Sunshine

Sunshine

Chapter 1

Menjauh dari keramaian, Theo terduduk di sebuah kursi memanjang dengan memangku putranya. Sudut-sudut bibirnya terangkat menyaksikan kegembiraan anak-anak yang bermain di sekelilingnya. Ada yang menaiki jungkat-jungkit, berkeliling dengan skuter, sepeda atau sekadar jalan kaki. Pukul empat sore memang waktu yang tepat untuk bersantai sembari menikmati sinar mentari.

Suara-suara ceria bersahutan bersama terpaan angin musim semi. Kesejukan dan kenyamanan membelai kulitnya yang putih berseri. Dari arah yang berlawanan, tertangkap siluet anak laki-laki yang sedang berlari. Poni rambut yang tebal tampak bergoyang-goyang mengikuti arus pergerakan. Theo menoleh, tersenyum pada sosoknya yang melambaikan tangan.

“Archie!”

“Hi, Kai.” Theo merespons ramah, sedangkan anak di pangkuannya tertawa renyah.

Kaiden adalah tetangga Theo yang juga teman bermain putranya. Mereka sebaya. Lahir di tahun yang sama dengan tanggal dan bulan yang berbeda. Kaiden anak yang ramah dan mudah akrab dengan siapa saja. Hampir setiap hari anak itu berkunjung ke rumahnya. Berkat keberadaan Kaiden, putranya kini memiliki teman yang tak hanya baik, tapi juga setia.

“Archie, aku mau main perosotan di sana. Apa kau mau menjaga Dino untukku?” Kaiden berbicara sembari menunjuk area di bawah, sedangkan tangan yang lain menyerahkan miniatur dinosaurus pada putra Theo yang tersenyum merekah.

“Wah, tentu saja, Kai. Archie pasti akan menjaganya dengan baik,” ujar Theo setuju. Archie tertawa.

“Kau boleh meminjamnya, sementara aku bermain di sana.” Kemudian benda hijau berwujud hewan purba itu berpindah tangan. “Aku pergi dulu, Archie. Sampai nanti, Paman.” Kaiden membungkuk sopan dan segera beranjak setelah Theo mengizinkan.

“Selamat bermain, Kai.”

Di sela ayunan kakinya, Kaiden menyengir sembari melambaikan tangan sebagaimana saat dia menyapa. Kemudian bayang-bayangnya menghilang perlahan seiring langkah kecilnya yang menuruni tangga, menuju area perosotan di mana anak-anak sebayanya sedang bermain dan bercanda.

Pandangan Theo kemudian beralih pada putranya. Mengusap lengan mungil itu dengan segenap kasih sayangnya. Tak jemu menyaksikan gurat bahagia yang terukir di wajah tampan yang serupa dengannya. Theo bersyukur putranya tumbuh sehat dan juga fisik yang cenderung mewarisinya. Meski kadang kala ia berandai, bila saja Archie terlahir lebih beruntung dari ini.

Theo menarik napas panjang. Sisi lain dirinya mencaci lantaran ia yang lagi-lagi mengeluhkan kondisi sang putra. Seharusnya ia bisa lebih bersabar dan belajar menerima apa adanya. Archie memang berbeda. Dan ia sudah berkali-kali meyakinkan diri bahwa Archie akan tumbuh lebih baik suatu hari nanti. Keikhlasan dan doa adalah yang diperlukan saat ini.

Tak berselang lama, Theo tiba-tiba menangkap sesuatu yang janggal terjadi pada putranya. Anak itu bergerak gelisah, demikian bibir yang menggumam tak jelas. Lantas ketika ia menunduk, tahu-tahu ia mendapati alis tipis itu yang berkerut-kerut resah dan kemudian disusul oleh celananya yang berangsur-angsur basah. Theo hanya terkekeh, tak sanggup untuk marah.

“Archie, lain kali kau harus bilang pada Ayah kalau kau ingin wee-wee, mengerti?”

Archie hanya tertawa. Sesekali anak laki-laki itu berseru dengan vokal yang sama. Putra Theo memang belum bisa mengatakan kalimat lain kecuali ‘Em’ dan ‘Ah’.

Theo berdiri. Menggendong putranya seraya mengarungi taman bermain yang dipadati pepohonan rindang nan menyegarkan. Dia memanggil Kaiden yang berada tak jauh darinya. Anak itu tampak menoleh begitu menyadari posisinya yang sudah mencapai anak tangga.

“Kai, Archie harus pulang sekarang. Kau masih ingin bermain atau mau pulang bersama kami?”

Di tempatnya, Kaiden berseru lantang bahwa ia belum puas main perosotan, jadi dia meminta Theo agar meninggalkannya saja. Theo mengangguk, dia percaya Kaiden bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula lokasi taman masih satu wilayah dengan apartemen yang mereka tinggali. Maka dengan tidak merasa cemas, Theo berlalu pergi.

Lantas, begitu keluar dari elevator, ia bergegas menuju unit yang mereka huni selama tujuh tahun belakangan. Beberapa kali Archie merengek ingin diturunkan, bahkan ia menunjukkan wajah menggemaskan pada ayahnya berharap dapat meluluhkan, namun Theo hanya merespons dengan tawa dan tak mengindahkan keinginan sederhana putranya yang ingin berjalan.

Saat kondisi darurat seperti sekarang, mustahil ia membiarkan Archie merangkak di lantai dengan kondisinya yang tak memungkinkan. Archie sejatinya belum mampu berjalan sendiri tanpa pegangan. Anak laki-laki itu akan terjatuh setiap kali melangkah, jadi keputusan untuk tetap menggendongnya adalah yang paling tepat, kendati ia tak tega melihat ekspresinya yang menyedihkan.

Segera Theo pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuh Archie dengan telaten dan hati-hati. Handuk biru terbungkus di tubuh kecilnya, handuk yang kini menjadi favorit Archie sejak ia mulai memahami warna. Tak lupa Theo membalurkan minyak eucalyptus sebelum memakaikannya baju dan celana. Setidaknya pelajaran mengasuh anak yang didapatkannya dari sang istri sangat berguna.

Ya, semenjak istrinya memutuskan untuk membantu mengelola rumah makan keluarga, ia jarang tinggal di rumah, sehingga Theo pun menjadi lebih sering turun tangan mengurus putra mereka. Theo tidak melarang meskipun ia kesulitan menjaga Archie yang sudah mulai aktif melangkah ke sana kemari. Memang ini perkembangan yang bagus untuk Archie. Tapi Theo juga harus pergi ke sekolah hingga petang hari.

Jika dipikir-pikir, istrinya memang butuh pengalihan, atau setidaknya dia sangat memahami wanitanya yang tak pernah bisa diam atau hanya tinggal di rumah. Maka memberinya kebebasan adalah hadiah paling benar dan mewah. Memikirkan istri, membuat kerinduan di hati kian melambung tinggi. Mendesah lelah, setidaknya dia lega telah berhasil merampungkan pekerjaannya.

“Archie, Ayah akan membuatkanmu makan malam. Cukup di sini dan bermain dengan mereka, oke?”

Dia berpamitan pada putranya untuk memasak. Anak itu tak memberi reaksi yang berarti sebab terlalu sibuk dengan mainan yang bercecer di lantai. Theo tersenyum, mengusap kepala putranya, lalu bangun dari posisi duduknya dan berderap meninggalkannya. Sesekali iris gelapnya mengawasi pergerakan Archie dari jarak yang masih dapat dijangkaunya.

Bila dihitung dengan teknik Korea, Archie berusia enam tahun saat ini. Dia anak yang terlahir prematur. Sering keluar masuk rumah sakit sejak ia bayi. Archie memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, dia gampang sakit jika kelelahan sedikit saja. Komplikasi lain kemudian muncul ketika Archie menginjak usia enam bulan.

Saat seharusnya ia sudah bisa duduk, dia hanya berbaring. Saat anak lain belajar berjalan, Archie belum bisa melakukannya. Saat teman-temannya pandai berbicara, Archie masih mengeluarkan suara-suara khas bayi. Dokter memberitahunya bahwa Archie mengidap dispraksia, sebuah gangguan perkembangan yang mempengaruhi motoriknya.

Namun demikian, Archie tetaplah anak yang istimewa. Sebab keistimewaannya, ia pun juga harus diperlakukan lebih istimewa. Berkat kegigihan Theo dan istrinya, kini Archie sudah bisa berjalan meski tertatih dan gerakan yang masih kaku seperti robot mainan miliknya.

Meski begitu, Theo tetap merasa lapang dan bahagia. Di sudut hatinya, ia berharap sebuah keajaiban segera menyambut hangat putra kecilnya. Archie pantas mendapat kebaikan. Dia masih terlalu muda, masa depannya sangat panjang dan perlu diraih.

-:-

Tirai-tirai yang melapisi jendela telah tersingkap sebagian, membebaskan kehangatan matahari pagi menembus hingga ke seluruh ruangan. Esther mengenakan apron merah muda, berkeliaran mengelilingi rumah dengan berbagai kesibukan. Sebagai istri dan ibu, ia terbiasa mengerjakan segalanya sendirian. Meski seringkali sang suami ikut turun tangan.

Bukan hal asing bila melihat suaminya mencuci piring, baju kotor, membersihkan lantai, kamar mandi bahkan hingga memasak untuk mereka. Suaminya adalah tipikal lelaki yang tak peduli gender bila menyangkut pekerjaan rumah tangga. Sebab demi mewujudkan keluarga yang harmonis dan bahagia, maka harus ada kontribusi seimbang di antara mereka.

Esther menyiapkan meja makan, menata aneka ragam masakan tradisional Korea di sana. Bersamaan itu pintu kamar utama terbuka dan menyajikan sesosok pria tinggi berpiama dengan mata yang belum melek sempurna serta rambut hitam mencuat ke mana-mana, demikian makhluk kecil di gendongan yang masih mengantuk dan bersembunyi di bahu kokoh ayahnya.

“Selamat pagi, Archie. Selamat pagi Ayah Archie.”

Senyum teduh menjemput kedatangan dua lelaki tercintanya, yang kemudian lekas disambut oleh rengkuhan hangat dan kecupan mesra sosok bermuka bantal di hadapannya.

“Oppa.” Esther menahan suaminya yang tak henti menciuminya. “Ajaklah Archie ke kamar mandi. Kau perlu berbenah, hari ini murid-muridmu ujian, kan?”

Pria itu mengangguk. Meski dengan wajah yang tercoreng lipatan sarung bantal, ia tetap memesona dan selalu indah menyejukkan mata. Bahkan sosok itu tampak berkali lipat lebih rupawan hanya dengan penampilan sederhana. Esther acapkali tak mampu mengatasi kekagumannya terhadap sang pria.

“Archie. Ayo, bangun, kau juga harus pergi sekolah.”

Esther melirik Archie yang enggan menatap dan justru semakin tenggelam di bahu sang ayah tanpa berniat melepas. Anak itu bak koala yang menempel erat pada induknya dan tak mau terpisah. Hingga si ayah pun tertawa mendapati anaknya yang mulai bertingkah.

“Archie, sudah siang, Nak. Palli ireona (cepat bangun).”

Esther senantiasa menggoda putranya yang enggan mengubah posisinya. Diiringi tawa rendah suaminya, dia tak menyerah terhadap sang putra yang terus-menerus membenamkan wajah tiap kali dia menyentuh punggungnya. Hingga akhirnya anak itu tertawa geli kala dia mengecupi pipinya. Mengerjap-ngerjap memandanginya dengan sisa tawa, Archie memanggil-manggil dengan ceria.

“Ah! Ah!”

“Ppoppo? Kau mau Mama menciummu lagi?” tanyanya yang langsung dijawab antusiasme putranya.

Ciuman gemasnya serta merta mendarat hingga membuat sang anak tergelak. Seraya menjulurkan tangan meminta gendong padanya, anak itu memandang penuh damba. Namun, sayangnya, sang ayah lebih cepat bereaksi dan mencoba untuk menghalangi.

Bukan maksudnya kejam terhadap Archie yang kini merengek menginginkan pelukan sang istri. Archie sekarang sudah cukup besar dan berat badannya semakin bertambah. Tak mungkin dirinya tega membiarkan Esther memikul beban sedangkan akhir-akhir ini ia mudah tumbang.

"Andwae, andwae (Tidak, tidak). Archie, hajima. Hajimalago (Jangan lakukan itu)."

"Oppa, gwaenchana (Tidak apa-apa)."

Esther menenangkan suaminya, merasa iba melihat sang putra yang menangis kencang akibat dilarang berpindah gendongan. Kendati ia tak mempermasalahkannya, tapi pria itu sangat keras kepala.

"Aku akan memandikannya. Jangan khawatir. Aku bisa mengurus anak kita," ujar pria itu seraya berlalu.

Takada pilihan lain, Theo segera membawa pergi Archie dari jangkauan istrinya. Hari ini dia bertugas menjadi panitia, karenanya pula ia harus berangkat lebih pagi sebelum murid-muridnya tiba. Pun dia perlu mengantar putranya ke sekolah khusus seperti biasa. Benar-benar takada waktu untuk bersantai ria. Meskipun mendung masih menyelimuti wajah sang putra, pada akhirnya Archie berhenti rewel dan menuruti kata-katanya.

-:-

Kesibukan di luar rumah acapkali sukar dicegah. Theo terbiasa menghabiskan sebagian waktunya di sekolah. Kadang-kadang ia juga dibebani menjaga murid-murid yang mengikuti ekstrakurikuler musik sampai larut. Bila ia mendapat lebih banyak durasi di rumah, maka itu adalah jackpot. Tak tanggung, ia memanfaatkan kesempatan dengan bermalas-malasan, bermain dengan putranya, atau menggoda istrinya.

Lengkung bibirnya tak luntur kala mengamati wajah ayu sang istri. Dengan berbaring di pangkuannya, Theo dapat leluasa melihat keindahan yang tak manusiawi. Titik ternyaman baginya adalah ketika jarak tak lagi menjadi penghalang untuk mereka dan ia bisa membaui aroma istrinya berlama-lama. Kendati tatapan itu tertuju pada layar televisi, namun setidaknya Theo masih mendapatkan satu hal yang ia syukuri.

Putranya tertidur setelah lelah dengan terapi. Sesuai jadwal yang tertera, siang tadi Archie mengikuti terapi wicara. Perkembangan putranya memang meningkat setiap harinya. Ia tak perlu lagi dijaga saat berjalan, tetapi hingga detik ini Archie belum mampu berbicara. Meski begitu, Archie tetap bersemangat lantaran sudah bisa melangkah tanpa pegangan. Bahkan sepanjang hari anak itu terus berlarian mengitari taman.

Theo kadang merasa waspada, tapi seorang terapis berkata bahwa ia harus menanamkan kepercayaan yang kuat terhadap putranya. Bila Archie tak diberi kebebasan, maka perkembangannya pun akan terhambat. Orang tua cukup mendampingi, mengajari dan mengawasi secukupnya. Sebab bagaimana pun, Archie tetap butuh privasi. Ia juga harus melatih dirinya untuk menjadi lebih berani.

Perhatian Theo kemudian teralih pada sang istri. Sudah dua jam mereka hanya berduaan di ruang televisi. Esther tak pernah mau ketinggalan drama favoritnya. Meski sejujurnya ia terpaksa, Theo harus tetap rela berbagi dengan mereka yang memenuhi layar kaca. Dan ketika tiba-tiba wanita itu berbalik menatapnya, anehnya ia merasa bahagia.

“Oppa, tadi ....”

“Ya, Sayang?” Theo penasaran karena Esther menggantung kalimatnya.

Wanita itu tampak bimbang dan justru mengalihkan pandang pada si aktor tampan. Theo seketika berubah masam dengan hati yang dilanda kecemburuan.

“Um, kau ... tadi kau mengunjungi keluargamu—”

“Keluargaku keluargamu juga, Sayang,” sahut Theo cepat, meralat kalimat istrinya menjadi lebih tepat.

Esther mendadak kikuk melihat wajah Theo yang ditekuk.

“Maaf,” cicitnya takut-takut.

Mengembuskan napas, Theo gegas bangkit dan perlahan membimbing istrinya untuk menghadap padanya. Memperhatikan wajah tertunduk itu saksama dengan kedua tangan yang meremat pundaknya.

“Kita sepakat untuk berjuang bersama. Jangan merasa terasingkan seperti itu. Katakan apa yang ingin kau katakan, aku akan mendengarmu.”

Esther masih enggan menatap, namun lirih dia berucap, “Apa ... apa terjadi sesuatu di sana?”

Theo tersenyum tipis mendengarnya, seolah ia telah memahami kekhawatiran istrinya. “Tidak ada. Tidak ada apa pun yang perlu dikhawatirkan. Semua baik-baik saja,” jawabnya berusaha bersikap biasa. “Ibu merindukanku, itu saja.”

Walau nyatanya Esther tak bisa percaya sepenuhnya. Bisa saja Theo mengatakan yang sejujurnya, tapi mungkin dia juga menyembunyikan sesuatu yang lainnya. Dan memang demikian adanya. Ada sesuatu yang Theo tak mampu katakan sebab bisa mengundang kehancuran.

Sejatinya ada hal yang perlu dan memang tak perlu untuk diceritakan. Sebagaimana nenek yang lagi-lagi mengenalkannya pada gadis pilihan, sungguh tak patut untuk dibicarakan, apalagi dengan istri yang dirinya tak sanggup kehilangan. Theo tak bisa melukai perasaan wanita yang dicintainya.

“Oh.”

Meski terdengar lega, ada sebagian diri Esther yang belum puas akan penjelasan suaminya. Esther tak memungkiri kebencian keluarga Theo terhadapnya. Bila mereka mengundang Theo seorang diri untuk pulang ke rumah, maka ada sesuatu yang sedang direncanakan di belakangnya.

Kadang ia tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Namun bila mengenang kejadian lalu ketika dengan terang-terangan dirinya diminta untuk meninggalkan, ia makin kesulitan mengendalikan pikirannya yang melanglang. Seharusnya ia menyadari bahwa pernikahnnya memang tak direstui sejak awal.

“Sayang,” tegur pria itu, mengusap pipinya yang tampak bersemu. Sekejap itu pula ia terbangun dari lamunannya.

“Hm?” balasnya menaikkan pandang hingga mata mereka saling berbenturan. Sesaat ia terpukau akan paras rupawan yang merangkai senyuman.

“Archie sudah tidur.”

Menaikkan dua alisnya bersamaan, Esther merasa tidak paham. “Y-ya ... ya, aku tahu”

Theo menggaruk rahang. Kebingungan mencari kata untuk menyampaikan keinginan terpendam.

“Lihat aku, Esther.”

Mengedipkan matanya, Esther semakin tak mengerti apa yang hendak Theo maksudkan. Bukankah sedari tadi mata mereka saling berpandangan?

“Ya. Aku sudah melihatmu,” jawabnya terdengar begitu polos. Theo sampai tak mampu mencegah senyumnya yang terekspos.

“Tidak, bukan seperti itu, Sayang. Ayolah, kau tahu maksudku.”

“Apa—”

Ucapan Esther terputus saat tahu-tahu Theo mengecup bibirnya. Tangan pria itu pun tak luput meraba sofa, meraih remote dan langsung menekan tombol power hingga tak ada lagi suara yang mengganggunya.

“Theodore Park.” Ia merengut, merajuk pada suaminya yang justru kembali merebut bibirnya.

“Neomu bogosipeo, Chagiya." (Aku sangat merindukanmu, Sayang)

Esther tiba-tiba merasa sedih oleh ucapan suaminya. "Benarkah kau rindu padaku, Theo? Mana yang lebih membuatmu rindu? Aku atau Esther?" tukasnya berkerut alis.

Masih memandanginya, pria itu meraba pipi hingga tengkuk, lalu menangkupnya sembari mata menyorot intens padanya. Theo kian menipiskan jarak antara mereka dan seolah pria itu hendak melahapnya, namun dia salah sangka sebab pendaratannya justru mampir di telinga. Seketika kulit wajahnya membentuk gradasi warna kala pria itu berbisik di sana.

"I miss my wife when she screams my name."

Menggigit bibirnya, Esther menghindari tatapan suaminya kala gugup merajai hatinya. Dia suka Theo menggodanya, tapi bukan hal demikian yang diharapkannya. "Theo, apa kau sudah jujur pada dirimu sendiri? Apa kau yakin kau tidak berbohong padaku?"

Tanya yang terlontarkan tak ayal membuat Theo mengernyit dahi, demikian kepala yang bergerak mundur dengan pandangan tertuju pada sang istri. Yang dia sadari tubuh Esther berubah tegang dan seakan menolak sentuhan.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa aku terlihat sedang berbohong?"

Mengangguk lirih, Esther tersenyum sendu pada suaminya. "Kau tidak akan bilang rindu padaku karena kau selalu bilang mencintaiku. Kau hanya sedang mendistraksiku, kau hanya ingin menghiburku agar aku melupakan kekhawatiranku. Kau tidak ingin aku tahu, Theo?"

Seolah tertangkap basah telah berbuat jahat, Theo bahkan tak bisa membalas istrinya sebab bibirnya pun terkunci rapat. Dia salah perhitungan bila mengira Esther akan berhenti membahas. Istrinya adalah orang yang paling mengerti dirinya, maka bukan tidak mungkin jika ia tak bisa berbohong sedikit pun di hadapannya.

"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak ingin berbohong padamu. Aku hanya mencintaimu, dan aku tidak ingin mengatakan apa-apa selain itu. Tolong, maafkan aku."

Esther tak menjawab dan hanya terdiam dengan senyum sendu yang belum hilang. Menyaksikan istrinya yang enggan merespons, Theo segera meraihnya, merengkuh tubuhnya dan memeluknya hangat dan juga erat.

Theo, aku juga mencintaimu, tapi jika cinta kita tak bisa bersatu, apa aku masih bisa bersamamu?

.

.

.

To be continued.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!