karena merasa kurang mumpuni, ia sama sekali tidak berminat dengan intrik politik. Apalagi harus berurusan dengan keluarga Wardoyo. Meskipun ia masih belum yakin bahwa Subandi Wardoyo adalah dalang dibalik musibah yang menewaskan Bapaknya, terselip rasa tertantang yang sangat besar dalam hatinya untuk membuktikan kebenaran akan apa yang diyakini ibunya selama ini. Dan itu akan menjadi lebih mudah bila ia benar menjadi kepala desa.
Akhirnya Bima bertekat untuk menuruti kemauan ibunya. Ia memastikan keikutsertaannya pada Pak Roni lalu mengurus semua kelengkapannya. Meski di dalam hati kecilnya ia merasa tak akan mampu menjalankan tanggung jawab tersebut seorang diri.
***
" Gimana Pak, apa sudah keluar nama bakal calon lurahnya?" tanya ibu ditengah acara sarapan bersama pagi itu.
" Wes bu, persis dugaan kita bu, Azka Wardoyo sama Bima putranya pak mantan lurah almarhum."
" Mesti Pak Danar bangga, Bima mau meneruskan cita-citanya ya Pak."
" Seng mesti, bangga karena Bima mau melawan orang-orang dzolim model Subandi." timpal Pak Burhan
Aku yang hanya mendengar percakapan mereka tertarik dengan nama Azka
" Pak, azka itu, si Azka temen Rere SMP dulu pak?" tanyaku
" Iyo nduk, koncomu sak kelas. Yang selalu membuat onar dan marusak tamanmu karena dipake main bola," Bapak meneguk kopinya, " terus ngomong-ngomong, kamu kapan rencana balik ke Jakarta? Apa bener yang ibumu bilang. Katanya kamu ambil cuti panjang untuk mudik?" selidik Bapak
" Nggih pak, Rere kan sudah lama ngga pulang kampung, jadi mumpung dapat kesempatan cuti Rere minta waktu lebih lama. Kan Rere masih kangen sama Bapak Ibu." timpalku meringis manja
" Ya sudah kalo memang begitu, Bapak mau ke Balai desa dulu."
Pak Burhan, ayah Rere adalah carik di Desa Randu Ginting. Meskipun pernah melewati tiga periode pemerintahan kepala desa yang berbeda, toh keluwesan sikap pak Burhan bisa diterima oleh semua pihak. Pak Burhan terpilih menjadi carik sejak masa kepemimpinan Pak Satrio Wardoyo, kakek Azka, yang kemudian digantikan Pak Danar, ayah Bima yang hanya menjabat selama 4 tahun karena meninggal dunia. Lalu digantikan Pak Subandi, ayah azka yang sekarang masih menjabat sampai tiga bulan kedepan. Selama masa itu, Pak Burhan terkenal netral dan bijaksana, sehingga mampu bertahan ditengah konflik kepemimpinan keluarga Bima dan Azka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments