“Uhuk ... argh!!!” Seorang pria paruh baya terbatuk dan merintih kesakitan. Tangannya mencengkeram lehernya lantaran tenggorokannya terasa menyakitkan.
“Kamu pikir, kamu bisa bertingkah seenaknya hanya karena kamu investor perusahaanku? Apa aku terlihat murahan, sampai-sampai aku harus tidur denganmu?” Gadis bermata onix dan masker yang menutupi wajahnya itu berkata dengan suara rendah menandakan kemarahannya. Tatapan gadis itu tajam, bagaikan belati yang akan menguliti tubuh pria paruh baya itu.
Pria paruh baya itu bergetar ketakutan. Aura yang dikeluarkan gadis itu tidaklah biasa. “A-ampuni sa-saya, No-Nona Lydia....” Suara pria paruh baya itu tercekat karena lehernya terasa tercekik hingga membuatnya tidak bisa bernapas.
Gadis yang disebut sebagai Lydia itu menggelengkan kepalanya. Dia berjongkok dan mencengkeram dagu pria paruh baya itu. “Permohonan ampun kamu, sudah terlambat. Nyawa kamu tidak akan tertolong. Jangan pernah sebut nama orang lain di hadapanku dengan mulut kotormu itu.” Gadis itu menghempaskan kasar dagu pria paruh baya itu hingga kepalanya membentur lantai.
“T-tolong, ja-jangan bu-bunuh sa-saya, No-Nona ... sa-saya berjanji, sa-saya ti-tidak a-akan me-melakukannya lagi...,” Setelah bersusah payah mengeluarkan suaranya, pria itu mengejang bagaikan ikan kekurangan air.
“Kamu sudah sekarat, tapi masih mau hidup? Bisa saja aku menyuntikkan penawar racun di tubuhmu. Tapi, melihat keadaanmu separah ini, aku tidak yakin kamu sanggup sama efek sampingnya.” Lydia berkata angkuh.
Pria itu tidak mampu lagi menjawab karena rasa sakitnya sungguh menyiksanya.
“Kasihan, aku akan membantu supaya kamu tidak tersiksa lagi.” Lydia mengeluarkan botol berisi cairan dan meminumkan sebotol cairan itu pada pria sekarat itu.
Pria yang sekarat itu semakin sekarat karena Lydia. Lydia tidak sebaik itu untuk memberikan penawar racun padanya. Cairan itu tentu akan menyembuhkan pria itu jika tidak diminum sampai habis. Akhirnya, pria itu berhenti mengejang dan meninggal dengan tatapan yang kosong. Tangan Lydia yang terlapisi sarung tangan itu memeriksa denyut nadi di leher pria itu. Lydia menyeringai saat tidak mendapati denyut di sana dan itu artinya, pria itu sudah kehilangan nyawanya. “Welcome to the hell, man. Aku tidak sebaik itu untuk mengampunimu. Goodbye.” Lydia menepuk wajah yang mulai memucat itu dan pergi meninggalkan hotel tersebut.
“Baiklah Pemirsa, telah ditemukan jenazah pria bernama Andreas di Hotel Baltony, Jakarta Utara. Pria yang dikenal sebagai investor tersohor di dunia. Penyebab kematian masih menjadi misteri. Untuk itu, para kepolisian sedang menyelidiki secara mendalam untuk menemukan titik terang dari penyebab kematian Andreas.”
Seorang gadis mematikan televisi di ruang kerjanya dan menyesap teh rasa lotus itu. Tentunya, hal itu mengundang rasa bingung pada sekretarisnya yang bernama Maura.
“Kenapa anda mematikan TVnya, Nona Lydia?” tanya Maura.
“Berita itu tidak penting untuk ditonton, Maura,” jawab Lydia.
“Tapi Nona, yang meninggal itu Tuan Andreas, investor di perusahaan kita,” bantah Maura.
Lydia menghela napasnya. “Aku tidak peduli. Lagian, mana ada yang mau nerima dia jadi investor?”
Maura menatap bingung. “Loh, memangnya kenapa tidak ada yang mau, Nona? Dia bahkan tidak pernah mengingkari janjinya, lho.” Maura yang masih polos itu, dengan bangganya memuji investor yang bernama Andreas itu.
Lydia menggeleng melihat tingkah Maura. “Kamu itu polos atau bodoh, hah? Kamu tidak tahu perlakuannya ke kita gimana?”
“Tidak tahu, Nona. Yang saya tahu, dia sangat menghormati wanita,” jawab Maura antusias.
Lydia menatap jijik pada Maura. “Bener-bener nggak waras ini anak. Kamu tidak tahu saja sifat asli Tuan Andreas, makanya bisa bilang begitu. Coba kalau kamu ada di posisiku? Pasti kamu mau dia mati.”
“Ehhh??? Mana mungkin aku mau dia mati, Nona? Memangnya, sifat asli Tuan Andreas seperti apa?” tanya Maura yang kini penasaran.
“Aku harus membayar mahal atas saham yang dia tanam di perusahaan ini. Dia memintaku untuk menemaninya di hotel semalaman, Maura.” Dengan rasa kesal, Lydia membongkar sifat sang investor.
Setelah Lydia menjelaskan, barulah Maura mengerti maksudnya. “M-maksud anda, me-menemaninya di hotel? Itu berarti, one night stand?” ujar Maura terbata.
Lydia mengangguk. “Akhirnya kamu paham juga. Apa kamu mau gantiin aku nemenin dia buet bayar investasinya?”
Maura menggeleng dan menatap Lydia horror. “Idih, siapa juga yang mau nemenin dia? Memang sudah seharusnya dia mati. Ya sudah, terima kasih atas penjelasannya, Nona. Saya mohon pamit undur diri karena ada urusan. Permisi.” Maura menunduk hormat sekilas, lalu meninggalkan ruangan Lydia.
“Dasar tidak berguna! Saya bayar kamu mahal-mahal untuk mencari bocah ingusan itu, tapi apa?!Tidak ada hasilnya, kan?!” Seorang pria paruh baya mengamuk di kantor detektif swasta.
Seorang pemuda yang merupakan detektif itu berlutut di lantai. Kedua tangannya diikat ke belakang tubuh dan kepalanya dipaksa mendongak ke atas untuk menatap Alvin. Ia sudah tidak berdaya di bawah kuasa tangan kanan pria pengamuk itu. “Tuan Alvin, sudah saya bilang jika data anak itu tidak ada, tapi anda tidak mendengarkan. Bagaimana mungkin saya mencari anak yang tidak ada, Tuan?”
BUGH!!
Pria yang dipanggil Alvin itu memukul wajah lebam detektif itu. “Beraninya kamu menyalahkan saya?! Kalau memang tidak bisa mencari, harusnya kamu bilang ke saya, bangsat! Saya juga tidak perlu keluarin uang buat kamu kalau tidak ada hasilnya!”
“Iya, saya salah karena tidak langsung berkata tidak bisa. Maafkan saya Tuan, saya mohon ampuni saya.” Kening detektif itu menyentuh lantai. Ia bersujud agar tidak mendapat siksaan lagi dari Alvin. Detektif itu yakin jika wajahnya sudah hancur sekarang.
“Apa? Kamu minta saya ampuni kamu? Oke, kembalikan uang saya sekarang juga! Semua uang yang saya bayarkan untuk kamu!” Tatapan Alvin kini seakan-akan menguliti tubuh detektif itu.
Detektif itu terdiam karena uang yang diberikan sudah habis olehnya.
“Kenapa kamu diam?! Jangan bilang kalau uangnya sudah kamu pakai! Ayo Jawab!!!” Alvin kini berteriak di depan wajah detektif itu. Bahkan jarak wajah mereka hanya beberapa centi.
“Ma-maaf, Tuan. Uang itu sudah habis saya pakai untuk pencarian, Tuan.” Detektif itu menjawab dengan tangis. Ia pasrah bila ditakdirkan mati di tangan Alvin.
Alvin tertawa, tetapi bukan karena jawaban detektif. Tapi tawa itu merupakan tawa ketidakpercayaan Alvin atas jawaban yang keluar dari mulut Detektif itu.
“Sudah kuduga, kamu pasti menghabiskan uangku secara sia-sia. Bunuh dia dan buang mayatnya di sungai!” perintah Alvin.
Detektif itu mulai gelagapan saat ia dipaksa berdiri oleh anggota Alvin. Kerah bajunya ditarik hingga membuatnya tercekik. Ia membelalak saat kepalan tinju anggota Alvin hendak melayang ke wajahnya. “AGGGGHHHH!!!!”
Alvin keluar dari ruangan detektif tanpa mempedulikan raungan detektif itu. Alvin berjalan menuju parkiran mobil dan menaikki mobilnya. Alvin menyalakan mobilnya dan menancap gas untuk keluar dari parkiran mobil. “Clara, aku pasti akan menemukanmu dan membunuhmu.”
“Menurut hasil otopsi, Tuan Andreas meninggal karena keracunan. Tapi polisi tidak menemukan racun di segelas wine yang dia minum. Bahkan, tidak ditemukan racun pada sebotol wine. Bisa disimpulkan jika pembunuh itu sangat teliti dalam pekerjaannya. Benar bukan, Felix?” Seorang pimpinan agen BIN yang membacakan dokumen berisi data Andreas itu menatap Felix.
“Benar sekali, Tuan Albert. Itu artinya, pembunuh Tuan Andreas bukan pembunuh sembarangan.” tanggap pemuda yang bernama Felix.
“Kalau begitu, bisakah kamu berhenti menjaga Nona Calista sebentar?” tanya sang pimpinan yang bernama Albert.
“Anda ingin saya menyelidiki sendiri kematian Tuan Andreas, Tuan?” Sebelum Albert mengutarakan keinginannya, Felix sudah terlebih dahulu menebaknya.
Albert tersenyum bak iblis. “Bingo, temukan apa yang tidak ditemukan polisi.”
Felix tersenyum miring. “Serahkan semuanya pada saya. Saya pastikan tidak akan ada yang saya lewatkan.”
“Apa kamu perlu seseorang untuk menemani?” tanya Albert.
Felix menggeleng. “Saya sendiri sudah cukup. Lagipula, banyak tangan akan mengganggu jalannya penyelidikan.”
“Baiklah, rapat selesai. Silakan bubar!” Para agen termasuk Felix meninggalkan ruang rapat. Felix menuju toilet untuk mengganti pakaiannya lebih kasual agar tidak terlalu mencolok. Setelah itu, Felix keluar dari toilet dan meninggalkan gedung BIN menuju parkiran mobil. Felix menyalakan mobilnya dan meninggalkan parkiran
menuju Hotel Baltony.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments