Emi melangkah dengan tenang walaupun ia merasa ada yang mengawasinya dari bangunan tua di samping jalan. Tengkuknya yang berasa lain dan bulu kuduknya yang mulai berdiri. Ia berusaha tetap tenang dan sesekali membalikkan setengah badannya, mencoba melirik ke arah tingkat dua bangunan tua.
* * *
Hari sudah mulai gelap. Azan maghrib terdengar mengalun syahdu dari arah masjid desa. Alfian berpaling. Beberapa saat tadi, jantungnya berdegup kencang ketika Gadis berkerudung putih menoleh ke arah bangunan tempatnya bersembunyi. Sebenarnya ia ingin gadis itu tahu ia di sana. ia ingin gadis itu tahu, ia memang sengaja menunggunya setiap hari hanya untuk melihatnya. Tapi ketika ia membayangkan betapa akan terkejutnya gadis itu ketika melihat wajahnya yang buruk, keberaniannya untuk menampakkan diri hilang begitu saja. Ia tak ingin gadis itu takut dan membuatnya trauma seumur hidupnya.
Alfian menunduk lesu. Pikirannya teraduk. Ia menoleh. Suasana di luar sana nampak lengang. Batuknya yang terpaksa ditahannya beberapa saat tadi akhirnya pecah dan menggema di dalam ruangan. Dengan perlahan Alfian membalikkan tubuhnya lemah. Perlahan, ia melangkah menuruni anak tangga dalam kegelapan. Suara kruk penyangga kaki kirinya terdengar menghentak membuyarkan hening sesudah maghrib.
** *
Di tempat lain. Di sebuah rumah mungil bercat hijau. Setelah melaksanakan shalat Maghrib berjamaah dengan ayah dan ibunya, serta membaca beberapa lembar ayat suci Alqur'an, Emi langsung menuju ke ruang keluarga tempat ayah dan ibunya sedang menonton TV.
Melihat Emi muncul dari balik pintu kamarnya, pak Marwan menepuk-nepuk alas sofa tempatnya duduk, memberi isyarat agar Emi duduk di dekatnya. Emi tersenyum manja dan segera mendekat dan duduk di samping pak Marwan.
"Waduh, anak ayah semakin cantik saja kalau udah selesai shalat," kata pak Marwan sambil merangkul tubuh Emi. Emi hanya tersenyum manja dan membalas erat rangkulan ayahnya.
"Cantik, tapi kapan nikahnya. udah berumur," sahut bu Marwan sambil melipat beberapa pakaian yang sudah distrikanya. Emi mendesah pendek dan bangkit mendekat ke arah ibunya. Ia mencolek pipi ibunya lalu mengambil beberapa pakaian yang belum di strika, yang menumpuk di samping bu Marwan, kemudian langsung menyetrikanya. Bu Marwan melirik ke arah suaminya sambil tersenyum.
" Kalau ditanya kapan nikah pasti begini. Gak mau jawab," kata bu Marwan.
Emi tak menoleh. Ia tetap menunduk menyembunyikan sedikit senyum di bibirnya.
"Aku ini anak satu-satunya ibu. Kalau nanti Emi nikah dan ikut suami Emi, siapa lagi yang akan bantu ibu beres-beres rumah," kata Emi. Tangannya terlihat begitu cekatan melipat pakaian yang telah selesai distrikanya.
Bu Marwan mendesah pendek. Gantian ia yang mencubit pipi Emi. Emi mencoba menghindar dengan menaikkan salah satu pundaknya.
"Ya kamu lah," kata bu Marwan. Ia bangkit dan duduk di dekat pak Marwan. "Makanya cari suami yang baik. Kalau suami kamu baik,pasti akan menganggap ibu sebagai ibunya juga. Masak dia gak ngasih kamu pulang untuk sekedar bantu ibu beres-beres rumah," sambung bu Marwan. Mendengar jawaban ibunya, Emi hanya bisa tersenyum.
"Ayah dan ibu tidak akan mencampuri urusanmu jika itu terkait pilihan hidupmu. Ayah yakin kamu adalah gadis shalehah dan punya dasar agama yang kuat. Dasar agama yang akan menuntunmu pada pilihan yang di ridhai Allah. Tak perlu tampan dan kaya. Carilah yang mengerti bagaimana membimbingmu ke jalan Allah," kata pak Marwan menimpali bijak.
"Insya Allah Yah, Bu. Emi minta doa biar jodoh Emi sesuai harapan Ibu dan Ayah. Tapi sabar dulu ya, kan Emi perlu istikharah. Tak ada yang lebih baik selain apa yang dipilihkan Allah buat hamba-Nya," jawab Emi. Pak Marwan mengacungkan jempolnya ke arah Emi, walaupun Emi tak melihatnya.
"Nah ini baru anak Ayah. Sekarang, ayo siap-siap. Sudah Azan isya, kita shalat jamaah dulu," kata pak Marwan. Emi buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, ia bangkit dan segera menyusul pak Marwan dan bu Marwan menuju Mushalla rumah.
* * *
Malam perlahan beranjak larut. suara melata malam terdengar ramai mendendangkan nyanyian malam. Sesekali terhenti ketika sesekali angin menghempas.
Alfian mengusap air bekas wudhu yang membasahi wajahnya. Ia mendekap tubuhnya erat, sebab angin yang berhembus begitu dingin hingga membuatnya menggigil. Sebelum melangkah ke kamarnya, ia sempatkan melihat kamar ibunya. Perempuan paruh baya itu sepertinya sudah terlelap tidur, setelah beberapa saat tadi ia mengeluh pinggangnya kumat.
Ada banyak yang harus dikerjakan Alfian malam ini. Novel yang akan ia kirim ke salah satu Aplikasi baca Novel, harus segera ia selesaikan. Ia bersyukur novel yang ia kirim telah diterima dan masuk kontrak. Uang yang ia terima cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari bersama ibunya.
Biasanya Alfian mulai menulis setelah selesai melaksanakan rutinitasnya setiap malam. Shalat, membaca Al-qur'an dan membaca beberapa buku lalu tidur sejenak dan menunggu dibangunkan Alarm tepat pukul satu malam. Setelah itu ia akan mulai menulis dan membatasinya hingga jam 3. Setelah melaksanakan shalat tahajjud dua rakaat, ia akan kembali menulis hingga azan subuh berkumandang.
Rutinitas malam yang sesekali enggan ia lakukan jika hatinya tak berkehendak. Ketika ia mulai mengeluh tentang keadaan dan kekurangannya. Tapi kesadarannya selalu mengingatkannya, bahwa mengeluh tak akan mendatangkan apa-apa selain sakit hati dan tersiksanya jiwa serta badan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments