Benarkah ada orang yang sedang memperhatikannya dari atas lantai bangunan tua itu? Setiap hari, baik ketika pulang dan pergi mengaji di pesantren. Akhir-akhir ini, ia merasa ada orang yang tengah mengawasinya. Terkadang ia merasa takut, tapi ia selalu menenangkan diri. Jarak antara bangunan tua dan pesantren tempatnya mengaji tidak terlalu jauh. Jika terjadi sesuatu kepadanya, atau ada orang yang ingin berbuat jahat, ia yaqin suara teriakannya masih bisa terdengar hingga pondok pesantren. Emi merinding ketika menatap agak lama ke arah tingkat bangunan itu. Angker dan menyeramkan. Bangunan tua itu memang pantas ditakuti. Bangunan bekas kantor sebuah pabrik, yang sudah terbengkalai bertahun-tahun itu terlihat angker berdiri di tepi jalan. Lumut-lumut yang menghitam di dinding bangunan, semakin menambah kesan seram. Di sekeliling bangunan sudah penuh ditumbuhi tanaman merambat, ilalang dan semak-semak. Jika bukan pemuda-pemuda nakal, yang mungkin sedang minum minuman keras, atau mungkin pencuri yang sedang bersembunyi menunggu malam, mustahil sekali ada orang waras yang mau bersembunyi di tempat itu kecuali dengan maksud tertentu. Atau mungkin saja sosok yang ia lihat sekilas kemarin adalah gelandangan yang tak punya tempat tinggal.
Ah,"
Emi mendesah. Tak ada sesuatu yang perlu ia takutkan. Selama ia yakin Allah selalu bersamanya, tak akan ada sesuatu yang bisa mencelakainya. Emi meluruskan kakinya di atas ranjang. Beberapa buku yang telah selesai dibacanya, ia kumpulkan kembali di atas meja samping tempat tidurnya. Setelah menguap beberapa kali, ia memejamkan matanya. Sejurus kemudian, ia sudah terlelap dalam tidurnya.
* * *
Malam semakin beranjak larut. Angin yang sesekali menghempas, meninabobokan penghuni malam dalam tidur lelapnya. Suara desir angin di dedaunan pohon terdengar sesekali membuyarkan hening malam. Alam membisu dalam zikir panjangnya.
* * *
Pagi merekah. Cahaya putihnya yang cerah, berkilauan di bulir-bulir embun di ujung dedaunan. Suara-suara burung gereja di ranting-ranting pepohonan riuh beterbangan kesana kemari.
Alfian sudah berada di bangunan tua pagi-pagi sekali. Jawaban biasa yang selalu ia berikan ketika ibunya menanyakan kemana ia akan pergi, kali ini harus digantinya. Ia tak mau ibunya curiga dan membuntutinya. Tapi aneh, hari ini ibunya tak mengatakan apa-apa selain berpesan agar berhati-hati di jalan. Dan ia tak mau berlama-lama di rumah. Dia harus segera pergi. Sebentar lagi, Gadis berkerudung putih akan lewat dan ia tidak mau melewatkan waktunya sedetikpun tanpa melihat pesona gadis itu.
* * *
Alfian mendesah resah ketika telah sampai di atas bangunan. Kini ia menyandarkan tubuhnya sembari menatap ke langit-langit ruangan yang penuh dengan sarang laba-laba yang telah menghitam. Sesekali kepakan sayap kelelawar yang berpindah tempat menggantung, mengagetkannya.
Alfian tersenyum. Seperti sedang mencemooh dirinya sendiri.
Ah, melakukan apa yang dilakukannya saat ini setiap pagi dan sore, memang terasa sia-sia. Bersembunyi terus di balik jendela tanpa tahu kapan akan berakhir, membuat Alfian terkadang merenung. Mulai berpikir bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang sama sekali tak ada faedahnya. Sudah berapa lembar puisi yang ia tulis dan lemparkan ke luar jendela bangunan tua, berharap ada satu lembar saja yang dipungut oleh gadis berkerudung putih itu. Tapi hasilnya nihil. Jikapun gadis itu pernah menemukannya, gadis itu pasti sudah mencarinya. Jika membandingkan dirinya dengan Qais si Majnun, tentu itu berbeda sangat jauh. Qais dan Layla adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Qais berubah gila karna gap yang diciptakan manusia. Dan ia sendiri? Ia hanya pecinta dalam ruang gelap. Tak terlihat namun hanya bisa mengagumi. Dan itu lebih menyakitkan dari pada apa yang dirasakan oleh Qais.
Alfian membungkukkan tubuhnya. Ia tersenyum. Gadis itu sudah telihat di ujung bangunan. Pelan Alfian mengangkat kepalanya. Sebisa mungkin ia sembunyikan tubuhnya di balik sobekan karung yang menutupi setengah jendela. Dia tidak mau kejadian kemarin sore, saat gadis itu hampir memergokinya terjadi lagi.
Nafas Alfian terlihat naik turun. Degup jantungnya semakin cepat. Tatapan matanya seiring dengan mulutnya yang ternganga terperangah. Dia terlihat benar-benar takjub melihat kecantikan gadis berkerudung putih, yang perlahan semakin dekat dari pandangannya. Wajahnya yang lembut seperti memancarkan kelembutan dari dalam hatinya. Kesalehan diri yang memancar ke seluruh wadak zahirnya.
Alfian menahan nafasnya. Perlahan ia seret kepalanya ke bawah. Gadis itu menoleh lagi ke arah jendela tempatnya bersembunyi. Seperti yang terjadi di hari kemarin. "Mungkinkah dia melihatku?" Gumam Alfian resah. Sejenak Alfian tak berani mengangkat kepalanya. Ia mematung tanpa berani menggerakkan tubuhnya sedikitpun. Ia takut gadis itu masih menunggu dan menatap ke arah jendela.
Alfian merangkak pelan di lantai. Lembaran kertas tempat ia menulis puisi di robeknya. Ia lalu mengambil satu batu kecil yang menumpuk di depannya. Tumpukan batu, yang memang sengaja ia kumpulkan untuk mengantar puisi yang ditulisnya saban malam. Puisi-puisi yang telah ditulisnya itulah yang selalu ia lemparkan ke arah jalan, berharap nanti ada salah satu dari lembaran puisi itu yang ditemukan gadis berkerudung putih itu.
Dan ia merasa, inilah waktunya. Dia tak akan menunggu gadis itu berjalan jauh. Dia yakin gadis itu masih di sana dan pada akhirnya akan menemukan puisinya. Dia hanya ingin gadis itu tahu, ada seseorang yang mengaguminya. Seorang buruk rupa yang ingin meraih bulan namun tangannya tak sampai.
Dengan mata yang terpejam, Alfian melemparkannya keluar. Jantung Alfian berdegup kencang. Untuk beberapa lama suasana terasa begitu hening. Alfian mendongakkan kepalanya. Dari sinar matanya, tampak sekali binar-binar penuh dengan harapan, Gadis itu sudah menemukan lembaran yang dilemparnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments