“Apa yang sedang kaubicarakan, Esther Jo?”
Gestur tubuhnya menggambarkan rasa terkejut yang luar biasa. Esther mengalihkan pandang pada sosok yang sudah berdiri di sebelahnya, saat itu juga ia menyaksikan kobaran api di mata hitam sang pria. Jantungnya semakin berdenyut sakit begitu melihat Scarlett yang melekat di sisi suaminya. Dan lagi-lagi pria itu tak menampik kala tangannya ditarik dan digenggam oleh si wanita.
Perasaan kecewa, terluka dan hancur berbaur menjadi satu di hatinya. Lidahnya kelu untuk bicara. Seperti ada gumpalan besar di dada yang membuatnya sesak tak terkira. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya, kecuali tangis tersengguk yang begitu memilukan. Matanya memandang terluka sang suami yang bahkan tak berhenti menatap tajam. Pria itu telah berubah. Dia tak lagi melindungi Esther seperti yang selalu pria itu lakukan. Tidak ada lagi sosok pelindung di diri pria itu untuknya.
“Lihatlah, Theo, lihatlah dengan mata terbuka apa yang sudah dia lakukan padaku! Apa masih pantas wanita seperti itu kau pertahankan?!” Maria tak ingin menyerah untuk memprovokasi cucunya, sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan, dia takkan berhenti begitu saja.
Alis Theo menukik tajam. “Ikut denganku!”
Tanpa menunggu balasan, pria itu mencengkeram kuat tangannya dan membawanya pergi dengan langkah tergesa. Esther tak kuasa diperlakukan kasar oleh suaminya. Pria itu nyaris tak pernah menyakiti batin maupun fisiknya. Dan perubahan ini sungguh membuatnya terkejut dan hampir tak percaya bahwa sosok ini adalah suaminya. Suami yang ia kenal delapan tahun belakangan bukan monster yang tega menyeret bahkan melukainya.
“Sadar kau sudah membuat keributan?” Pria itu bertanya tanpa melihat Esther yang terisak di belakangnya. Bila hatinya tak tersayat mendengar tangis pedih istrinya, maka itu dusta. Emosi kadang-kadang mampu menutup hati. Nuraninya menolak untuk melakukan ini, namun jiwa berapinya menuntun agar ia tetap bersikap seperti ini.
“Apa kau tidak malu berdebat seperti itu di rumah sakit? Apa kau tidak punya rasa sopan terhadap orang yang jauh lebih tua darimu? Esther Jo, seburuk apa pun ucapan Halmeoni padamu, apa tidak bisa kau mengalah?”
Tak ada balasan dari Esther, kendatipun ia ingin mengungkapkan yang kejujuran. Ia sangsi Theo akan memercayai ucapannya, sedangkan pria itu tengah dibalut amarah yang tak berkesudahan. Esther menggigit bibirnya kuat, rasa yang terpatri di dirinya terlalu kokoh sampai ia tak sanggup untuk sekadar membayangkan hari esok.
Dan ketakutan itu sungguh nyata kala si pria kembali menariknya keluar dari elevator, melewati ruang lobi, dan ia diseret-seret seperti benda mati yang tidak akan apa-apa bila tergores atau pun terluka. Bibirnya mendesis, rasa perih menyerang pergelangan tangannya yang digenggam terlampaui erat oleh si pria. Pada akhirnya dia hanya mampu menangis, dan terus seperti itu hingga mereka tiba di tepi jalan raya.
Theo menghentikan sebuah taksi. Pintu dibuka. Pria itu menatapnya. Ada kelembutan yang terpancar walau tak bertahan lama, tapi Esther tahu perasaan sayang itu masih ada kendati tertutupi oleh kabut amarah. Tangan itu lantas menahannya di depan pintu. Saat dia pikir segalanya akan menjadi baik-baik saja, lagi-lagi pria itu menyakiti hatinya.
“Pulanglah. Jangan menemui kami sebelum kau merenungi kesalahanmu.”
“Theo.”
Tidak, ia tidak ingin meninggalkan rumah sakit, ia tidak mau pulang, ia harus tetap di sini untuk menjaga Archie, ia sungguh tak sanggup berpisah dengan putranya. Archie belum sadarkan diri, bukankah ia tidak boleh pergi dan harus tetap tinggal di sisi?
Namun sekali lagi, perlawanannya hanya sia-sia. Theo lebih berkuasa untuk mendorongnya masuk ke kursi penumpang. Debuman pintu terdengar seperti bom yang meledak. Esther tersedu. Memohon sekali lagi. Theo yang sekarang seperti tak punya rasa kasihan sedikit pun terhadapnya. Pria itu tega, sangat tidak berperasaan.
Theo mencoba untuk tak menghiraukan rasa nyeri di dada kala melihat kondisi istrinya yang jauh dari kata baik. Ia tak boleh goyah hanya dengan hal-hal seperti ini. Sekarang ia belum mampu melindungi Esther, maka keputusan untuk mengirim wanita itu pulang adalah pilihan terbaik. Dia segera berjalan menuju pintu sebelah kemudi, memberitahukan tujuan dan memberikan beberapa lembar won pada si supir taksi.
“Theo! Theo!” Dari luar, terlihat Esther yang berteriak dan menggedor jendela taksi.
Theo meraup napas panjang. Ia kembali melongok ke dalam taksi, dan bilang, “Pak, cepat jalankan mobilnya. Pastikan Anda mengantarnya sampai alamat tujuan.”
Perasaan lega menyerbu kala mengamati taksi yang ditumpangi istrinya telah melaju. Setidaknya Esther tidak bertemu neneknya untuk sementara, dengan begitu ia akan tenang. Namun jujur, di lubuk hati terdalam, ia tersiksa.
-:-
Esther menghitung jumlah bintang yang tercetak di baju tidur putranya. Ia melakukan itu berulang-ulang sampai menemukan hasil yang sesuai. Sudah hampir lima kali, namun total bintang tak selalu sama. Ada beberapa yang terlewat dan tak ia sadari. Dulu ia sering mengajari putranya menghitung dengan cara seperti ini. Meskipun Archie tak benar-benar belajar dan hanya mengeluarkan suara tawa, tapi Esther sangat bahagia memiliki waktu sepanjang hari bersama putranya.
Kini, saat ia duduk sendirian, ia menyadari satu hal, bahwa sependek apa pun waktu yang dilalui, setidaknya hargai setiap detiknya agar kenangan itu menjadi indah bila diingat kembali. Dan ketika masanya telah habis, ia bersedih karena tak bisa bercanda tawa seperti hari itu. Ia merindukan segala hal tentang putranya. Maka, di atas sofa kelabu ini, ia hanya mampu memeluk lutut sembari menghidu pakaian tidur yang sering dikenakan putranya.
Mata cokelatnya tak pudar meski tersembunyi dalam ruang minim penerangan. Enam jam lalu, ia menghubungi Theo, namun ditolak. Dua jam kemudian pria itu mengirimkan pesan agar ia berhenti menelepon. Bila tak memiliki akal sehat dan tak mengingat keberadaan Archie, barangkali ia akan terjun dari atas jembatan dan tenggelam bersama seluruh rasa sakitnya. Tekanan dari keluarga suaminya pun tak dapat tertampung seluruhnya. Bila ia tak memiliki Archie di sisinya, mungkin ia sudah berakhir seperti ibunya.
Dan perpisahan ini, membuatnya meradang. Kenapa ia diusir dari tempat putranya sendiri? Bukankah seorang ibu lebih pantas ada di sana, menemani putranya yang tengah tertidur pulas dan menunggu sampai ia mau membuka mata? Tapi kenapa ini terasa tidak adil untuknya? Adakah tempat di dunia ini untuk membeli keadilan? Dia tertawa. Seandainya ada, apa mampu ia membayar harganya? Bukankah dia tak punya harta? Sekali lagi dia tertawa, apa seseorang akan selalu dihargai dengan uang? Apa setelah kau punya banyak uang, kau akan benar-benar dihargai? Dia tertawa lagi, dan kemudian air matanya jatuh.
“Archie, Mama rindu padamu, Sayang.”
“Mama sangat merindukanmu.”
“Maafkan Mama, Anakku.”
Malam itu, Esther berusaha tidur sendiri, mengharap Archie akan datang walau hanya dalam mimpi. Kerinduannya seluas langit yang kelam namun bertabur bintang. Seperti itu juga kehidupannya yang tak melulu terang benderang, namun masih disinari oleh kehadiran Archie yang menjadi penerang. Sebagaimana presensinya yang hadir tiba-tiba, dan membuat Esther terpana. Archie datang seolah ingin menghiburnya yang kesepian dengan senyum bahagia, kakinya berlari mengitari ruang. Suara tawanya yang samar, mengikis kerinduan. Dan ia hanya ada dalam ruang imajiner Esther yang sekejap kemudian lenyap tak bersisa.
Esther memeluk erat pakaian tidur yang berbau putranya dengan mata terpejam. Menganggap anak itu sungguh ada di dekapnya dan akan menemani tidurnya yang melelahkan. Sampai hari esok itu datang, ia tersadar ia masih sendiri dan menyedihkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments