Setelah menemukan lilin aromaterapi yang mungkin menjadi petunjuk penyelidikannya, Felix menuju parkiran dan menaikki mobilnya. Lalu, Felix memundurkan mobilnya untuk keluar dari parkiran dan meninggalkan hotel. Sebelum benar-benar keluar dari gerbang hotel, Felix melihat seorang gadis mengacungkan belati ke leher preman itu, Felix segera keluar dari mobil dan menahan tangan Lydia agar belati tersebut tidak menancap ke leher preman.
Gadis itu menolehkan kepalanya dan menatap tajam padanya.
“Siapa kamu? Lepasin atau kamu mati ditanganku.” Gadis itu mengancam Felix agar melepaskan tangannya.
“Maaf Nona, aku tidak takut dengan ancamanmu. Aku juga tidak berminat ikut campur. Hanya saja, carilah tempat yang bagus untuk membunuhnya,” saran Felix pada gadis itu.
Gadis itu mendecih. “Cih, idemu bagus juga. Kalo gitu nih, kamu yang urus semuanya. Aku mau pulang, bye.” Gadis itu menyerahkan pisau belati itu pada Felix dan mengibaskan rambutnya.
Felix terpaku untuk sesaat saat aroma lotus terseruak ke hidungnya. Tanpa sadar, gadis itu sudah masuk ke mobil dan meninggalkannya bersama preman itu. Preman itu menatap dengan tatapan memelas.
“Lo sekomplot sama cewek itu, kan? Gue mohon, jangan bunuh gue … gue janji, gue gak bakal ngerampok lagi,” kata preman tersebut.
Seketika itu, Felix tersadar dan menyimpan pisau belatinya di kantong celananya. “Lo gak mau mati, kan? Sekarang ikut gue ke kantor polisi buet menuhin janji lo!” perintah Felix dengan tatapan datar.
“Jangan Bang, jangan bawa gue ke kantor polisi … kalo gue di penjara, bini gue siapa yang urus?” Preman tersebut bermaksud mendrama agar Felix tidak membawanya ke kantor polisi.
“Bini lo juga bakal nyesel punya laki kayak lo yang kerjaannya cuma nyampah di negara ini. Udah, ikut aja sekarang.” Felix menyeret preman tersebut untuk masuk ke mobilnya dan menancap gas menuju ke kantor polisi.
Pintu gerbang mansion terbuka otomatis saat mobil Lydia tiba di depan gerbang. Lydia pun masuk dan gerbang tersebut kembali menutup dengan sendirinya. Pintu gerbang tersebut sudah didesain untuk terbuka dan tertutup secara otomatis. Pintu tersebut mengidentifikasi mobil berdasarkan plat nomor mobil yang telah diprogram untuk diizinkan masuk. Sehingga, mobil yang tidak dikenal pun tidak dapat masuk dengan mudah.
Lydia memarkirkan mobilnya di garasi dan masuk ke mansionnya.
“Kenapa kamu tidak membaca pesanku, Lydia?” tanya seorang pria bersurai merah dengan mata hazel.
“Aku lagi di jalan, Vincent. Mana mungkin aku bisa buka handphone?” Lydia berujar jengah. Bagaimana tidak? Hari ini dia ditodong pisau oleh penjahat dan pulang-pulang disambut dengan pertanyaan. Moodnya pun turun seketika.
“Kan mobilmu sudah kuprogram agar mengemudi secara otomatis, Lydia.” Pria bernama Vincent itu tak kalah jengah dengan Lydia.
“Ups … maaf, aku lupa saking fokusnya nyetir.” Lydia menyengir membuat Vincent menghela napasnya.
“Hah … ya udahlah, aku mau ngomong serius sama kamu.” Wajah Vincent kini terlihat serius.
“Apa yang mau kamu bicarakan?” Lydia pun bertanya dengan raut penasarannya.
Vincent membuka laptopnya dan menunjukkan video pada Lydia. “Coba kamu perhatikan dan bilang ke aku apa yang kamu lihat.”
Kini, giliran Lydia yang menghela napasnya. “Kalo mau bicara, ya bicara aja. Jangan bertele-tele.”
“Aku akan bicara setelah kamu nonton video ini,” ujar Vincent bersikeukeuh.
“Cih, berani banget ya kamu perintahin aku. Habis ini aku potong gaji kamu.” Setelah berkata demikian, Lydia memajukan bibirnya dan menatap video yang ada di laptop Vincent. Vincent baru saja meretas CCTV di hotel.
Lydia menatap lekat video tersebut dan berkata, “Loh, ini kan pria yang tadi? Ngapain dia ke hotel?”
Vincent mengangkat bahunya pertanda tak tahu. “Coba kamu lihat kelanjutannya, pasti kamu bakalan kaget.”
Lydia yang merasa penasaran pun kembali menonton video tersebut. Video itu mempertontonkan Felix yang nampak familiar bagi Lydia masuk ke kamar 066. Di video itu, Felix nampak menemukan sesuatu yaitu lilin aromaterapi miliknya. Tepat saat lilin aromaterapi itu diambil oleh Felix, Vincent menghentikan videonya. “Udah lihat, kan?”
Lydia tidak mengangguk ataupun menggeleng. “Iya, lalu kamu mau aku ngapain?”
Vincent sweatdrop saat Lydia bertanya dengan wajah polosnya itu. “Kira-kira, pikirkan kenapa laki-laki itu datang ke kamar yang diberi garis polisi dan mengambil lilin aromaterapimu?” tanya Vincent.
“Entahlah … apa dia salah satu anggota polisi?” Kini, Lydia balik bertanya pada Vincent.
“Jika sampai dia ada hubungannya dengan polisi, kita harus menangkap dan membunuhnya,” ujar Vincent tegas.
Lydia terdiam sebentar. Entah kenapa niat untuk membunuh Felix tidak muncul dalam nalurinya? Lebih tepatnya belum ada niatan baginya untuk membunuh Felix. “Lebih baik, kita cari tahu dulu identitasnya yang sebenarnya.”
“Apa perlu aku carikan, Nona?” tanya Vincent.
Lydia menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, aku bisa mencarinya sendiri. Istirahatlah.” Lydia berlalu meninggalkan Vincent sendirian. Lydia menaiki tangganya dan berjalan menuju kamarnya.
Setelah masuk ke kamarnya, Lydia mengunci pintu kamarnya dan membuka rambut palsu berwarna pirang itu, lalu diletakkannya di meja rias. Tidak hanya rambut palsunya, dia juga membuka lensa blue sapphire yang menutupi mata aslinya. Kini, wujud asli Lydia terlihat sempurna di cermin dengan tatapan dingin. Rambut hitam dan mata yang warnanya bagaikan batu blackonix sebagai wujud asli Lydia saat ini.
“Pria itu pastinya bukan pria sembarangan. Felix, pria yang menarik….” Seringai terbit di wajah cantiknya. Ingatan akan genggaman Felix saat menahan dirinya untuk menusuk preman singgah di pikirannya.
“Berdasarkan hasil otopsi, Tuan Andreas meninggal karena keracunan. Pihak kepolisian sudah berusaha mencari bukti seperti alkohol dan makanan yang tersisa di ruangan, tapi kami tidak menemukan racun di sana. Penyelidikan juga dihentikan dengan diagnosa keracunan pada korban.” Dokter forensik itu menjelaskan panjang lebar.
“Lalu, bagaimana dengan ini?” Felix mengeluarkan lilin aromaterapi tanpa logo pada dokter forensik itu.
Dokter forensik menatap bingung pada Felix. “Untuk apa lilin aromaterapi ini?”
“Aku tidak tahu bisa dijadikan petunjuk atau tidak, tapi aku mencurigai benda ini karena ada di kamar 066,” ujar Felix.
Dokter forensik pun mencoba mencium aroma lilin tersebut. Saat menciumnya, dokter forensik itu tiba-tiba terbatuk dan sesak napas. “Hah … hah … i-ini a-aroma lo-lotus….” Dokter forensik itu menarik napasnya yang sesak dan kembali terbatuk membuat Felix gelagapan.
Felix mencengkeram bahu dokter forensik itu dan berusaha menyadarkannya. “Hei, apa yang terjadi?! Tenanglah!”
Dokter forensik itu akhirnya kehilangan kesadarannya dan tumbang ke lantai. Felix memeriksa denyut nadi di leher dokter itu, namun, seketika matanya membelalak. “Gawat,” rutuknya. Dokter forensik itu telah kehilangan nyawanya. “Sepertinya aku salah mengunjungi tempat ini. Aku harus pergi.” Felix pun pergi meninggalkan ruangan forensik dan meninggalkan kantor polisi layaknya tidak ada yang terjadi.
Setelah Felix mendapatkan izin dari Albert melalui Whatsapp, Felix langsung datang ke kantor polisi untuk menyerahkan preman yang memeras Lydia, sekaligus untuk menyelidiki lilin aromaterapi yang ditemukannya. Namun, Felix tidak menyangka jika dokter forensik itu meninggal seketika saat menghirup aroma dari lilin tersebut. Jika Felix menetap lebih lama, mungkin polisi akan menetapkannya sebagai tersangka. Niatnya ingin menyelidiki sendiri pun gagal ... alhasil, Felix harus menyelidiki lilin tersebut di markasnya.
‘Sial!’ umpat Felix dalam hatinya. Dia harus kembali ke markas BIN sekarang juga.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments