Setelah merasa suasana sudah mulai aman, Alfian perlahan bangkit dan menoleh ke arah jendela. Dia mendesah pendek. Dia melihat gadis itu sudah jauh dari pandangannya. Dia bersandar lemah. Lagi-lagi usahanya kali ini gagal. Gadis itu tak akan pernah tahu siapa dia dan apa yang diinginkannya.
Ia kecewa, sangat kecewa dengan dua keinginan yang seperti bertarung dalam jiwanya. Keinginan untuk menampakkan diri dan tetap bersembunyi. Ketika ia mencoba memperlihatkan wajahnya dari balik jendela, bayangan tentang ekspresi wajah ketakutan dari gadis itu lebih kuat menarik tubuhnya untuk tetap bersembunyi. Ia menjambak rambutnya kasar. Ia benci dirinya sendiri. Ia benci dengan keadaannya saat ini.
Tubuh Alfian luruh di lantai. Perlahan ia membaringkan tubuhnya lemah. Ia merasa tidak punya tenaga untuk pulang ke rumahnya, atau sekedar melangkahkan kakinya. Dia akan tetap di sana sambil menunggu gadis itu pulang sebelum zuhur nanti.
* * *
"Anak-anakku, saya rasa cukup dulu pelajaran kita pada hari ini. Dan saya rasa ini adalah pertemuan terakhir kita. Ibu sudah tua, nafas ibu sudah mulai ngos-ngosan. Kalian ibu anggap sudah mampu menggantikan ibu mengajar di sini. Kalian adalah calon-calon qori'ah yang bagus. Tinggal dilatih saja apa yang pernah saya ajarkan." Kata seorang wanita paruh baya kepada semua santri di depannya.
Semua terdiam sambil menunggu wanita paruh baya itu melanjutkan pembicaraannya.
"Saya sudah bicara sama pimpinan pondok terkait pengunduran diri saya. Mengenai pengganti saya, saya sudah merekomendasikan Emi dan Nurhalimah. Ingat, enggak boleh nolak. Kalian berdua adalah harapan ibu untuk tetap melestarikan seni baca Alqur'an di pesantren ini. Amalkan ilmu kalian dan jadilah bermanfaat bagi orang lain. Saya rasa cukup sekian, Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh."
Para santri serempak menjawab. Emi dan Nurhalimah yang disebut namanya hanya bisa saling pandang, belum percaya jika mereka berdua yang ditunjuk ustazah.
"Cie,cie Bu Ustazah Emi dan Ustazah Nurhalimah," ledek santri-santri yang lain kepada keduanya. Mereka berdua hanya bisa tersenyum.
Seorang laki-laki berpeci putih menghampiri keduanya.
"Emi dan kamu Nurhalimah, besok langsung masuk ya. Jangan lupa mampir dulu ke kantor pondok".
"Baik Pak Ustadz," jawab keduanya serempak. Emi dan semua santri kemudian berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing.
Udara terasa panas. Matahari terlihat masih berkuasa di atas sana tanpa sedikitpun awan terlihat di sekitarnya. Mendung terlihat berarak dari arah barat. Mungkin sebentar lagi awan mendung itu akan segera menyambangi langit desa itu. Emi mulai bergegas, ia harus sampai secepatnya di rumah sebelum hujan benar-benar turun.
Emi menghentikan langkahnya begitu sampai di dekat bangunan tua. Suasana di atas bangunan itu nampak sepi seperti biasanya. Tak terdengar sedikitpun suara-suara mencurigakan dari atas sana. Benar-benar sepi. Mungkin sosok yang ia lihat kemarin hanya bayangan sobekan karung yang menutupi separuh jendela lantai atas. Emi mendesah, dilihatnya selembar kertas dengan tulisan rapi di antara ranting-ranting pohon bidara di sampingnya berdiri. Hanya kertas biasa, tapi bentuk tulisannya yang mencolok dan bagus menurutnya, membuatnya tertarik untuk mengambilnya.
Emi mengambilnya dengan hati-hati, takut lembaran kertas itu robek oleh duri-duri ranting pohon bidara. sesekali ia menoleh ke tingkat bangunan. Ia lalu melipatnya dan segera memasukkannya ke dalam lipatan buku yang dibawanya. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya.
Suara azan terdengar berkumandang membangunkan Alfian dari tidur panjangnya. Ia begitu terkejut begitu menyadari suasana sekitarnya sudah gelap. Alfian bangkit dan menengok ke arah jendela. "Azan apa ini," gumamnya. Setelah memperhatikan dengan seksama sekitarnya, Ia memastikan bahwa azan yang didengarnya adalah azan maghrib. Buru-buru ia mengambil penyangga kakinya dan bergegas menuruni anak tangga.
Sesampainya di rumah, Alfian sudah melihat Ibunya sedang duduk di meja panjang depan rumah. Sejak tadi Ibunya mondar-mandir kesana kemari mencarinya. Melihat Alfian berdiri di hadapannya, ia segera bangkit dan memeluk tubuh Alfian.
"Kemana saja kamu Nak, ibu sudah mencari kemana-mana. Ibu sangat takut kehilanganmu nak."
Alfian melepas pelan pelukan ibunya. Diusapnya air mata yang mengalir di pipi ibunya.
"Maafkan Alfian Bu, Alfian tadi ketiduran di rumah teman. Alfian janji tidak akan membuat Ibu menunggu lagi. Ayo, Alfian bantu Ibu ke dalam." Alfian meraih tangan ibunya dan mengajaknya masuk kedalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
Rajin promo aja kk Othor cerita nya menarik
InsyaAllah ada masa sambung lagi bacanya
2022-09-03
1