Seminggu berikutnya, Hika tetap bersikap dingin dan cuek pada Qiya. Padahal Qiya sudah bersikap lemah lembut dan tetap berusaha sabar menghadapi sikap suaminya. Tapi sulit sekali untuk ia mendapat sedikit saja perhatian Hika.
"Mas, sudah satu Minggu aku jadi istri kamu. Tapi kamu gak pernah makan masakan aku. Kamu boleh gak nyentuh aku, tapi aku harap kamu mau nyentuh masakan aku," ucap Qiya dengan secercah harapan.
Tidak dapat di pungkiri, jika masakan Qiya kelihatannya enak. Kebetulan tadi siang ia tidak makan di jam istirahat kantor, dan hari sudah malam, belum ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Hika merasa sangat lapar.
Hika berjalan mendekat ke arah meja makan. Ia menarik salah satu kursi lalu mendaratkan tubuhnya di sana. Sudut bibir Qiya terangkat mengukir sebuah senyum senang lantaran suaminya mau makan hasil masakannya.
"Aku ambilkan ya, mas?" tawar Qiya dengan segera meraih centong nasi.
"Gak usah!" tolak Hika.
Senyum yang terluas di bibir Qiya seketika memudar. Tapi hal itu tidak membuatnya kecewa, lantaran dengan suaminya mau menyentuh masakannya pun sudah membuat ia sangat senang.
Hika mengambil satu centong nasi kemudian lauk pauk yang Qiya masak ala kadarnya.
"Baca do'a dulu, mas!" ucap Qiya mengingatkan pada saat Hika menyendok makanan dan hendak memasukan ke dalam mulutnya begitu saja.
Terpaksa Hika menaruh lagi makanan di sendoknya ke piring, lalu menengadahkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Meski suaminya memimpin do'a dalam hati, tapi bagi Qiya hal itu sudah cukup menyenangkan hatinya. Dan begitu Hika selesai baca do'a, ia ikut mengaminkan.
Tidak ada obrolan selama mereka makan. Hika tetap diam dan fokus saja pada makanan. Sebetulnya Qiya ingin bertanya apakah suaminya itu menyukai masakannya, tapi melihat reaksi Hika saat kali pertama mencoba makanannya biasa saja, ia jadi mengurungkan niat.
Qiya pikir, Hika akan bereaksi seperti di film maupun cerita novel yang mulai jatuh cinta melalui masakan. Tetapi perkiraannya itu ternyata salah, masakannya sama sekali tidak berpengaruh apapun.
Setelah selesai makan, Hika pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Pria itu melipir begitu saja. Qiya hanya bisa mengelus dada.
"Sabar, Qi .. kamu pasti bisa meluluhkan hati suami kamu. Ada Allah dalam hubungan halal ini yang akan memberi Ridha," ucap Qiya meyakinkan diri.
Qiya mengambil piringnya dan piring bekas makan Hika dan membawanya ke wastafel untuk di cuci. Sebelumnya ia sudah meminta bi Iyam untuk tidur lebih dulu saja, jadi ia sendiri yang akan membersihkan sisa makan malamnya bersama sang suami.
Setelah semuanya selesai, Qiya berniat untuk kembali ke kamar. Baru hendak membuka knop pintu, tapi suara Hika yang berasal dari kamar yang bersebelahan dengannya membuatnya mengurungkan niat. Lantaran penasaran, Qiya memutuskan untuk masuk ke kamar Hika.
Langkahnya terhenti di depan pintu, rupanya Hika sedang mengobrol lewat telepon dengan seseorang. Ia bisa melihat ekspresi bahagia Hika dari celah pintu yang sedikit terbuka.
"Ka, aku besok boleh main ke rumah kamu, nggak? Soalnya aku kangen banget sama bi Iyam."
"Kangen bi Iyam atau kangen aku?"
"Astagfirullahaladzim, Ka. Makanya kamu cepet halalin aku, biar rindu kita ini halal."
"Aku pasti segera halalin kamu, Za. Tunggu sebentar lagi, ya."
Mendengar obrolan Hika lewat telepon dengan Zahira membuat hati Qiya serasa di remas. Ternyata bahagia Hika tetap ada pada Zahira, bukan dirinya.
"Ngapain kamu berdiri di sini?"
Qiya terlonjak kaget saat Hika memergoki keberadaannya. Ia melamun sampai tidak sadar.
"Ak- aku .. aku gak ngapa-ngapain kok, mas," jawab Qiya gugup.
Hika memandang Qiya untuk beberapa saat. Sepertinya Qiya baru saja menguping pembicaraannya dengan Zahira. Tapi bagus, semakin Qiya sakit hati, semakin mudah ia terlepas dalam pernikahan tersebut.
"Kalo gitu aku pamit tidur duluan ya, mas," pamit Qiya.
Hika memandang kepergian Qiya, ia berdiri untuk beberapa saat di sana.
Qiya menutup pintu kamar dan berdiri menyandar di balik pintu tersebut. Kedua matanya ia pejamkan sembari mengontrol napas yang terdengar sedikit memburu.
"Tenang, Qiya. Kamu harus tenang, kamu harus sabar," ujarnya.
Qiya membuka matanya setelah ia berhasil mengontrol diri.
"Aku sangat yakin, akan ada saatnya keadaan ini memantul layaknya Qalqalah. Dan pada saat itu juga, kamu akan memantulkan hati kamu untuk aku, mas Hika."
_Bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Eva Karmita
Qiya kamu yang kuat ya 🤗🤗
2022-09-09
0
shyafira fitri
lanjut thor,,
2022-09-01
1
Conny Radiansyah
masih berharap Qiya ... yang kuat, jangan cengeng.
2022-09-01
1