Chapter 3

Ketika terpaan angin menembus pori-pori, Esther merapatkan mantel yang membungkus tubuhnya dan Archie. Bagusnya anak itu tidak rewel saat bangun tidur dan tak mendapati wajah sang ayah di sisi. Archie terbiasa dengan keberadaan Theo di sekitarnya, pun ia tak bisa tidur malam bila tak berada di pelukan ayahnya. Mereka dekat satu sama lain, seolah tak bisa hidup tanpa salah satunya. Ikatan mereka terlalu kuat dan takada seorang pun yang dapat memisahkan keduanya.

Hujan telah mereda, Esther dan putranya dalam perjalanan pulang menuju apartemen mereka. Dia duduk di belakang, membiarkan sepupu laki-lakinya menyetir di depan. Kebetulan laki-laki itu datang dan menawarkan bantuan. Ayahnya juga memaksanya untuk diantarkan oleh anak bibinya. Walaupun ia sempat cemas saat mendengar kakeknya masuk rumah sakit, namun ia juga merasa lega begitu melihat ayahnya yang lekas bangkit.

Esther tidak tahu hubungan keduanya saat ini seperti apa. Setahunya, kakek telah berulang kali minta maaf pada ayah dan menyesali perbuatannya, namun ia juga memahami betapa keras hati ayahnya. Mungkin sulit bagi ayah untuk membangun lagi hubungan yang telah porak-poranda. Meski di sisi lain ia juga tak tega mendengar kakek yang selalu bertanya kabar ayah sambil berderai air mata.

Skuter yang ditumpanginya telah berhenti di depan toko bakery. Esther merasa perutnya sering kembung belakangan ini. Maka, menggandeng Archie di sisi, ia segera memasuki toko yang hari ini tampak begitu sepi. Aroma kayu manis sepertinya cocok untuk meredakan ketidaknyamanan yang mendera sejak tadi. Cinnamon roll kiranya pilihan yang tepat untuknya saat ini.

Menggenggam tangan Archie, Esther mengajak putranya mengelilingi rak-rak tanpa kaca berisi roti yang tertata rapi. Di kala ia mengambil nampan dan alat pencapit, Archie tampak bersemangat dan berlari menuju rak yang sejak awal mencuri atensi. Tangan mungil itu menunjuk roti persegi bertabur sosis dan keju dengan mata yang memandang dirinya lucu. Esther tersenyum, menghampiri sang putra dan merendahkan tubuhnya.

“Archie, apa kau tahu roti itu bernama roti pizza?”

Laki-laki kecil itu mengerjap. Esther memandangi wajah putranya yang berbinar bahagia. Archie seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi ia tak mengatakan apa-apa dan terus mengarahkan telunjuknya pada objek yang tak terjangkau tangannya.

“Baiklah. Jadi kau menginginkan roti pizza? Apa kau akan menyukainya?”

Saat Archie merespons dengan anggukan kepala, Esther merasa takjub dan hampir tak percaya. Terlebih ketika anak itu terus berceloteh dengan bahasa Korea yang meski pelafalannya tak sempurna namun masih mampu dimengertinya. Esther berdebar menyaksikan perkembangan luar biasa putranya. Theo harus tahu, suaminya pasti senang mendengar kabar tentang putra mereka.

Esther segera mengambilkan roti yang diinginkan Archie dan meletakkannya di atas nampan. Archie tampak gembira, kakinya melompat-lompat di lantai sambil bertepuk tangan. Esther terharu melihatnya. Setetes air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. Namun dengan cepat ia menghapusnya, lalu memeluk Archie dan membisikinya, “Mama bangga sekali padamu. Terima kasih, Sayang. Archie sudah berusaha keras selama ini. Terima kasih.”

Esther menangkup sepasang pipi gembul di hadapannya, merangkum detail wajah itu dengan sorot lega dan bahagia. Sesaat kemudian, ia melabuhkan kecupan sayangnya di kening sang putra. Barangkali ia akan tetap pada posisinya bila tak mengingat Johnny yang menunggu di luar sana.

Melepas pelukan, Esther meminta Archie agar tak berlarian sementara ia membayar belanjaan. Namun baru menoleh sebentar untuk mengambil kartu pembayaran, Archie tiba-tiba menghilang dari pandangan. Esther buru-buru melempar atensi ke titik terakhir ia melihat Archie. Detak jantungnya bereskalasi. Archie tidak ada. Putranya benar-benar tidak ada.

Dengan hati kalut, kakinya berderap mengelilingi toko, mencari keberadaan sang putra yang terlepas dari pengawasan. Pikirannya mengeruh seiring tak ditemukannya sosok kecil bermantel hitam. Telapak tangannya pun dingin dan gemetaran. Dia panik, meletakkan nampan sembarangan. Berlari keluar toko seperti orang tidak waras, Esther celingukan mengais siluet putranya di jalanan yang luas.

Debar jantungnya mengeras, bahkan ia sulit untuk bernapas. Lalu, datang waktu ketika ia benar-benar tak sanggup lagi untuk berdiri, kala gemetar hebat menguasai. Adalah detik di mana rungunya menangkap teriakan sang sepupu di tengah-tengah jalan raya, memanggil nama putranya seperti orang gila, memeluk sosok kecil yang berlumuran darah di pangkuannya. Lalu lalang terhenti, orang-orang berkerumun mengelilingi, dan suara-suara panik menjadi pemandangan yang cukup mencekam saat ini.

Esther hilang pijakan, tubuhnya lemas dan air mata mengalir tanpa suara. Tak ada satu pun yang mampu didengarnya, segalanya berubah menjadi dengungan panjang di telinga. Menekan kuat dadanya, ia terjatuh di depan Johnny yang memangku putranya. Pemuda itu terus memanggilnya, namun ia tuli, tak mampu mendengar apa-apa kecuali deru napas putranya dan jantung yang seperti tak berirama.

“Archie, Archie, Archie ....”

Tangisnya tak terbendung, Esther memeluk erat putranya dengan hati yang hancur. Detik ini, ia kehilangan separuh jiwanya.

-:-

Mercedes Benz platinum yang Theo kendarai baru saja meninggalkan Sinsa-dong dengan kecepatan sedang. Seharusnya sore ini dia pulang pukul lima seperti biasa. Bila saja ia tak mendapat kabar dari rumah perihal kondisi kesehatan nenek yang menurun akibat sakit punggungnya kambuh, mungkin ia sudah tiba di apartemen dan bertemu keluarga kecil yang dia rindukan.

Namun nahas, ia justru terkelabui begitu melihat nenek yang bisa berjalan bahkan sangat sehat. Neneknya memang selalu punya cara sampai tega menggunakan sakit sebagai alasan. Padahal tidak perlu berbohong pun bila sosok itu merindukannya pasti dia pulang. Sayangnya, nenek selalu menyalahkan Esther dan menuduh sudah menghasutnya hingga ia tak kunjung datang.

“Mana ada wanita baik-baik yang membiarkan seorang anak, seorang cucu meninggalkan keluarganya?”

“Kau tidak akan tahu, kalau-kalau di masa depan dia menunjukkan sifat aslinya dan memanfaatkan kebaikanmu. Theo, orang-orang seperti itu sangat mudah dibaca.”

Bila saja nenek mampu menjaga lisannya, barangkali ia takkan malas untuk sekadar mampir ke rumah orang tuanya. Selain itu, nenek juga seringkali menjodoh-jodohkannya dengan perempuan yang katanya sepadan dan dari keluarga terpandang. Theo yang mendengarnya merasa tersinggung dan marah. Sebab secara tak langsung, nenek telah menghina dan merendahkan istrinya.

Esther memang bukan dari keluarga yang bergelimang harta, ia hanya seorang wanita sederhana dan bukan pula putri seorang raja. Namun Esther memiliki sesuatu yang tak dimiliki wanita lain di luar sana. Cinta. Dan Theo tak bisa mencintai selain istrinya.

Namun, nenek tak sekalipun menyerah dan bahkan berani mempertemukannya dengan teman lama. Pada awalnya ia bingung bagaimana bisa nenek mengenal perempuan yang tak pernah ia perkenalkan pada keluarganya? Usut punya usut, ternyata perempuan itu bekerja di tempat yang sama dengan ayahnya.

Dia punya prestasi yang bagus di bidangnya. Karena unggul dari rekan-rekannya, perempuan itu menjadi lebih dikenal dan sempat diundang makan malam di kediaman keluarga Park sebagai tamu istimewa. Maka tak heran bila nenek bersikeras menanyakan hubungan mereka, kendatipun ia jengkel karena nenek terlalu mencampuri urusannya dan mengatur seluruh hidupnya.

Terlebih sosok itu pula yang telah merencanakan pertemuannya dengan sang perempuan di kafe dua hari lalu. Dia sungkan untuk menolak datang sementara perempuan itu sudah menunggu. Pada akhirnya ia melancarkan basa-basi sebagai teman lama yang baru bertemu setelah sekian tahun tak berjumpa. Hanya sebatas itu, dan nenek berpikir jauh tentangnya yang mungkin telah menjalin asmara.

Salahnya juga yang bersikap tak tegas dan mudah tertipu oleh nenek yang penuh muslihat. Selaras dengan rasa kesal di hatinya, ponselnya tiba-tiba bersuara. Dia segera menepikan mobil ke bahu jalan begitu membaca nama istrinya yang tertera. Esther seperti aspirin yang mampu meredakan sakit kepala dan menerbitkan senyum kecil di bibirnya.

“Yeobo (Sayang)?” sapanya setelah memasang handsfree di telinga kanan.

“Hyeong (Kak) ....”

Alis Theo terangkat sebelah mendengar bukan suara istrinya yang menyambut.

“Halo? Siapa?”

“Hyeong, aku Johnny, sepupu Noona.”

Theo mengernyitkan keningnya. Mencoba mengingat nama Johnny yang tidak asing di pendengarnya.

“Kenapa kau memakai ponsel istriku?”

“Aku minta maaf soal itu, tapi keadaan Noona sedang tidak baik-baik saja, jadi aku yang harus menghubungimu.”

Theo menyalakan mesin mobil, kembali menyetir mobilnya ke jalan raya. “Apa yang terjadi padanya? Istriku kenapa?” cecarnya dengan suara cemas. Sekelebat pandangannya terlempar pada luar jendela, menemukan mobil polisi yang terparkir di dekat telepon umum. Beberapa orang dan para petugas kepolisian tampak bergerombol menyesaki jalan di sekitar Apgujeong. Segelintir perasaan tidak nyaman tiba-tiba meliputi hatinya.

“Archie, Archie mengalami kecelakaan. Dia kritis.”

Kakinya menginjak pedal rem dengan mendadak. Dadanya seperti dipukuli benda berat yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak dan dunianya tiba-tiba menggelap.

“Jelaskan padaku!” bentaknya dengan amarah. Gemuruh hebat yang melanda membuatnya tak memedulikan pengemudi lain yang memaki keras dirinya, atau bahkan melayangkan kata-kata kotor untuknya lantaran mendadak berhenti di tengah jalan dan mengganggu lalu-lintas.

“Archie terlepas dari pengawasan Noona. Kami tidak menyadari dia sudah berlari ke tengah jalan saat mobil sedang melintas. Dan...”

Tangannya yang masih menggenggam setir kemudi, bergetar. Untuk sesaat dia merasa linglung, kacau dan tak tahu harus bagaimana. Theo bukan hanya lupa kapan terakhir kali tersenyum bahagia, dia juga lupa kapan terakhir kali merasakan jiwanya terlepas dari raga lantaran tenggelam dalam duka. Air matanya bahkan menetes hingga tanpa sadar menimbulkan sesak di dada.

“Hyeong? Cepatlah kemari, Noona sedang membutuhkanmu.”

Theo memejam, menahan semua rasa yang kini berkecamuk di dada. Dengan serak, dia bertanya, “Di mana? Mereka ada di mana sekarang?”

“Rumah sakit keluargamu.”

Telepon ditutup. Theo menengadahkan kepala menghadap langit senja. Warna jingga mengingatkannya pada senyum Archie saat mereka menyaksikan matahari terbenam di atas bukit. Wajah bahagia itu masih terekam jelas di memorinya. Suara Archie yang berusaha memanggilnya Ayah masih terdengar jernih di telinganya. Mengusap kasar wajahnya, Theo merasa dunianya terhenti detik ini juga.

“Archie, Ya Tuhan.”

@#$%^&

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!