Abraham tersenyum saat melihat raut kaget Shaqina. "Hampir saja aku memukulmu tadi," cetus Shaqina, tapi pria di depannya malah tertawa.
"Berhenti tertawa. Lagian ngapain sih pake ngerangkul segala, kamu pikir aku ini masih takut saat menyebrang jalan?" Kali ini wajah Qina sedikit kesal melihat pria itu masih menertawakannya. Dulu semasa remaja ia memang sangat takut ketika menyebrang jalan raya tapi itu dulu, sejak menikah ia mencoba memberanikan diri untuk menyebrang sendiri hingga akhirnya ia terbiasa.
"Ya, aku pikir begitu." ucap Abraham santai.
"Enak aja. Kamu lupa usia ku sekarang sudah hampir kepala 3, jangan kan nyebrang jalan raya, nyebrang lautan aku juga bisa," ucap nya kesal.
Abraham mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya kau sudah bisa berenang?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Aku..." Ia tak melanjutkan kata-katanya saat melihat pria di depannya mengulum senyum usil mengejeknya. Ia berdecak kesal karena tak pernah bisa menang berdebat dengan lelaki itu, dan hal itu justru membuat senyum lelaki di depannya semakin lebar.
"Ayo ikut aku," ucap lelaki itu kemudian seraya menarik tangan Qina.
"Kemana?" tanya Qina.
"Temani aku makan. Gara-gara kau, aku jadi telambat makan siang."
"Eh. Kenapa jadi aku? Memangnya apa yang kulakukan?"
Tak ada jawaban, lelaki itu hanya terus menarik tangannya hingga mereka sampai di sebuah rumah makan sedehana.
"Kenapa? Kau tak mau menemaniku makan? Atau seleramu sudah berubah?" tanya pria itu saat Qina hanya menatap makanan di depannya, padahal makanan yang ia pesan adalah makanan kesukaan Qina.
Shaqina menggeleng, "Bukan itu," sergah Qina.
"Lalu?"
"Hanya sedikit khawatir pada anak-anak, aku menitipkan mereka pada neneknya gak enak kalau menitipkan mereka terlalu lama."
"Kalau begitu kenapa tidak berhenti bekerja saja? Kalau kau begitu khawatir meninggalkan anak-anakmu, kenapa kau malah meninggalkan mereka demi bekerja? Apa gaji suamimu kurang besar hingga kau harus bekerja?" cecar pria itu membuatnya terdiam. Tidak mungkin ia bicara pada Abraham tentang rumah tangganya yang menyedihkan, bukan?
"Maaf, " sesal pria itu kemudian saat melihat perubahan raut wajah Shaqina. "Makanlah dulu, setelah itu aku akan mengantarmu pulang."
Qina menurut tak ada alasan untuknya menolak, perutnya sudah keroncongan, lagi pula jika Abraham mengantarnya pulang hari ini ia tak perlu mengeluarkan biaya untuk ongkos pulang, dan uang itu bisa ia simpan untuk keperluan lain.
🌺🌺🌺🌺🌺
Sudah sebulan sejak pertemuan terakhirnya dengan Shaqina di mini market, dan sejak saat itu juga Abraham selalu mencari cara dan alasan agar bisa terus bertemu dengan Qina. Kehadiran shaqina seakan mengisi kekosongan dan kehampaan dalam hidupnya selama ini, hingga sekuat apapun ia berusaha untuk menghindar pada akhirnya ia harus menyerah pada keinginan hati untuk menemui wanita itu.
Entahlah, ada sesuatu yang membuatnya merasa jika sahabatnya itu tidak sedang baik-baik saja terlebih wanita itu jadi lebih pendiam sekarang. Ia harus memastikan wanita itu benar-benar bahagia, itulah alasannya pergi dulu.
Tak bisa ia pungkiri perasaannya pada Shaqina masih tersimpan rapi di lubuk hatinya meski ia sadar Shaqina sudah dimiliki orang lain. Tak apa, ia hanya ingin menikmati perasaannya tak pernah ada sedikitpun niat untuk mengusik rumah tangga wanita itu.
Dering ponsel di saku jaketnya membuyarkan lamunannya nama Shaqina terpampang di layar membuat bibirnya tersenyum.
"Halo. Ada apa, Qi?"
"Mas Abraham, saya Dewi teman kerjanya Mbak Qina, Mas masih ingat saya?"
Keningnya berkerut dalam, ia mengenal nama itu hanya saja sedikit heran kenapa gadis itu menelponnya menggunakan ponsel Shaqina?
"Iya saya ingat. Ada apa, Wi? Kenapa kamu telpon pakai ponselnya Shaqina?" Mulai menerka, sekaligus panik.
"Mbak Qina pingsan, Mas."
"Apa?"
"Iya, Mas. Saya mau bawa ke klinik tapi gak ada yang bisa saya mintain tolong, udah coba hubungi suaminya tapi gak di angkat, Mas."
"Kalian di mana?"
"Di mini market, Mas. Bisa kesini tolongin saya?"
"Ok saya ke sana sekarang."
🌺🌺🌺
Abraham segera keluar dari kamarnya dan pergi setelah berpamitan singkat pada mamanya, tak lupa mencium kening putranya yang tengah sarapan membuat keduanya kebingungan melihatnya yang tergesa pergi dengan mengendarai mobil, bukan motor seperti biasanya.
Beruntung jarak mini market itu tak terlalu jauh dari rumah tinggalnya hingga tak sampai 15menit ia sudah sampai di sana.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa pingsan?" Bertanya dengan panik hingga gadis di depannya merasa ketakutan.
"Saya juga gak tau, Mas. Habis beres-beres tiba-tiba aja dia ngeluh sesak sambil megangin perut, terus jatuh pingsan." Dewi menjelaskan dengan gugup, tak pernah menyangka pria di depannya akan begitu menakutkan jika sedang panik begini.
Abraham segera memboyong tubuh Shaqina, meminta Dewi membantunya membukakan pintu belakang mobilnya. Ia melajukan mobil itu dengan hati-hati agar tubuh wanita di kursi belakang mobilnya aman lalu segera mencari klinik terdekat dari sana.
Begitu sampai di klinik, dengan sigap perawat dan dokter membantunya dan segera melakukan tindakan pada Shaqina.
Tak berapa lama Dewi ikut menyusul, kehkawatiran pada Qina membuat gadis itu nekat meminta izin pada pemilik mini market untuk tutup sebentar.
"Bagaimana keadaan mbak Qina, Mas?" tanyanya.
Abraham menggeleng, lelaki itu tampak khawatir dan gelisah. "Dokter masih memeriksanya," ucapnya kemudian.
"Semoga Mbak Qina baik-baik saja."
"Aamiin," ucap Abraham. "Oh, ya. Apa kau sudah bisa menghubungi suaminya?"
Dewi menggeleng, sudah puluhan kali ia mencoba menelpon suami temannya itu tapi tetap tak di angkat, puluhan chat juga sudah ia kirim tapi tak satupun yang di baca.
"No nya aktif tapi telpon ku gak di angkat angkat, Mas," keluh gadis itu.
Abraham menggeram kesal, apa pekerjaan suaminya hingga begitu sibuk dan sulit di hubungi.
Kehadiran dokter membuat keduanya segera menghampiri pria berjas putih itu.
"Bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Abraham.
"Pasien sudah baik,baik saja, tapi masih akan tertidur karena pengaruh obat yang kami berikan." tutur dokter itu menjelaskan.
"Kalau boleh saya tau, apa penyebab teman saya pingsan, Dok? Tadi dia mengeluh sesak sebelum pingsan," Kali ini Dewi yang bertanya.
"Pasien mengalami kelelahan, selain itu asam lambungnya juga naik, dan itu penyebab sesak yang ia rasakan. Setelah ini pastikan dia makan dan istirahat yang cukup," kata dokter yang segera mereka angguki.
Mereka segera masui ke ruang perawatan tempat Shaqina berada, Dewi menggenggam tangan wanita yang menjadi teman baiknya dua tahun ini. Sebelah tangannya mengambil ponsel mengecek notifikasi di benda persegi itu, tak ada apapun, pesan yang ia kirimkan beberapa jam lalu masih belum terbaca membuatnya geram, marah dan sedih bersamaan. Ia tahu sepahit apa kehidupan rumah tangga wanita itu, juga perlakuan keluarga dari suami Qina. Bukan hanya dari cerita Qina tak jarang ia juga mendengar secara langsung saat suami Qina memarahi wanita itu.
"Kenapa nasibmu, jelek banget sih, Mbak..." gumamnya sedih. "Harusnya orang baik kayak kamu dapet suami yang baik juga, yang sayang sama istrinya, bukan suami yang gak pernah perduli macam dia."
Perempuan muda itu tak sadar jika di belakangnya ada pria yang mengeratkan gigi menahan amarah mendengar ucapannya.
"Apa maksud ucapanmu? Apa selama ini Qina tidak bahagia dengan pernikahannya? Apa selama ini suaminya menyakiti dia?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Nenk Dewi
marah ga tuh abra
2022-08-28
1
🐊⃝⃟R. alang2 sawah
nah lo ketahuan kan jadinya
2022-08-28
2