Chapter 4

Lorong itu terlihat sepi, tak menandakan adanya kehidupan kendatipun dihuni oleh beberapa orang dan lampu yang menyala di atas pintu kamar operasi. Duapuluh menit lalu, Esther masih terhanyut dalam duka, memandang kosong lantai dengan ketegaran seorang ibu, dan Johnny yang menguatkan di sisinya. Detik ini, perasaan takut semakin menyergap begitu Theo duduk di sebelahnya tanpa menyapa, bahkan enggan menatap dirinya.

Pria itu datang membawa kemarahan. Meski sosoknya membisu, Esther tahu Theo tengah memendam amarah dan ketakutan yang sangat besar. Ini pertama kali dalam hidupnya, Theo bersikap tak acuh terhadapnya. Ia mengerti mengapa pria itu berperilaku seperti ini. Karena dia, Archie celaka. Putra kesayangan suaminya tengah meregang nyawa berkat keteledorannya. Putra mereka yang tak pernah sendirian, bahkan dalam tidurnya, kini harus berjuang seorang diri di dalam sana.

“Archie mengalami cedera di bagian kepala. Tulang tengkoraknya retak, lengannya tergores dan luka memar di beberapa bagian tubuh. Ia juga kehilangan banyak darah. Dokter sedang menanganinya. Kita berdoa saja yang terbaik untuknya. Aku yakin dia bisa melewati itu semua.”

Johnny mencoba menjelaskan keadaan Archie pada Theo, kendatipun pria itu tak bertanya apa-apa, namun Johnny perlu mengatakan kondisi keponakannya, terlebih kakak iparnya itu datang dengan kegelapan yang membuat suasana menjadi lebih tegang dan mengerikan.

Di ruang tunggu ini, mereka duduk bersebelahan, Theo berada di kursi paling ujung, Johnny di sisi kiri kakak sepupunya, dan Esther ada di tengan-tengah. Dengan posisi yang seperti ini, Esther bisa mendengar helaan napas berulang-ulang suaminya. Theo seperti tengah mengungkapkan kegelisahan, namun ia hanya bungkam.

Pria itu menatap lurus pintu kamar operasi. Tangannya saling mengait di depan dagu, sikunya bertumpu pada paha, sesaat matanya terpejam.

“Apa yang sebenarnya kaulakukan, Esther? Kau tahu, putra kita tak seperti anak-anak yang lain. Kenapa kau bisa selengah itu?”

Suaranya terdengar dingin dan berat. Esther memaku. Ucapan itu tak lebih seperti penyampaian rasa kecewa dan putus asa. Tetesan liquid mengalir dari sudut mata, lalu jatuh menimpa punggung tangan yang gemetar luar biasa. Tak kuasa oleh perasaan bersalah yang mencengkeram, Esther hanya mampu menangis dan mengucap beribu maaf pada suaminya.

“Mianhae, jeongmal mianhae (Maaf, sungguh aku minta maaf),” lirihnya terisak.

Johnny merangkul Esther, mengisyaratkan padanya agar berhenti menekan diri sendiri. Tatapan pemuda itu lantas beralih pada pria yang tengah mengusap kasar wajahnya. “Hyeong, aku mengerti kau sangat marah dan kecewa, tapi tolong jangan menyalahkan Noona. Dia sudah cukup terguncang melihat keadaan Archie. Salahkan saja aku yang tak bisa menjaga mereka. Tolong maafkan aku.”

Sebaliknya Theo semakin terpukul. Karena emosi yang tak mampu ditahannya, ia telah membuat wanitanya menangis. Meski ia tak menginginkan ini, namun gejolak api itu masih membara dalam dirinya. Ia kecewa pada Esther, juga terhadap dirinya sendiri yang tidak dapat mengontrol emosi. Dan seharusnya menjaga Esther dan Archie adalah tugasnya sebagai suami dan ayah, bukan orang lain, entah itu Johnny atau siapa pun. Ia merasa tersindir sekaligus tersadarkan oleh perkataan laki-laki itu, semestinya ia tak menyalahkan Esther.

-:-

Sudah empat hari Archie dirawat intensif di ruang PICU. Anak itu sempat mengalami kritis hampir dua hari dan bergantung dengan alat ventilator demi menunjang pernapasan. Meski keadaannya telah stabil, namun ia belum sadarkan diri hingga sekarang. Esther maupun Theo tetap berada di rumah sakit untuk menjaga. Theo bahkan mengambil cuti mengajar sebab ia benar-benar tak mampu meninggalkan putranya.

Kendati sering menghabiskan waktu bersama untuk tetap ada di samping putra mereka, tapi tak jarang mereka hanya terdiam dan tak saling bicara. Theo seolah membangun pembatas di antara mereka. Bahkan ia terus-menerus menjaga jarak agar tak terjadi pembicaraan dengan istrinya. Perasaan yang menghinggapinya sungguh menyiksa, ia ingin mengakhiri ini semua, namun di sisi lain ia takut amarah itu kembali meledak dan membuat Esther terluka.

Tak ubahnya Esther yang tak sanggup berbuat apa-apa, ia menerima sikap suaminya dengan hati terbuka. Ada banyak ketakutan yang dirasakannya bila nekad menuntut suaminya untuk tak mendiaminya. Pria itu masih marah terhadapnya dan ia harus memakluminya. Kesalahan yang dia lakukan bukanlah hal remeh yang mudah dimaafkan. Maka sepatutnya ia tidak mengeluh bila Theo tak mengacuhkannya seperti sekarang.

Di sisi lain, ada satu hal lagi yang menyulut keresahannya belakangan ini. Merupakan sosok wanita yang Theo temui beberapa waktu lalu di kafe ternyata bekerja di sini, sebagai dokter spesialis anak yang tak ia sangka telah ikut berperan menolong putranya di meja operasi. Saat itu ia terkejut melihat sosoknya yang keluar dari pintu bersama rekan-rekannya. Namun yang lebih mencengangkan, wanita itu dan suaminya tampak begitu akrab dan seolah telah saling mengenal.

Dalam benak ia bertanya-tanya, hubungan macam apa yang terjalin di antara mereka? Apa suaminya terang-terangan ingin menunjukkan perselingkuhan di depannya? Terlebih pria itu sering ketahuan olehnya bertemu dan mengobrol dengan si dokter wanita di belakangnya. Sebagaimana beberapa saat lalu setelah ia mengakhiri perbincangan dengan sang ayah di telepon, ia menemukan suaminya dan dokter bernama Scarlett Choi itu saling berhadapan di depan pintu ganda elevator.

Esther tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi wajah mereka menyajikan gurat-gurat kebahagiaan. Seketika hatinya meradang melihat suaminya yang tidak menolak saat tangannya digenggam. Segala pikiran buruk menari-nari dalam kepala. Mungkinkah ini jalan yang Tuhan tunjukkan padanya tentang mimpi waktu itu? Mungkinkah Tuhan sedang membuka matanya melalui kecelakaan yang dialami sang putra?

Bila perjalanan kisah mereka berakhir dengan cara seperti ini, maka masihkah mampu ia menjalani hari-harinya dengan hati lega?

Bagaimana bisa Theo yang ia percaya tega melakukan hal keji itu di belakangnya?

Esther memejamkan mata, kepalanya mengeleng-geleng menolak segala purbasangka. Lalu ketika seseorang memanggil namanya, ia terhenyak seketika, segera menyadari bahwa lamunan telah mengikatnya hingga melupakan sosok wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya.

Wanita itu tersenyum tipis meraih tangannya. Kelembutannya yang sangat nyata, membuat Esther merasa nyaman berada di dekatnya. Mata itu bahkan selalu memandang lembut dirinya.

“Esther, semua yang terjadi saat ini, memang sulit untuk diterima. Tapi dengarkan aku, putraku itu hanya sedang marah padamu. Dia tidak membencimu.

“Yang harus kaulakukan saat ini adalah membiarkannya. Biarkan dia berpuas-puas dengan amarah sampai dia merasa bosan, biarkan dia menyembuhkan kecewa yang dia rasakan terhadapmu dengan caranya sendiri.

“Dia takkan bisa selamanya bersikap seolah tak membutuhkanmu. Ingatlah, dia hanya dikuasai amarah. Dia pasti akan kembali menjadi dirinya yang kaukenal setelah dia merasa bisa menerima kenyataan.

“Saat ini ... dia masih terpaku oleh rasa kecewa karena putra yang sangat dia sayangi terluka saat bersamamu.

“Bersabarlah, Nak. Seorang suami takkan sanggup marah terlalu lama terhadap istrinya. Percayalah padaku.”

Esther menatap sendu wanita yang selama ini telah dipanggilnya ibu. Hampir tak bisa membedakan antara ibu kandung dan ibu mertua. Bila yang lain boleh tak menyukai keberadaaannya, maka tidak untuknya. Esther selalu mendapat ketulusan darinya, tak sekalipun ibu mertuanya mempermasalahkan latar belakang keluarganya seperti yang sering digaungkan selama ini.

“Terima kasih, Ibu.”

“Aku tahu kau pasti bisa menghadapi semua ini.” Tersenyum hangat, wanita paruh baya itu mengusap lembut punggung tangan sang menantu.

“Wanita tidak berguna. Cih, masih sempatnya kau berbicara dengan wanita tidak berguna ini, Ashley.”

Suara mengejutkan datang laksana petir di siang hari. Wanita tua dengan surai keperakan itu menatap angkuh pada Esther yang sudah berdiri.

“Lihatlah apa yang sudah kaulakukan, kau bahkan mencelakai putramu sendiri. Bagaimana aku harus menyebutmu? Si bodoh atau si pembawa sial?”

“Ibu.”

“Diamlah kau, Ashley, aku tak menyuruhmu bicara.”

Ibu mertua Esther itu memandang menantunya dengan tatapan menyesal. Seolah meminta maaf padanya atas sikap sang wanita tua yang di luar batas wajar.

“Hei, kau. Bagaimana kau masih bisa bernapas setelah hampir membunuh putramu? Kau memang tidak berguna, kau tidak berguna menjadi ibu. Kau bahkan seenaknya melimpahkan tugasmu pada cucuku. Kau bersenang-senang di luar sana sementara cucuku kerepotan mengurus putramu yang cacat dan sama tidak bergunanya denganmu itu. Dasar wanita tidak tahu diri. Seharusnya sejak awal cucuku tidak menikahimu.”

“Ibu, kumohon jangan bicara seperti itu.”

“Apa aku meminta pendapatmu, Ashley?”

Menurunkan pandangan, Esther berusaha sekuat mungkin untuk tabah. Kalimat tajam yang dilontarkan terhadapnya mungkin tidak salah. Memang kenyataannya dia tidak becus menjadi ibu hingga membuat putranya celaka. Dia pula yang menempatkan putranya dalam bahaya. Dia juga sering menyusahkan suaminya lantaran memilih bekerja daripada mengurus putra mereka.

Tidak salah bila ia disebut tak berguna. Dan tidak masalah sekejam apa pun ia dihina. Namun ... jika putranya juga ikut disangkutpautkan dalam kebenciannya, maka ia tak terima. Putranya tak memiliki kesalahan apa pun terhadap si wanita tua, tidak pantas bila ia diolok-olok dengan sebutan cacat dan tidak berguna. Sungguh, ucapan itu lebih mampu melukai hatinya.

Maka, dengan gelombang kemarahan yang kuat, ia menaikkan dagu, sorot kesedihannya yang bercampur geram terkombinasi sempurna. Ia siap menempuh segala cara untuk mendapatkan keadilan bagi putranya. Meski yang dihadapinya adalah wanita lanjut usia, namun ia sungguh tak sanggup memaafkan siapa pun orang yang sudah tega menghina keterbatasan putranya.

“Putraku yang cacat itu juga keturunanmu, Halmeoni (Nenek). Apa kau lupa cucumu adalah ayah putraku? Tidakkah kau punya sedikit pun hati sampai kata-kata kejam itu harus kau ucapkan untuk putraku? Di mana sikap rendah dirimu terhadap Tuhan sampai kau berani menghina ciptaanNya? Sungguh, aku tak pernah bertemu manusia tak bermoral sepertimu, Halmeoni.”

Esther menumpahkan segala gaduh di hatinya dengan linangan air mata. Suaranya bahkan terdengar serak saat berkata. Esther benar-benar tak peduli bila dicap durhaka terhadap orang yang lebih tua. Hatinya sungguh terluka mendengar kalimat celaan untuk putranya.

Wajah renta yang semula tenang pun berubah menegang. Matanya mendelik kejam memancarkan kemurkaan. Dengan hati yang berang, sosok tua itu balas menyerang, “Berani sekali kau! Inikah wanita yang dipilih putramu, Ashley? Kau dengar tadi apa yang dia katakan? Benar-benar wanita tak punya tata krama!”

“Ibu.” Ashley menggenggam tangan mertuanya, berharap wanita tua itu tidak memperpanjang perdebatan mereka. “Aku mohon.” Namun, dengan kasar dirinya justru dihempas hingga terdorong beberapa langkah ke belakang. Tatapan tajam pun turut menghunusnya yang menatap penuh permohonan.

Sayangnya, wanita tua itu tak peduli dan kembali memusatkan atensi pada Esther yang mengepal tangan seolah menantang. Merasa geram, sosok itu tak segan melayangkan tamparan di pipi merah penuh air mata di hadapan. Namun, gerakannya mengambang kala melihat kemunculan seseorang dari arah berlawanan. Tersenyum culas, berpikir ini adalah kesempatan bagus untuk menyingkirkan cucu menantu yang tak diharapkan.

“Wanita miskin, murahan, tak tahu malu! Tidak sudi aku menerima wanita sepertimu menjadi bagian dari keluargaku. Menjijikkan!” desisnya lirih, berusaha memancing amarah sosok di hadapannya.

Dari ekor mata, ia melirik sang cucu yang menghentikan langkah beberapa meter dari mereka, persis di belakang si wanita muda yang tak menyadari kehadirannya. Maria tak sabar menanti detik-detik kehancuran itu terjadi di depan matanya. Dia berjanji akan menjadi orang paling bahagia setelah berhasil menyingkirkan wanita parasit itu dari keluarganya.

Menyeka bulir-bulir air mata yang membasahi pipi, Esther tidak lagi heran bila ia hanya akan mendapat hinaan. Meski sudah terbiasa, tapi kini hatinya benar-benar terluka, apalagi mengingat wanita tua itu juga menghina putranya. Terkadang ia lelah dan ingin menyerah. Dia lelah untuk terus bertahan dan menerima seluruh hinaan. Dia sangat lelah dan tak ingin lagi mengalah. Karenanya pula ia mengangkat pandangan, melirik sosok di hadapan dengan sorot permusuhan.

“Kau benar, aku memang miskin, kastaku tak sebanding denganmu, tapi aku tak sepertimu yang menggunakan kekuasaan untuk menyakiti orang, Halmeoni! Siapa yang lebih busuk hatinya hingga tak punya malu merendahkan seseorang di hadapan umum demi kepuasan?” Desisnya tajam, senyum miring tercetak di bibir kendatipun air mata ikut mengalir. “Kaulah orang itu, Halma! Kau orangnya!”

Esther tak kuasa menahan semua rasa yang menyakiti hatinya. Ia sungguh tak peduli bagaimana pandangan orang terhadapnya. Ia tak peduli wanita itu akan kembali menyerangnya. Esther hanya ingin meluapkan emosinya.

Namun, itulah kesalahannya yang sengaja dirancang Maria. Sehingga saat wanita tua itu tiba-tiba mengerang kesakitan sembari memegang leher belakangnya, Esther tidak tahu jika itu hanya pura-pura. Dia benar-benar tidak tahu Maria melakukan semua itu untuk menjebaknya agar dirinya terlihat buruk di depan Theo yang kini tak disadarinya telah bergerak menuju mereka, dengan wajah mengeras dan kemarahan yang membayangi di setiap langkahnya.

“Apa yang barusan dia katakan, Ashley? Oh, Ya Tuhan, leherku.”

Ashley yang juga sama sekali tidak mengetahui kedatangan Theo di belakang mereka, ikut terperangkap di dalamnya, sehingga ia tak curiga saat menolong wanita tua yang berakting sakit itu dan mendudukkannya di kursi tunggu. Baru setelah ia menoleh ke arah sang menantu, ia juga menemukan Theo yang berjalan dengan ekspresi kaku.

“Apa yang sedang kaubicarakan, Esther Jo?”

@#$%&

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!