"Aku sadar, aku adalah orang yang hadir di tengah-tengah hubungan mas Hika dan Zahira. Aku tidak bisa memaksa mas Hika mencintai aku meskipun aku ini sudah menjadi istrinya. Aku juga tidak bisa memaksa mas Hika untuk meninggalkan Zahira begitu saja. Tapi bagaimana pun, dalam sudut pandang siapapun, mas Hika tidak baik jika harus menjalankan sebuah hubungan dengan perempuan manapun di dalam waktu yang bersamaan dengan pernikahannya," ucap Qiya di antara do'a dalam sepertiga malamnya.
"Aku adalah istri sah mas Hika, dan aku wajib memenuhi tugas aku sebagai istri nya. Aku tidak meminta pengakuannya, tapi aku akan melayani mas Hika sebagai mana mestinya. Bantu aku ya Allah .."
Qiya menutup do'a nya malam ini. Ia lepas mukena dan kembali pakai kerudung instant. Usai melipat mukena yang di sematkan dalam sajadah, Qiya kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kosong.
Ia jadi teringat akan pembicaraan Hika dengan Zahira di telepon. Kalau Zahira akan datang ke rumah tersebut. Ia jadi penasaran, apa yang akan di lakukan suaminya nanti untuk menutupi statusnya.
***
Pukul enam pagi, Qiya sudah selesai menyiapkan sarapan untuk suaminya. Bi Iyam yang merasa satu pekerjaannya itu hilang jadi merasa segan.
"Padahal bibi aja yang siapin sarapan untuk non sama Den Hika. Bibi jadi gak enak jadinya," ujar wanita paruh baya itu.
"Enggak apa, bi. Lagian ini termasuk tugas aku juga sebagai istrinya mas Hika," jawab Qiya.
"Oh ya sudah kalo gitu, bibi tinggal ke depan dulu ya, non. Mau nyapu halaman, bibi lupa belum sapuin," pamit bi Iyam.
"Tunggu, bi!" cegah Qiya saat ia teringat akan sesuatu.
"Iya, non. Ada apa?"
"Emm .." Qiya sedikit canggung untuk menanyakannya. "Bibi kerja di sini udah berapa lama?"
"Sebelumnya bibi kerja di rumah orang tuanya Den Hika, non. Tapi setahun lalu Den Hika beli rumah sendiri yaitu rumah ini, Bunda nya Den Hika minta bibi buat kerja di sini, karena kebetulan waktu itu orang tuanya Den Hika kan punya ART dua, bibi sama bi Arsih. Bibi di pindahin ke sini, sementara bi Arsih tetap di sana," jelas bi Iyam di angguki oleh Qiya.
"Oh begitu ya, bi. Berarti bibi tahu dong kalau mas Hika punya pacar sebelum nikah sama aku?"
Bi Iyam seketika terdiam, sepertinya wanita itu merasa tidak enak.
"Gak apa-apa, bi. Jujur aja, lagian aku juga tahu kok. Cuma aku gak tahu aja pacar mas Hika itu seperti apa. Namanya Zahira kan?"
Bi Iyam pun mengangguk. "Betul, non. Sebelum menikah sama non Qiya, Den Hika memang sudah berpacaran lama dengan non Zahira."
Qiya menghela napas panjang. "Zahira itu kalau boleh tahu seperti apa kalau menurut bi Iyam?" tanya Qiya penasaran.
"Non Zahira itu orangnya baik, ramah, sama kayak non Qiya. Kalau dari segi penampilan, non Zahira juga suka pakai pakaian gamis dan berhijab seperti non Qiya gini."
Mendengar cerita dari bi Iyam, Qiya merasa sedikit insecure. Ia jadi berpikir mungkin Zahira jauh lebih baik dari pada dirinya, sehingga pantas jika Hika begitu mencintai perempuan itu.
"Kalau begitu bibi mau nyapu halaman dulu ya, non," pamit bi Iyam membuyarkan Qiya dari segala lamunan.
"I-iya, bi."
Setelah bi Iyam pergi, Qiya berniat untuk ke kamar Hika, mengajak suaminya itu untuk sarapan. Tapi urung begitu pria itu menampakan batang hidungnya terlebih dahulu.
"Mas Hika. Baru aja aku mau ke kamar mas buat ajak mas sarapan. Ayo duduk, mas!"
Qiya menarik salah satu kursi untuk suaminya, tetapi terhenti saat pria itu membuka suara.
"Sejam lagi Zahira mau datang, kamu bisa siap-siap untuk pergi. Terserah kamu mau pergi kemana. Jangan pulang sebelum Zahira pergi!"
Setiap kalimat yang keluar dari mulut Hika, rasanya menyakitkan. Tapi Qiya tidak boleh menangis dan menyerah begitu saja, ia harus bisa membuktikan pada suaminya kalau ia kuat, tidak selemah yang Hika pikirkan.
Qiya memasang senyum, berusaha agar terlihat baik-baik saja dan tidak keberatan akan hal tersebut.
"Iya, mas. Tapi kamu sarapan dulu, ya."
Qiya menarik kursi tersebut lalu mempersilahkan Hika untuk duduk di sana.
Jawaban Qiya membuat Hika mengernyit, ia pikir Qiya akan kembali menangis lalu akan membuat drama.
"Dia kok bisa setenang itu, ya?" batin Hika.
"Mas .." Qiya menyadarkannya dari lamunan, wanita itu mengedikan wajahnya memberi kode agar ia segera duduk.
"Iya."
Hika pun duduk di sana. Qiya dengan semangat menyajikan menu sarapan di piring Hika. Itu semakin membuat Hika merasa sedikit heran.
Sarapan untuk pagi ini Qiya membuat roti sandwich dengan mayones di dalamnya. Begitu jika menggigit sandwich tersebut, otomatis mayones yang ada di dalamnya itu menempel di bagian pinggir mulutnya.
Melihat itu Qiya dengan sigap mengambil tisu yang tersedia di sana. Ia gunakan untuk membersihkan mulut Hika.
"Maaf ya, mas," ucap Qiya kemudian mengelap mulut Hika secara perlahan.
Wajah Hika seketika menegang, saat Qiya berada sedekat itu dengannya. Apalagi saat Qiya melempar senyum yang membuatnya merasa gugup dan salah tingkah.
Hika menepis tangan Qiya pelan. "Aku bisa sendiri," ujarnya.
Qiya pun menarik tangannya mendengar ucapan dingin suaminya. Meski demikian, ia sangat senang lantaran mampu melawan keberaniannya. Setelah ini, ia akan berusaha melakukan hal-hal lain lagi agar Hika bisa membuka hati untuknya.
_Bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
bagus Qiya ... air mata untuk Allah aja ... semangat 💪😍
2022-09-02
1