Perjalanan dari kantor BIN menuju Hotel Baltony menempuh perjalanan sekitar dua jam. Felix membuka ponselnya dan menghubungi kontak yang bernama Calista.
“Halo, Felix! Seneng banget kamu nelpon aku, kita jadi nonton bioskop kan, hari ini?!”
Suara ceria Calista yang keras membuat Felix meringis. Telinganya terasa berdengung dan pekak. “Maaf sayang, aku gak bisa nemenin kamu ke bioskop hari ini. Ada kerjaan yang harus aku urus.”
“Yahhh ... memangnya kerjaan apa sih sampai gak bisa ditinggalin?” Suara yang tadinya ceria kini berubah lesu.
”Ada deh, pokoknya penting banget dan gak bisa ditinggal. Sekali lagi maaf, ya....” Raut wajah Felix nampak merasa bersalah. Selain ditugaskan menjadi bodyguard, ternyata Felix jatuh hati pada Calista hingga menjadi kekasih sampai sekarang.
“Kamu selalu aja gitu, tiap kali kita mau jalan-jalan atau nonton, pasti dibatalin terus. Mau inilah, itulah, males banget dengernya. Bilang aja kalo kamu udah bosen sama aku.” Suara Calista kini terdengar seperti menahan tangis.
Felix menghela napasnya. Terkadang ada rasa lelah menghadapi sikap manja dan tidak pengertian dari Calista. Tapi, rasa tanggung jawab untuk menjaga dan rasa cinta terhadap Calista sungguh besar. Jadi, dia harus memaklumi segala sikap kekasihnya yang kekanakan itu. “Sekali lagi maaf ya, sayang. Pekerjaan ini sangat penting untuk membina masa depan kita. Kan, aku kerja juga untuk menabung agar kita bisa nikah nanti.”
“Ya udah, kamu urus dulu kerjaan kamu. Nanti kabarin aku lagi kalo kamu udah selesai. Maaf ya, aku selama ini gak pengertian sama kamu.” Sekarang, suara Calista terdengar seperti merasa bersalah.
Felix tersenyum mendengarnya. Sang kekasih biasanya akan luluh dengan perkataannya. “Ya udah, hari Minggu ya kita nonton bioskopnya. Aku usahain gak ada kerjaan di hari Minggu.”
“Oke, awas ya kalo kamu ingkar. Aku bakal marah dan gak mau lagi ngomong sama kamu," ancam Calista.
“Tenang, aku bakal konfirmasi dulu hari Sabtu. Kalo ada kerjaan, berarti kita harus tunda dulu nonton bioskopnya. Kalo gak ada, aku pastikan gak ada yang ganggu kita di hari Minggu," ujar Felix.
Calista yang berada di seberang diam sebentar. “Oke, aku pegang janji kamu.”
“Makasih sayang, I love you,” ucap Felix.
“I love you too, Darling," balas Lydia.
Panggilan telah dimatikan, Felix kembali fokus ke jalan. Tepat pukul 7 malam, Felix tiba di Hotel Baltony.
“Selamat malam Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis itu.
“Selamat malam, Mbak. Kalau boleh tau, apa ada orang bernama Andreas di sini?” tanya Felix.
“Sebentar, saya cek dulu. Tuan Andreas tinggal di kamar 066, tapi beliau sudah meninggal pagi tadi. Kalau boleh tau, Anda siapanya Tuan Andreas?” Resepsionis itu kembali bertanya.
Felix tersenyum. Dia sudah tahu jika resepsionis itu akan bertanya hubungannya dengan Andreas. “Saya kerabat jauh Tuan Andreas. Saya nonton berita kematian Tuan Andreas pagi ini, saya terkejut pas dengar kematian Tuan Andreas. Tadinya saya mau ke sini langsung, tapi kerjaan saya banyak dan baru selesai hari ini. Makanya, saya langsung memutuskan ke sini untuk mencari tau penyebab kematiannya. Apakah boleh?”
Resepsionis itu terlihat ragu, karena takut menyalahgunakan aturan di hotel. Pasalnya, kamar 066 sudah diberi garis polisi. Otomatis, siapapun tidak boleh masuk ke sana, baik itu pegawai maupun yang menginap.
“Saya yang akan tanggung jawab kalau terjadi sesuatu. Saya pastikan kamu gak akan dipecat.” Felix nampaknya sudah mengetahui isi pikiran resepsionis itu.
Resepsionis itu terkejut karena pikirannya terbaca oleh Felix. “Anda bisa baca pikiran saya?” Dengan konyolnya, resepsionis itu bertanya.
“Saya gak bisa baca pikiran, tapi muka kamu mencerminkan isi pikiran kamu. Kalau begitu, apa ada kunci kamar 066?” Felix mengulurkan tangannya tanda meminta.
“Ada, Tuan.” Resepsionis itu mengambil kunci 066 dan memberikan kunci tersebut ke Felix.
Felix menerima kunci itu. “Terima kasih,” ucapnya. Setelah itu, Felix menuju lift menuju lantai atas. Setibanya di lantai atas, Felix langsung berjalan menuju kamar 066. Benar saja, kamar itu sudah diberi garis polisi agar tidak dimasukki siapapun. Felix memastikan tidak ada siapapun yang lewat dan membuka pintu kamar tersebut dan menyalakan lampu.
Kamar itu juga telah disterilkan sehingga tidak ada barang berserakan di kamar tersebut. Botol-botol wine beserta gelas-gelas dan juga makanan sudah dibawa ke kantor polisi untuk dijadikan bahan pemeriksaan. Saat sedang mencari barang bukti yang mungkin tidak diduga polisi, ada satu benda yang menarik perhatiannya. Benda itu berupa lilin aromaterapi yang ada di meja depan kasur king size. Felix mengambil gambar lilin aromaterapi itu dan mengirimkan gambar tersebut ke Albert, atasannya. Felix memakai sarung tangannya dan memasukkan lilin aroma terapi itu ke dalam kantong plastik dan segera meninggalkan hotel.
Lydia meninggalkan kantornya dan berjalan menuju parkiran. Lydia menyalakan mobilnya dan menjalankan mobilnya, meninggalkan parkiran. Di tengah jalan, Lydia hampir saja menabrak seseorang. Entah karena syok atau apa, seseorang yang hampir ditabrak itu pingsan. Lydia menghela napasnya. ‘Sial banget hari ini,’ rutuknya dalam hati. Lydia terpaksa turun dari mobilnya untuk memastikan keadaan korban. Sebelum Lydia menyentuh leher korban itu, sebuah pisau tiba-tiba tertodong ke lehernya. Lydia menatap belati tersebut dan tidak bisa bergerak sedikitpun. ‘Bener-bener sial deh, gue.’
“Serahin semua yang lo punya atau gue bunuh lo!” ancam korban yang hampir ditabrak Lydia.
Lydia menatap mata korban yang merupakan preman itu. Lydia tersenyum remeh. “Oh, lo main-main sama gue pake cara rendahan, hm?”
“Gak usah banyak ngomong, lo! Cepet serahin milik lo atau gue potong leher lo!” Sekali lagi, preman itu mengancam Lydia.
Lydia berdecak kesal. Lydia menangkap tangan preman itu dan menyingkirkan belati yang tertodong ke lehernya. Ada sedikit luka karena sabetan belati tersebut. Lydia menendang perut preman itu hingga preman itu mengadu kesakitan.
“AGGHH!!! SIALAN!!!” Kedua tangannya memegangi perutnya dan menatap tajam Lydia. “Kurang ajar, ternyata berani ngelawan ya, lo! Gue bakal hancurin seluruh badan lo!” Preman itu mengarahkan pisaunya hendak menusuk Lydia, tetapi Lydia dengan cepat menangkap dan memelintir tangan tersebut hingga genggaman pisau itu terlepas ke tangan kanan sang preman. Tangan kirinya menarik tangan yang dipelintirnya, sementara tangan kanannya teracung tinggi dan hampir saja menusuk preman itu jika tidak ditahan seseorang.
Lydia menoleh ke belakang dan mendapati seorang pemuda tampan dekat dengan wajahnya.
“Siapa kamu? Lepasin atau kamu mati ditanganku,” ancam Lydia dengan tatapan nyalang.
“Maaf Nona, aku tidak takut dengan ancamanmu. Aku juga tidak berminat ikut campur. Hanya saja, carilah tempat yang bagus untuk membunuhnya,” saran pemuda itu.
“Cih, idemu bagus juga. Kalo gitu nih, kamu yang urus semuanya. Aku mau pulang, bye.” Lydia menyerahkan pisau belati itu dan mengibaskan rambutnya hingga aroma lotus menyeruak ke hidung pemuda itu. Lydia masuk ke mobilnya dan menjalankan mobilnya menuju rumah.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments