...༻✿༺...
"Cepat ambil motornya nggak?! Kalau nggak, gue tinggalin nih!" ancam Ramanda dengan dahi yang berkerut dalam.
"Dih! Galak banget sih." Morgan mencolek dagu Ramanda. Dia terkekeh menyaksikan sikap judes gadis tersebut.
Ramanda berdecak kesal saat tangan Morgan menyentuh dagunya. Dengan cepat dia melayangkan tinju ke pundak cowok itu.
Morgan terlihat membawa motornya ke pinggir jalan. Dia berjalan agak sempoyongan. Sepertinya Morgan belum mendapat kesadaran sepenuhnya.
"Ya udah! Mana kunci motor lo? Biar gue yang bawa motornya. Tapi lo gue bawa pulang ke rumah. Malas banget ngantar lo pulang." Ramanda mengomel.
"Bawa gue pulang ke rumah lo?" Mata Morgan langsung segar seketika. "Mau banget dong! Ayo naik!" sambungnya antusias. Morgan hendak menduduki jok depan motornya. Tetapi dia sempat terhuyung karena rasa mabuk yang masih menyelimuti. Kunci motor yang sejak tadi ada di tangannya, lantas terjatuh.
Ramanda mendengus kasar. Ia memungut kunci yang dijatuhkan Morgan. Lalu mendorong cowok itu agar duduk ke belakang. Ramanda akan mengambil alih kemudi.
"Lo bisa naik motor? Katanya nggak punya tenaga buat angkat motor segede gini?" tanya Morgan yang merasa heran sekaligus cemas.
"Nggak bisa angkat bukan berarti nggak bisa pakai," sahut Ramanda sembari memasang helm ke kepala. Dia segera menyalakan motor.
Morgan segera memposisikan gaya duduk senyaman mungkin. Rasa cemas Morgan hilang saat melihat kepercayaan diri Ramanda. Dia yakin cewek itu benar-benar bisa mengendarai motornya.
Tangan nakal Morgan perlahan melingkar ke perut Ramanda. Memeluk cewek tersebut dari belakang. Dia bahkan menyandarkan kepala dengan nyaman ke punggung Ramanda. Morgan tersenyum lebar.
"Ayuk jalan! Gue udah siap melewati gunung, lembah, dan samudera bareng lo..." ujar Morgan.
"Ngaco lo! Jangan peluk-peluk dong!" Ramanda mencoba melepas tangan Morgan dari badannya.
"Nggak! Nggak mau... mending lo cepat jalan aja deh." Morgan bersikeras. Pelukannya justru semakin kuat.
"Morgan! jangan kuat... kuat. Lo bikin gue nggak bisa nafas..." Ramanda terkejut dengan dekapan erat yang diberikan Morgan.
"Sorry, Ra. Makanya cepetan jalan." Morgan melonggarkan pelukannya. Meskipun begitu, dia tidak berniat melepaskan Ramanda.
"Sumpah ya! Gue heran kenapa cewek-cewek pada mau pacaran sama lo!" tukas Ramanda. Ia menutup kaca helm. Kemudian menjalankan motor.
Benar saja, Ramanda mampu mengemudikan motor besar milik Morgan. Ia bahkan berkendara dengan sangat mulus.
"Gue itu super ganteng. Makanya cewek-cewek pada datang kayak lalat..." Morgan terlambat menanggapi ucapan Ramanda.
"Berarti lo sampahnya dong?" Ramanda tergelak kecil.
"Bisa dibilang begitu." Bukannya marah, Morgan malah mengiyakan.
Tawa Ramanda sontak semakin pecah. Dia menjalankan motor menuju rumahnya. Ramanda akan mengantar Morgan pulang saat cowok itu sudah sadar dari mabuk.
Ketika dalam perjalanan, kesadaran Morgan perlahan pulih. Dia berhenti menyandarkan kepala ke punggung Ramanda.
"Siapa yang ngajarin lo naik motor? Kayaknya bokap sama nyokap lo nggak mungkin deh," celetuk Morgan. Bicara dengan nada lantang. Sebab angin yang berembus saat berkendara begitu bising.
"Mantan gue!" jawab Ramanda singkat.
"Dia satu sekolah sama kita nggak?" tanya Morgan.
"Gue nggak mau ngomongin mantan!" tegas Ramanda.
Morgan tersenyum nakal. Dia berucap, "Kalau gitu, ngomongin masa depan aja ya."
"Masa depan apaan?" Ramanda tak mengerti.
"Gue lah! Gue mau kok jadi cowok masa depan lo. Kapan mau ditembak? Besok? Minggu depan? Atau sekarang aja?" goda Morgan. Dia melontarkan rayuan tanpa henti.
"Sorry, gue nggak suka sama sampah! Dan gue bukan lalat!" balas Ramanda.
"Ah, benar juga. Cewek secantik lo nggak pantas disebut lalat. Lo itu cocoknya disebut lebah. Sampah bisa mengurai dan berubah menjadi tanah subur. Saat itulah sampah bisa kasih bunga yang banyak buat lebah. Gue..."
Ramanda geleng-geleng kepala mendengar racauan Morgan. Keadaan setengah mabuk yang dialami cowok itu membuat celotehannya tambah menjadi-jadi.
'Setidaknya dia tahu teori dalam pelajaran Biologi,' batin Ramanda berkomentar.
Perlu waktu sekitar lima belas menit untuk tiba di rumah. Ramanda menghentikan motor dengan mulus. Dia hendak langsung turun, namun Morgan malah kembali menempelinya dari belakang.
"Morgan! Kita udah sampai. Cepat turun!" titah Ramanda seraya menggerakkan badan sekuat tenaga.
Morgan segera bangkit. Dia melepas pelukan dan turun lebih dulu dari motor. Kali ini Morgan tidak sempoyongan lagi.
"Gue langsung pulang aja." Morgan mengambil helm yang dipegang Ramanda. Dia baru ingat kalau orang tuanya Ramanda berteman dekat dengan ayah dan ibunya. Morgan takut kedatangannya ke rumah cewek itu akan menyebabkan masalah.
"Yakin? Kalau masih mabuk mending jangan," saran Ramanda. Keningnya mengernyit samar.
"Udah sadar kok. Nih mata gue melek." Morgan membelalakkan matanya semaksimal mungkin. Menunjukkannya khusus untuk Ramanda.
"Nggak mau masuk dulu? Minum yang anget-anget dulu biar mabuknya mendingan." Meski sering bersikap jutek, Ramanda sebenarnya adalah sosok gadis yang penuh perhatian. Naluri keibuannya memang didapatkan dari sang ibu.
"Gue udah rasain yang anget-anget kok pas dijalan tadi." Morgan lagi-lagi mengeluarkan kalimat menyebalkan. Matanya menatap lurus ke arah Ramanda. Menyiratkan bahwa sesuatu yang dibicarakannya berkaitan dengan cewek itu.
Ramanda mendengus sebal. Dia mengabaikan perkataan Morgan. Ramanda memperhatikan Morgan yang baru naik ke atas motor.
"Yakin lo bisa jalanin motornya. Nanti jatuh lagi tahu." Ramanda sekali lagi memperingatkan.
"Perhatian banget sih. Gue bakalan nurut kalau lo mau jadi pacar gue," tanggap Morgan. Tersenyum lebar hingga menampakkan gigi-gigi depannya.
"Kagak! Ya udah, pergi sana. Nyebelin banget." Ramanda membuang muka. Dia sudah muak mendengar kalimat rayuan Morgan.
"Bwahaha! Lo ternyata orangnya seru juga ya. Gue jamin pertemanan kita akan semakin erat. Lo nggak perlu sendirian terus di sekolah. Gue bakalan jadi teman setia lo," ucap Morgan bersemangat.
"Enggak! Gue nggak mau," tolak Ramanda pelan.
"See you tomorrow..." Morgan tak peduli. Dia mengakhiri pembicaraan dengan lambaian tangan. Lalu melajukan motor ke jalanan beraspal.
Ramanda berkacak pinggang. Dia kehabisan kata-kata menyaksikan tingkah laku bebal Morgan.
Ramanda kembali ke rumah. Walau waktu masih pagi buta, dia sudah bersiap-siap untuk ke sekolah. Sekarang Ramanda tengah berada di dapur bersama ibunya. Ia membantu Elsa menyiapkan sarapan.
"Tadi malam kamu insomnia lagi?" tanya Raffi yang perlahan datang dari arah belakang.
"Kok tahu?" Ramanda berbalik tanya.
"Kan kalau kamu joging di pagi buta, itu tandanya kamu nggak bisa tidur pas malam," jelas Raffi. Membuat Ramanda tidak mampu melakukan bantahan.
"Insomnia? Kamu mikirin apa, Ra?" Elsa yang mendengar, segera ikut masuk ke dalam pembicaraan.
Ramanda membisu. Dia terlalu malu mengungkapkan apa yang membuat dirinya resah. Terlebih semuanya berkaitan dengan kehamilan sang ibu.
"Cuman takut nggak dapat juara umum aja sih, Mah, Pah." Ramanda berbohong. Dia bicara sambil menundukkan wajah. Mengoles roti dengan selai rasa kacang.
"Ya ampun, kamu itu punya gen jenius punya Papahmu. Mamah yakin kau pasti juara umum lagi. Kan kemarin kamu yang menang olimpiade Matematika?" Elsa tersenyum. Dia segera duduk ke samping Raffi. Kemudian mengajak bicara bayi dalam kandungan. Hal serupa juga dilakukan Raffi. Tanpa sadar, mereka kembali mengabaikan Ramanda.
"Mah, Pah. Aku berangkat ke sekolah dulu ya." Ramanda yang sudah menyelesaikan sarapan, siap beranjak.
"Iya." Elsa menanggapi dengan singkat. Dia juga tidak menyempatkan diri menoleh ke arah putrinya. Hal sekecil itu, lagi-lagi membuat Ramanda iri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
penahitam (HIATUS)
jgn lupain anak pertama .
karena dia yang pertama ngasih kalian kebahagian berbeda.
2022-09-01
0
zelindra
Rafi sama Elsa lupa klok ramanda jg butuh perhatian ...🙄🙄 se besar pun ank nya wlau pun udh pnya pendamping ttp kita sebgai ank masih butuh perhatian. .. Elsa rafii .. please peka 😔😔
2022-08-27
2
Elisa Damayanti
orang tua g peka....
2022-08-27
2