Shaqina aulia
Wanita bertubuh mungil dengan rambutnya yang bergelombang itu tengah mengeringkan tubuh sang putra yang basah akibat kehujanan saat seseorang memanggil namanya, "Shaqina."
Wanita muda itu menoleh kearah suara dan mendapati seorang pria dengan jaket kulit berdiri di sana. "Abram," ucapnya, menatap lelaki itu tak percaya.
"Abraham," ujar lelaki itu membenarkan pelafalan namanya, dan itu sukses membuat bibirnya merekah sempurna.
Ya. Dia adalah Abraham sahabat semasa remaja Shaqina. Bagi sebagian orang dia tampak menyeramkan dengan tato yang menghiasi beberapa bagian tubuhnya, tapi tidak bagi Qina.
Bagi seorang Shaqina aulia, dia adalah sahabat yang paling menyenangkan dan juga salah satu keberuntungan yang Qina miliki diantara peliknya kehidupan.
🌺🌺🌺🌺
Abraham mengajak Qina dan anak-anaknya untuk meneduh di warung di mana ia menitipkan putranya. Qina setuju, dan kini mereka menikmati teh hangat bersama sembari menunggu hujan reda.
"Dari mana?"
"Dari mana?"
Ucap keduanya bersamaan membuat mereka terkekeh sendiri setelah sepersekian menit dilanda kecanggungan.
"Habis jenguk Ayah, kemarin dapet kabar katanya beliau sakit," tutur Qina.
"Sekarang keadaannya bagaimana?"
Shaqina menghela nafasnya, "Harus di rujuk, mungkin harus rawat inap juga."
"Udah di bawa kerumah sakit?"
Qina menggeleng, "Gak ada biaya, Ayah juga gak punya kartu sehat dari pemerintah, jadinya susah."
"Jadi di biarin aja?"
"Tadi udah di bawa kepuskesmas. Katanya mau di rawat di rumah dulu, nanti kalau obatnya habis dan belum membaik mau gak mau harus di rawat di rumah sakit." Terlihat sekali kekhawatiran di wajahnya.
"Mudah-mudahan Ayahmu nanti bisa sembuh setelah minum obat itu." Abraham mencoba menenangkan.
"Aamiin. Kamu sendiri habis dari mana? Aku pikir kamu masih di Bali." Ya setahu Qina sahabatnya itu memang tengah bekerja di Bali.
"Ini juga baru balik. Rayyan minta anter ke makam ibunya, pas mau pulang malah kehujanan. Gak nyangka juga bakal ketemu kamu di sini, " jawab pria itu seraya terkekeh.
"Iya. Aku juga gak nyangka bakal ketemu kamu. Lama, ya, kita gak ketemu."
Abraham mengangguk mengiyakan, "Lima tahun," cetusnya.
"Lama banget ternyata, waktu cepet banget berlalu."
Abraham menatap wanita di depannya dengan tatapan yang tak dapat di artikan. Wanita yang ia kenal lebih dari sepuluh tahun itu kini nampak berbeda.
Wajahnya di poles make up meski tipis, padahal dulu Shaqina sangat anti dengan yang namanya make up. Tubuhnya juga terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia bertemu, pakaiannya juga kini terlihat lebih feminim, begitu banyak perubahan yang terjadi pada wanita itu dalam waktu 5 tahun.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
Pertanyaan Shaqina membuyarkan lamunannya, ia menggeleng lalu mengalihkan perhatiannya pada dua bocah yang tengah menikmati teh hangat dan bakso bersama putranya.
"Anak-anakmu?" tanyanya sembari menunjuk mereka dengan dagunya.
"Iyalah. Masa anak tetangga." jawab wanita di sampingnya sambil menggeleng- gelengkan kepala tak habis pikir dengan pertanyaannya yang tak masuk akal.
Sekali lagi Abraham terkekeh, pertanyaan bodoh memang, jelas dua bocah yang umurnya tak jauh berbeda itu sudah pasti anak Shaqina terlebih wajah mereka sangat mirip dengan ibunya.
"Suamimu kemana? Kok gak nganterin?"
Wajah Shaqina berubah sendu mendengar pertanyaannya, ada apa? apakah ia salah bicara?
"Kerja," jawab Shaqina kemudian.
"Hari minggu gini? Rajin amat."
Shaqina hanya tersenyum masam membuatnya tak lagi melanjutkan kalimatnya.
Tak ada lagi obrolan di antara mereka, Shaqina sibuk menenangkan anak bungsunya yang mulai rewel, entah karena kedinginan atau mengantuk, sedang Abraham sendiri sibuk menatap sahabatnya itu dengan banyak pertanyaan yang bergelayut di benaknya.
Akhirnya, hujan reda juga membuat mereka pamit setelah membayar dan berterima kasih pada pemilik warung tersebut. Qina hendak pamit untuk pulang duluan, tapi Abraham melarangnya dan menawarkan diri untuk mengantar wanita itu pulang.
Sempat menolak, tapi akhirnya ia setuju. Hari sudah mulai gelap, akan sangat sulit mencari angkutan untuk pulang, sedangkan suaminya juga tak mungkin menjemput mereka membuatnya mau tak mau menerima tawaran Abraham meski Qina sendiri tak tau bagaimana caranya pria itu akan mengantarnya dan anak2nya dengan motor, sedangkan pria itu juga membawa Rayyan.
"Malah bengong, Ayo naik." cetus pria yang sudah memakai helm di kepalanya.
"Yakin bakal muat? kita berlima, loh. Yakin motornya bakal kuat?"
Ucapannya justru membuat pria itu tertawa, "Sini. Dudukin anakmu yang gede di belakang punggungku, abis itu baru kamu naik, yang paling kecil, kan, kamu gendong pasti muat kok."
Bukannya menurut Shaqina malah mengernyitkan dahinya tak yakin.
"Buruannn!" Desak pria itu ketika melihatnya masih berdiri.
"Iya. Iya."
Akhirnya Shaqina menurut, sepanjang perjalanan ia tak berhenti mengoceh, menyuruh pria di depannya untuk menjalankan motornya pelan-pelan saja, sesekali mencubit pinggang pria itu jika ia merasa kecepatan kendaraan roda dua itu bertambah, tanpa ia tahu di depan sana bibir pria itu tersungging manis, pria berhelm itu tengah merasakan kembali rasa yang dulu sempat ia kubur dalam-dalam.
Rasa yang hanya pria itu yang tau, karena ia tak pernah mengatakannya pada siapapun termasuk juga Qina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
rayyan duduk dimana? berdiri didepan?
2022-09-04
3
🐊⃝⃟R. alang2 sawah
gaspol beb lanjut .....awal cerita udah bagus....semangattt
2022-08-22
3