"Aisyah, ingat pesan Ummah, ya. Jaga diri baik-baik. Yang nurut sama guru ngaji kamu. Yang rajin, nggak boleh malas. Kamu juga harus mandiri, nggak boleh manja. Di sini nggak ada Abah sama Ummah soalnya. Dan juga ingat kata-kata Abah tadi, jangan sampai mengecewakan kepercayaan Abah." Panjang lebar wanitaku ini memberi pesan.
Ah, Ummah. Aku bukan lagi anak SD yang selalu manja padamu. Yang selalu merengek minta ini dan itu, mencari perhatianmu. Aku sudah dewasa, Mah. Sudah lulus SMA.
Ingin sekali aku mengatakan itu, tapi hati ini melarang. Bagaimanapun juga, aku tetaplah putrinya. Sedewasa apa pun aku, tetap saja masih anak-anak di mata mereka. Abah ... Ummah.
Kulihat Abah di balik punggung Ummah, beliau tengah sibuk mengusap setitik air di sudut matanya. Sementara Ummah menahan isak di dalam pelukan, mulutnya tak berhenti menyuarakan nasehat-nasehat bijaknya. Rasanya, dada ini sudah mulai sesak. Tak bisa lagi tuk membendung perasaan sedih, hingga pertahananku perlahan mulai luruh. Jatuh bersama bulir bening yang melintasi pipi.
"Sudahlah Ummah, Aisy ini mau mondok di pesantren. Mau menuntut ilmu, bukan ninggalin Ummah sama Abah selamanya. Jadi jangan larut begini ya, nanti Aisy jadi nggak betah," kataku kemudian, sembari melepas perlahan pelukan Ummah.
Kuusap air matanya, tersenyum meyakinkan. Bahwa aku bisa hidup mandiri di pondok, bisa menjaga diri baik-baik. Bukan hanya bisa berdiri sembunyi di balik punggung Abah dan Ummah. Aku yakin, aku pasti bisa! Walau pun ini pertama kalinya aku berpisah jauh dari mereka.
"Ya sudah, ingat-ingat pesan Abah sama Ummah ya. Jaga diri baik-baik," pesan beliau lagi.
"Iya Ummah. Ummah sama Abah juga jaga kesehatan, ya. Jangan sampai sakit, biar Aisy di sini nggak kepikiran terus. Biar fokus belajarnya."
"Iya, sayang." Kecupan hangat pun kembali terasa di pucuk kepalaku. Ah, Ummah! Jadi pengen mewek lagi, hiks.
"Ya udah gih, kasian Mang Amin kelamaan nunggunya." Aku pun segera meraih tangan Ummah dan Abah bergantian. Memberi salam dan membiarkan mereka memasuki mobil. Masih terlihat gurat kesedihan di wajah keduanya, tapi mereka tetap membiarkan mobilnya mulai menjauhi pekarangan pesantren ini, sembari melambaikan tangan ke arahku.
.
Bismillah, ini pertama kalinya aku akan mulai hidup mandiri. Semangat, Aisyah, kamu pasti bisa!
Perlahan aku memasuki pesantren. Di sana sudah banyak yang menungguku. Teman teman yang tadi sempat berkenalan denganku. Sedangkan Pak Yai Abdul Aziz dan istrinya sudah pergi, setelah menginteruksikan kepada mbak-mbak senior untuk menunjukkan kamarku.
"Ayah sama ibu kamu sudah pergi, Syah?" Tanya Mbak Salma, senior yang kebetulan sudah berada di dekatku.
"Sudah, Mbak. Oh iya, tempat tidur aku tadi yang mana, ya? Aku mau membereskan barang-barangku di sana," tanyaku, sembari melangkah memasuki kamar asrama.
Terlihat ada tiga ranjang bersusun dua di sana. Berarti, dalam satu kamar di isi enam santri. Semuanya sudah ada nama-namanya, kecuali satu ranjang bersusun di pojok itu, masih terlihat kosong. Mungkin itu yang akan menjadi tempat tidurku.
"Aisyah, tempat tidur kamu yang ini. Terserah kamu mau tidur di atas apa di bawah," ujar Mbak Salma, menunjuk tempat tidur yang kosong tadi.
"Memang boleh, ya?" Mataku sedikit menyipit, saat tidak sengaja melihat sebuah nama di ranjang paling bawah, "yang ini sudah ada namanya, 'Syifa'. Tapi kok masih kosong?" tanyaku kemudian.
"Ooh ... ini tadinya milik Mbak Syifa, beliau sekarang sudah menikah, jadi tempat ini kosong," terangnya.
"Ooh ... begitu ya. Ya sudah, aku milih di sini saja, biar nggak susah naik turunnya, hehee." Aku tersenyum, segera membuka koper dan mengeluarka isinya, kemudian menatanya di dalam lemari kecil di samping tempat tidur.
.
Hari pertama sudah kulalui dengan berkenalan dengan seluruh penghuni asrama. Hari kedua memulai pelajaran Al-Qur'an beserta tajwid-tajwidnya. Dan ini hari ketiga, cucianku menumpuk. Aku harus segera mencucinya. Kalau tidak, bisa-bisa aku kehabisan pakaian lagi.
Suasana pagi hari begini, semuanya sibuk. Apalagi ini jadwal mencuci para santri di kamarku. Berhubung hanya ada tiga kamar mandi tempat mencuci, jadi harus menunggu bergantian. Aku yang merupakan seorang junior di sini, harus rela menunggu para senior selesai. Nggak enakkan, kalau tiba-tiba menyela.
Matahari mulai terik. Semuanya sudah selesai, kini giliranku mencuci. Setengah jam berlalu, aku kembali ke asrama setelah semua cucianku sudah kujemur. Kulirik jam di dinding, dan ... astaghfirullahal'adziim. Kutepuk jidatku. Aw, sakit!
Habislah, aku terlambat! Harusnya aku masuk kelas jam setengah sembilan. Dan ini, sudah jam sembilan lebih tiga. Pantas saja tadi aku masuk asrama sudah sepi, ternyata mereka sudah berangkat duluan. Ah, kenapa tidak ada yang mengingatkanku?
Aku berjalan keluar asrama diikuti rasa takut. Dengan berat hati, kulangkahkan kaki menuju pesantren. Sekelebat bayangan tentang hukuman, mulai menghantuiku.
Apa jadinya nanti, kalau aku harus berdiri di depan para santri lainnya, dengan kedua tangan memegang telinga, dan satu kaki di angkat, seperti hukuman di sekolah pada umumnya. Ah! Membayangkannya saja membuat kakiku lemas. Apalagi kalau harus mengosek seluruh WC di pesantren ini. Uuwekk! Tiba-tiba perutku sedikit mual. Yaa Robb, semoga tidak terjadi apa-apa pada diriku. Aamiin.
Saat hendak memasuki ruang kelas, tiba-tiba saja kakiku berhenti. Kudengarkan dengan seksama apa yang tadi sempat menghentikan langkahku. Suara merdu nan tegas itu, tengah membacakan hadits tentang jodoh. Ah, aku jadi ingin bertanya, siapa jodohku nanti?
Seketika aku tersadar. Ya, dia ustadz yang tengah mengajar di kelasku. Seperti apa ya rupanya? Galak tidak ya? Beberapa pertanyaan muncul di kepalaku. Karena penasaran sekaligus takut, pelan-pelan aku membuka pintu.
"Assalamu'alaikum." Semua mata tertuju padaku, bahkan sebelum aku menyelesaikan salamku.
Tak terkecuali dia, seorang laki-laki mengenakan peci berwarna hitam, dengan baju koko berwarna putih dan sarung yang berwarna senada dengan pecinya. Dia terlihat begitu tampan. Ah, apalagi ini? Astaghfirullah'adziim. Jaga pandanganmu Aisyah, ingat pesan Abah!
Setelah menjawab salam, dia terus saja menatapku, hingga membuat nyaliku menciut. Begitu galakkah dia?
"Maaf, Pak Ustadz, saya terlambat." Akhirnya, hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Beliau menyuruhku duduk, dan menanyakan alasan atas keterlambatanku. Semua langsung kujawab sesuai dengan kenyataan.
Rasanya begitu lega, saat beliau tidak memperpanjang urusan keterlambatanku. Akhirnya aku bisa dengan tenang mengikuti pelajarannya.
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Evy Aprilianty
mulai suka
2020-08-22
1
Siti Solikah
lanjut thoor aku pngn bc trs soal pondok
2020-08-21
1
brshaaffn_18★HFN★
semangat Thor up nya💪
aku udah boom like,rate 5 juga. Jangan lupa mampir di novel aku ya,tinggalin jejak di sana 😄
terima kasih 😊
2020-05-13
6