Sunshine
Menjauh dari keramaian, Theo terduduk di sebuah kursi memanjang dengan memangku putranya. Sudut-sudut bibirnya terangkat menyaksikan kegembiraan anak-anak yang bermain jungkat-jungkit, ada pula yang berkeliling dengan skuter, sepeda atau sekadar jalan kaki. Pukul empat sore memang waktu yang tepat untuk bersantai sembari menikmati sinar keemasan matahari.
Suara-suara ceria bersahutan bersama terpaan angin musim semi. Kesejukan dan kenyamanan membelai kulit putihnya dengan lembut. Dari arah barat, ia menangkap siluet anak laki-laki yang berlari. Poni rambutnya tampak bergoyang-goyang mengikuti arus pergerakan. Ia menoleh, tersenyum pada sosok itu yang melambaikan tangan.
“Archie!”
“Hi, Kaiden.” Theo menjawab ramah, anak di pangkuannya berceloteh riang.
Kaiden adalah tetangga Theo yang juga teman bermain putranya. Mereka sebaya. Lahir di tahun yang sama dengan tanggal dan bulan yang berbeda. Kaiden anak yang ramah dan mudah akrab. Hampir setiap hari anak itu berkunjung ke rumahnya selepas pulang sekolah. Berkat keberadaan Kaiden, putranya kini memiliki teman.
“Archie, aku mau main perosotan di sana. Maukah kau menjaga Dino untukku?” Kaiden berbicara sembari menunjuk area bermain di bawah, sedangkan tangan yang lain menyerahkan miniatur dinosaurus pada putra Theo yang berbinar.
“Wah, tentu saja, Kai. Archie pasti akan menjaganya dengan baik,” ujar Theo setuju. Archie tertawa.
“Kau boleh meminjamnya dulu sementara aku bermain.” Kemudian benda hijau berwujud hewan purba itu berpindah tangan. “Aku pergi dulu, Archie. Sampai nanti, Paman.” Kaiden membungkuk dan merasakan tangan besar mengusak gemas surai hitamnya.
“Selamat bermain, Kai.”
Laki-laki kecil itu menyengir, sebelum akhirnya mengiyakan ucapan Theo dan menghambur pergi. Kakinya mengayun menuruni tangga menuju area perosotan yang dikerumuni anak-anak seusianya.
Pandangan Theo kemudian beralih pada putranya. Usapan lembut tersalurkan di lengan kecil itu. Mata hitamnya memerhatikan gurat bahagia yang terukir di wajah tampan yang serupa dengannya. Theo bersyukur putranya tumbuh dengan sehat, terlebih fisik yang cenderung mewarisinya. Meski kadang kala ia berandai, bila saja Archie terlahir lebih beruntung dari ini.
Theo menarik napas dalam. Sisi lain dirinya mencaci lantaran ia yang lagi-lagi mengeluhkan kondisi sang putra. Seharusnya ia tak seperti itu. Archie memang berbeda. Dan ia sudah berkali-kali meyakinkan diri bahwa Archie akan tumbuh lebih baik suatu hari nanti. Keikhlasan dan doa adalah yang diperlukan saat ini.
Limabelas menit setelah kepergian Kaiden, Theo mulai merasakan kejanggalan yang terjadi pada putranya. Anak itu bergerak gelisah, berikut gumaman tak jelas keluar dari bibir mungilnya. Ia segera menunduk, mengamati alis tipis yang berkerut-kerut, Archie seperti sedang menahan sesuatu dalam dirinya. Pun ia langsung paham begitu aliran hangat nan basah menyiram celana bahan yang ia pakai. Theo terkekeh.
“Archie, lain kali kau harus bilang pada Ayah kalau ingin buang air kecil, mengerti?”
Archie hanya tertawa. Sesekali anak laki-laki itu berseru dengan vokal yang sama berulang-ulang. Putra Theo memang belum bisa mengatakan kalimat lain kecuali ‘A’, ‘Ah’ dan ‘Em’.
Theo berdiri. Dia mendekap tubuh ringan putranya, mengarungi taman bermain yang dipadati pepohonan hijau tersebut dengan perlahan. Dia memanggil Kaiden yang berdiri tak jauh darinya. Tampak anak itu baru saja turun dari perosotan, raut mukanya pun terlihat gembira. Kai lantas menoleh setelah menyadari keberadaannya yang menggendong Archie di bawah anak tangga.
“Kai, Archie harus pulang sekarang. Kau masih ingin bermain atau mau pulang bersama kami?”
Di tempatnya, Kaiden berseru lantang bahwa ia belum puas main perosotan, jadi dia bilang pada Theo untuk meninggalkannya saja. Theo mengangguk, dia percaya Kaiden bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula taman ini masih dalam wilayah apartemen yang mereka tinggali. Maka dengan tidak merasa cemas, Theo berlalu pergi.
Mereka keluar dari lift, kemudian bergegas menuju unit yang mereka huni selama tujuh tahun belakangan. Beberapa kali Archie merengek ingin turun, bahkan ia menunjukkan wajah menggemaskan pada ayahnya, namun Theo hanya merespons dengan tawa dan tak mengindahkan keinginan sederhana putranya.
Saat ini kondisi sedang darurat, tak mungkin ia membiarkan Archie merangkak di lantai yang kotor. Archie belum mampu berjalan sendiri tanpa pegangan. Anak laki-laki itu akan terjatuh setiap kali melangkah, jadi keputusan untuk tetap menggendong putranya adalah yang paling tepat, kendati ia tak tega melihat ekspresi Archie yang menyedihkan.
Kemudian dia membersihkan tubuh Archie dengan telaten dan hati-hati. Handuk biru terbungkus di tubuh kecil itu, handuk yang selalu menjadi favorit Archie sejak ia mulai memahami warna. Theo lalu membalurkan minyak eucalyptus di bagian perut dan punggung putranya sebelum memakaikan baju. Tutorial ini dia dapat langsung dari istri.
Kali ini ia melakukan semua itu sendirian, tanpa bantuan istrinya. Semenjak wanita itu memutuskan untuk membantu mengelola rumah makan keluarga, ia jarang di rumah. Theo tidak melarang meskipun ia sendiri kesulitan mengurus Archie yang sudah sangat aktif. Memang ini perkembangan yang bagus untuk Archie. Tapi Theo juga harus pergi ke sekolah untuk mengajar.
Jika dipikir lagi, istrinya memang butuh pengalihan, atau setidaknya dia sangat memahami wanita itu yang tak pernah bisa diam dan tinggal di rumah saja. Jadi memberinya sedikit kebebasan merupakan hadiah paling benar. Memikirkan istri, membuat kerinduan yang terkumpul semakin menumpuk. Dia mendesah lelah, tapi juga lega karena pekerjaannya telah usai.
“Archie, Ayah akan membuatkanmu makan malam. Cukup di sini dan bermain dengan mereka, oke?”
Dia berpamitan pada putranya untuk pergi ke dapur. Anak itu tak memberi respons apa pun, terlalu sibuk dengan mainan yang berceceran di lantai. Theo tersenyum, mengusap kepala Archie, lalu bangun dari posisi jongkoknya dan berderap ke arah kulkas. Sesekali iris gelapnya mengawasi pergerakan Archie dari jarak tiga meter.
Bila dihitung secara teknik Korea, Archie berusia enam tahun saat ini. Dia anak yang terlahir prematur. Sering keluar masuk rumah sakit semenjak ia masih bayi. Archie memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, dia gampang sakit jika kelelahan sedikit saja. Komplikasi lain lalu muncul ketika Archie menginjak usia enam bulan.
Saat seharusnya ia sudah bisa duduk, dia hanya berbaring. Saat anak lain belajar berjalan, Archie belum bisa melakukannya. Saat teman-temannya pandai berbicara, Archie masih mengeluarkan suara-suara khas bayi. Dokter bilang, Archie mengidap dispraksia, sebuah gangguan motorik yang mengakibatkan terlambatnya perkembangan.
Archie adalah anak yang istimewa, maka ia pun harus diperlakukan lebih istimewa. Berkat kegigihan mereka, Archie kini sudah bisa berjalan walau tertatih dan gerakannya cukup kaku seperti robot.
Kendatipun begitu, Theo tetap merasa lapang dan bahagia. Di sudut hatinya, ia berharap sebuah keajaiban segera menyambut hangat putra kecilnya. Archie pantas mendapat kebaikan. Dia masih terlalu muda, masa depannya sangat panjang dan perlu diraih.
-:-
Tirai-tirai yang melapisi jendela, telah tersingkap sebagian, membebaskan kehangatan matahari pagi menembus hingga ke seluruh ruangan. Esther mengenakan apron merah muda, berkeliaran mengelilingi rumah dengan berbagai kesibukan. Sebagai seorang istri dan ibu, ia terbiasa melakukan segalanya sendirian. Meski acapkali sang suami turut terjun dalam urusan rumah tangga.
Bukan hal asing lagi bila melihat suaminya mencuci piring, baju kotor, menyapu lantai, mengepel, membersihkan kaca jendela, kamar mandi bahkan memasak. Pria itu pernah berkata bahwa keluarga ini hanya milik mereka, maka apa pun yang terjadi, mereka harus bekerjasama dan saling membantu. Suaminya tak peduli masalah gender, karena untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis, harus ada kontribusi seimbang di antara mereka.
Kini ia menyiapkan meja makan, menata aneka ragam masakan tradisional Korea di sana. Saat fokusnya hanya tertuju pada hidangan sarapan, terdengar pintu yang terbuka dari kamar utama, menyajikan sesosok pria berpiama kotak-kotak dengan mata yang sedikit mengeryip dan rambut hitam mencuat ke mana-mana, begitu pun makhluk kecil di gendongannya yang masih mengantuk.
“Selamat pagi, Archie. Selamat pagi Ayah Archie.”
Senyum teduh menjemput kedatangan dua anggota keluarga. Si pria bermuka bantal sekonyong-konyong merengkuhnya, mencumbui bibirnya seperti selalu.
“Sayang.” Esther mencoba menahan pergerakan suaminya yang tak sabaran ingin menciumnya lagi. “Ajaklah Archie ke kamar mandi. Kau perlu berbenah, hari ini murid-muridmu ujian, kan?”
Pria itu mengangguk. Meski dengan wajah yang tercoreng lipatan-lipatan bantal, ia tetap memesona, indah dan selalu menyejukkan mata. Bahkan ia terlihat sangat tampan hanya dengan penampilan sederhana.. Esther selalu jatuh cinta padanya, setiap waktu, setiap perilaku, entah itu liar maupun manis, suaminya selalu berhasil memancing debar harmonis.
“Archie, mandi dulu, Nak. Ayo bangun, kau juga harus berangkat sekolah.”
Esther melirik Archie yang enggan menatapnya, justru semakin pandai berlindung di bahu sang ayah tanpa berniat mengubah posisi. Anak itu seperti sedang beralasan untuk tak pergi ke kamar mandi. Archie memang sedikit malas bangun di pagi hari, walau sejujurnya ia mudah dibujuk. Putra kebanggaan Theo itu lantas mengeratkan pelukan. Si empunya tubuh pun kontan melepas tawa pendek.
“Archie ... sayangnya Mama, sudah siang, Nak, cepat bangun.”
Esther paham putranya senang bila ia menyeru dengan suara lembut. Archie suka kelembutan. Tak ayal, laki-laki kecil itu menoleh setelah merasakan belaian halus pada surainya. Ia mengerjap-erjap memandangi sang ibu.
“Ung, ung.”
“Ayo pergi mandi, Nak.”
Esther mencium pipi bulat putranya. Anak itu tersenyum riang. Tangannya terjulur hendak meminta gendong sang ibu, namun ayahnya lebih cepat bereaksi. Bukannya tak diizinkan memeluk sang ibu. Archie sekarang sudah cukup besar, berat badannya bertambah, Theo tak mungkin tega membiarkan Esther menahan beban seberat itu. Istrinya akan kuwalahan, apalagi akhir-akhir ini ia mudah tumbang.
Tak ada pilihan lain, ia segera membujuk putranya. Pukul tujuh ia wajib tiba di sekolah sebelum murid-muridnya berdatangan. Dia bertugas menjadi panitia ujian sekolah, jadi ia harus melakukan persiapan lebih awal. Pun sebelum berangkat, ia juga perlu mengantar putranya ke sekolah khusus. Benar-benar tak ada waktu untuk bersantai. Meski dengan sedikit terpaksa, Archie akhirnya berhenti rewel.
-:-
Kesibukan di luar rumah acap kali sukar untuk dicegah. Theo terbiasa menghabiskan sebagian waktunya di sekolah. Kadang-kadang ia juga dibebani menjaga murid-murid yang mengikuti ekstrakurikuler musik sampai menjelang larut. Bila ia mendapat lebih banyak durasi di rumah, maka itu adalah jackpot. Tak tanggung, ia akan menggunakan kesempatan itu untuk bermalas-malasan, bermain dengan putranya, atau menggoda istrinya.
Theo tak berhenti tersenyum sejak tadi. Sangat menyenangkan mengamati wajah ayu istrinya dari bawah. Oh, benar, dia sedang berbaring di pangkuan istrinya. Titik ternyaman yang sukses menggelitik relung hati, terlebih jemari sang istri yang menjelajah di sekitar garis rahang hingga pipi. Tatapan istrinya memang tertuju pada layar televisi, namun setidaknya Theo masih mendapat perhatian kecil yang ia syukuri.
Putranya tertidur beberapa saat lalu. Sepertinya Archie cukup lelah setelah mengikuti terapi tadi siang. Perkembangan Archie meningkat setiap hari. Ia tak perlu lagi dijaga saat berjalan. Saking bahagianya bisa melakukan yang seharusnya sejak dulu anak itu lakukan, Archie tampak begitu bersemangat. Sepanjang sore, ia berlarian memutari rumah.
Theo kadang merasa waspada, tapi seorang terapis bilang bahwa ia harus menanamkan kepercayaan yang kuat terhadap putranya. Bila Archie tak diberi kebebasan, maka perkembangannya pun akan terhambat. Orang tua cukup mendampingi, mengajari dan mengawasi secukupnya. Karena bagaimana pun, Archie tetap butuh privasi. Ia juga harus melatih dirinya untuk menjadi lebih berani.
Perhatian Theo kembali teralih pada sang istri. Sudah dua jam mereka berduaan di ruang keluarga. Esther tak pernah mau ketinggalan drama favoritnya, jadi rela atau terpaksa, ia harus tetap rela berbagi dengan mereka yang memenuhi layar televisi. Tapi saat tiba-tiba wanita itu balik menatapnya—tanpa ekspresi, anehnya ia merasa senang.
“Theo, tadi ....”
“Ya?” Theo penasaran karena Esther menggantung kalimatnya.
Wanita itu tampak ragu. Bibir Theo mengerucut begitu istrinya memilih memandang si aktor tampan.
“Kau mengunjungi keluargamu—”
“Keluargaku keluargamu juga, Sayang.”
Esther berubah kikuk. Alis Theo menukik, tak suka.
“Maaf.”
Melihat perilaku istrinya yang sebentar-sebentar menggigit bibir, tak ayal menumbuhkan rasa gemas yang tak tertolong.
“Katakan saja, Sayang, jangan cemas seperti itu.”
“Hng, apa terjadi sesuatu di sana?”
“Tidak ada.” Theo menjawab dengan santai. “Ibu merindukanku, itu saja.”
Jawaban Theo mengandung makna jamak. Boleh jadi ia mengatakan yang sejujurnya, atau mungkin tidak. Theo memang cukup cerdas menutupi ekspresi. Ada hal yang perlu dan tak perlu untuk diceritakan. Dan masalah nenek yang lagi-lagi mengenalkannya pada gadis pilihan keluarga, sungguh tak patut untuk dibicarakan, apalagi dengan istrinya. Theo tak sanggup melukai perasaan wanita yang ia cintai. Bahkan ia rela mati daripada harus melihat kehancuran sang istri.
“Oh.”
Suara Esther kali ini terdengar lega. Ada sebagian dirinya yang belum puas dengan jawaban Theo. Esther hafal bagaimana tabiat keluarga suaminya, terutama sang nenek. Bila mereka hanya mengundang Theo untuk pulang ke rumah, maka ada sesuatu yang disembunyikan di belakangnya.
Kadang ia merutuki pola pikirnya yang terlalu rumit. Bayangan lain turut menghantui. Esther mengingat kejadian dulu ketika secara terang-terangan diminta untuk berpisah. Sayangnya, ia perempuan tangguh, tak sekalipun berniat mengabulkan perintah tak manusiawi itu. Sejak awal, pernikahan mereka memang tak pernah direstui.
“Sayang.”
“Hm?”
“Archie sudah tidur.”
“Aku tahu.”
Theo menggaruk rahangnya. Respons cuek istrinya menyiratkan bahwa ia sedang tak ingin diganggu. Benar sih Theo cemburu bila fokus Esther sudah terpecah begini. Tapi dia tetaplah seorang suami, yang ada saatnya untuk bersabar, dan ada kalanya butuh didengar.
“Esther, lihat aku.”
Esther mengerjap. Matanya merendah.
“Aku sudah melihatmu.”
“Tidak, bukan seperti itu.” Theo segera bangkit. Dia menekan bahu istrinya. Memerintahkan wanita itu agar tak berpaling darinya. Setidaknya untuk saat ini.
“Sayang, ayolah, kau tahu maksudku.” Dia memohon, sedikit frustrasi.
“The—”
Ucapan Esther terputus saat tahu-tahu Theo mengecup bibirnya. Tangan pria itu lantas meraba permukaan sofa, memungut remote dan langsung memadamkan televisi. Esther terkejut, matanya melebar, bahkan ia belum menonton adegan yang ditunggu-tunggunya sejak tadi.
“Theodore Park!” Ia merajuk, kesal pada sikap suaminya yang semena-mena.
“Jangan cemberut, Sayang. Kita bisa melanjutkannya sendiri.”
Esther akan mengajukan perlawanan, namun tak disangka Theo bergerak lebih gesit. Pria itu mengecupnya lagi. Bibir mereka menyatu cukup lama. Anggota tubuh Theo yang sinkron, berhasil mengambil alih perhatian sang istri. Tangan itu lantas merambat ke dalam piama, menelusuri punggung, turun ke pinggang dan memeluknya mesra, lalu ia semakin merayap ke bawah dan berhenti di tulang pinggul.
Kini ia tahu, istrinya telah terbuai oleh ciuman menuntutnya. Ia merasa lega begitu menyadari Esther telah terlena, mungkin juga melupakan rasa kesal yang terpercik di mata cokelatnya beberapa saat lalu. Sementara istrinya lengah, ia buru-buru menyiasati dengan mengangkat wanita itu duduk di pangkuannya.
Tautan terlepas sesaat. Theo merapatkan dahi mereka. Bola kelamnya menyelami milik istrinya. Esther seakan terlempar dari ketinggian tebing kala disuguhi tatapan teduh penuh harap suaminya, rasa bersalah turut menggenggam kala mengetahui betapa putus asa pria itu terhadapnya.
Sekonyong-konyong ia terjebak dalam manik gelap berselimut kabut di hadapannya. Ia menemukan sebuah kemarahan, kecemburuan, dan kerinduan tak terbendung tersirat cukup jelas di sana. Penyampaian itu terlalu kuat hingga ia sulit bernapas.
Esther refleks menarik tengkuk suaminya, mencari kenyamanan kala bibir mereka kembali berpagut. Pria itu tak hanya diam, dia tersenyum menang, tentu saja. Satu lengannya mulai sibuk mengelilingi punggung sempit itu, kemudian meletakkan lengan yang lain di belakang lutut istrinya.
Tanpa memutus pertautan, Theo membopong tubuh ringan itu menuju kamar mereka. Di sisi lain, tangan Esther melingkari bahu lebar sang suami dengan perasaan meletup-letup dan dada yang berdegup kencang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments