Bab 5. Alergi Kacang

"Kamu sudah membaik?" tanya Ryan membuat Aluna yang berusaha mengalihkan pandangannya dari Ryan. Pada akhirnya menatap pria yang berhasil membuat jantungnya berdebar kencang.

Aluna menganggukkan kepalanya. "Iya, aku sudah membaik."

Ryan tersenyum. Perasaannya lega ketika mendengar bahwa wanita yang selalu ia khawatirkan sejak Ryan tidak sengaja menabraknya baik-baik saja.

"Maaf, karena aku kamu harus masuk rumah sakit," ucap Ryan membuat Aluna kembali melihat ke arah Ryan sambil membenarkan rambutnya.

"Aku tidak pernah menyalahkan kamu. Jadi berhentilah meminta maaf. Harusnya aku yang berterima kasih karena kamu sudah mengizinkan aku untuk tinggal di rumah ini," balas Aluna yang memang tidak pernah menyalahkan Ryan dalam insiden yang membuat Aluna masuk ke rumah sakit sampai mengalami koma selama tiga hari.

"Aku senang kamu tinggal di rumah ini," balas Ryan dengan suara lirih hampir tidak terdengar, tetapi Aluna dapat mendengarnya dengan jelas. Ia bahkan tersenyum ke arah Aluna, membuat Aluna kembali terdiam mematung. Aluna tidak tahu harus berekspresi seperti apa.

Deg!

Jantung Aluna kembali berdetak tidak karuan setelah mendengar perkataan Ryan barusan. Senyuman itu benar-benar membuat Aluna tidak bisa berkata-kata. Aluna tidak menyangka jika Ryan baru saja tersenyum untuknya. Selama beberapa detik, mereka berdua hanya saling terdiam satu sama lain.

Waktu terasa berhenti diantara mereka berdua. Tatapan Ryan kepadanya, mengingatkan Aluna ke masa lalu mereka. Kedua netra Ryan selalu berhasil meneduhkan hati Aluna ketika ia menatapnya. Tatapannya masih sama seperti dulu, membuat Aluna tidak bisa berpaling dari tatapan Ryan yang benar-benar mematikan hatinya. Memang, dari sejak dulu Aluna sangat menyukai tatapan mata dari Ryan. Tatapan mata pria itu selalu berhasil membuat detakan jantung Aluna berdebar-debar dan detik ini pun semuanya masih terasa sama. Padahal sudah bertahun-tahun mereka tidak pernah bertemu, tapi tatapan Ryan masih sama seperti dulu.

"Aluna." Teriakan suara Raya mengejutkan mereka berdua.

Ryan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain dan beringsut mundur sedikit menjauh dari Aluna dan Aluna langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Kalian ngapain pada bengong di sana? Kalian nggak sadar kalau masakannya gosong?" teriak Raya yang berlari ke arah mereka sambil mematikan kompor. "Kalian kenapa, sih?"

Raya menatap Aluna dan Ryan secara bergantian dengan kening yang berkerut. Ia tidak menyangka jika mereka berdua saling terdiam dan tidak menyadari kalau masakannya gosong.

"Ah, nggak. Maafin aku Raya. Kayaknya tadi aku ngelamun sebentar sampai lupa kalau masakannya gosong." Aluna tampak menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan.

Ryan ternyata mampu mengalihkan dunianya sampai ia lupa bahwa Aluna sedang memasak. Ryan pun sama saja ia sampai tidak sadar dan tidak mencium bau gosong makanan di depannya.

Raya hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap Aluna dan Ryan. "Sebaiknya kalian berdua berkenalan lebih dekat lagi biar kalian nggak canggung kayak gini."

Aluna dan Ryan hanya menatap satu sama lain ketika Raya memintanya untuk berkenalan lebih dekat lagi. Detik berikutnya, mereka berdua saling mengalihkan pandangannya ke arah lain. Justru mereka berdua canggung ketika ada Raya di antara mereka. Disaat Aluna dan Ryan berduaan saja tidak ada rasa canggung apa pun dan semuanya baik-baik saja.

"Maaf, ya, Raya. Terus gimana dong itu masakannya? Gosong gitu kayaknya nggak ada yang bisa diselamatkan," tanya Aluna seraya menatap makanan yang kini sudah berubah menjadi warna hitam karena terlalu lama dimasak.

"Beruntung hari ini Ryan lagi libur kerja. Kalau pas lagi kerja gimana?" gerutu Raya lagi yang masih kesal karena ulah Aluna.

"Sudahlah, sayang. Aluna juga kan nggak sengaja," ucap Ryan mencoba untuk membujuk Raya agar tidak marah.

"Tapi ini makanan kesukaan kamu," timpal Raya sambil mendengus kesal.

Tadinya Raya begitu bersemangat karena memasak makanan kesukaan suaminya. Namun, semua itu gagal karena ulah Aluna yang membuat masakannya gosong.

"Raya, maafin aku," ucap Aluna yang merasa bersalah karena ulahnya yang ceroboh membuat Raya marah padanya.

"Kamu nggak perlu minta maaf, Aluna. Semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur," ucap Raya sambil menghela napasnya panjang. Kini ia merasa bersalah karena sudah kesal kepada Aluna. Padahal Aluna pun tidak sengaja melakukan kesalahan itu.

"Bagaimana kalau kita makan diluar saja?" ajak Ryan yang mencairkan suasana agar Raya berhenti marah.

Raya menganggukkan kepalanya sambil menoleh ke arah Ryan dengan penuh semangat. "Sudah lama juga kita nggak makan diluar."

"Kalau gitu kita makan diluar saja," lanjut Raya sambil memeluk lengan Ryan.

Suaminya itu paling bisa membuat mood Raya kembali membaik. Ia selalu bisa membuat Raya bersikap biasa lagi dengan ajakan-ajakan yang sederhana.

"Kalau begitu, kamu siap-siap. Kita kan makan diluar," titah Ryan yang kemudian menoleh ke arah Aluna. "Kamu juga, ya, Aluna."

Aluna menggelengkan kepalanya pelan. "Aku di rumah saja," ucap Aluna yang menolak dan enggan untuk pergi bersama mereka berdua.

Raya langsung berdiri tegak sambil menatap Aluna dengan alis yang terangkat sebelah. "Kamu nggak mau ikut? Kita makan diluar saja. Kalau masak lagi males."

"Nggak apa-apa, aku di rumah saja. Aku nggak mau ganggu kalian berdua kalau aku ikut," ucap Aluna yang merasa tidak enak harus ikut makan diluar bersama dengan Raya dan Ryan.

"Raya jangan gitu, dong! Ikut saja, nggak apa-apa, kok. Kamu nggak ganggu kami," pinta Raya yang membujuk Aluna untuk ikut bersama mereka.

Selama beberapa saat, Aluna terdiam. Ia tampak berpikir antara harus ikut atau tidak. Tentu saja sebenarnya, Aluna tidak ingin melihat kemesraan diantara mereka berdua. Jika Aluna ikut, ia akan melihat semua itu, tapi ia juga merasa tidak tega jika menolak ajakan Raya. Demi sahabatnya Aluna harus bisa membuang perasaan sesak di dalam dadanya jauh-jauh. Lagi pula, Aluna sedang dalam masa melupakan Ryan. Ia harus membuktikan kepada dirinya sendiri jika di hatinya sudah tidak ada Ryan lagi. Ia harus membuktikan itu semua kepada dirinya sendiri.

"Ya, sudah kalau gitu." Akhirnya, Aluna memutuskan untuk ikut bersama mereka.

***

Mereka sudah sampai di sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari rumah. Raya memilih duduk di salah satu kursi yang dekat dengan jendela cukup besar. Ia bisa melihat pemandangan pinggir jalan dari sana. Ryan duduk di samping Raya. Sementara Aluna, ia duduk berhadapan dengan Raya. Mereka memesan makanan yang ada di menu. Tidak buruk waktu lama, makanan yang mereka pesan pun sudah datang dan disimpan di atas meja.

Aluna terdiam sambil menatap makanan itu. Sudah lama sekali Aluna tidak makan-makanan restoran. Sebelum neneknya meninggal, Aluna ingin sekali membawa neneknya untuk makan di restoran yang ingin mereka berdua kunjungi. Namun, uang Aluna selalu tidak cukup. Untuk biaya sehari-hari saja mereka cukup kesulitan. Sampai neneknya meninggal pun, keinginannya untuk makan di restoran bersama sang nenek tidak pernah tercapai.

Tiba-tiba saja air mata Aluna mengalir begitu saja. Ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya ketika Aluna meningkat neneknya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mewujudkan keinginan neneknya itu.

"Aluna, kamu kenapa?" tanya Ryan yang sadar jika Aluna tiba-tiba menangis.

Raya yang sedang memegang ponselnya langsung menoleh ke arah Aluna. Ia menyimpan ponsel di atas meja dan menatap Aluna dengan tatapan khawatir.

"Kamu nangis? Kenapa?" Kini Raya yang bertanya.

Aluna menggelengkan kepalanya pelan sambil menyeka air mata agar berhenti menangis. "Tiba-tiba saja aku teringat nenekku. Maaf, ya, aku malah nangis gini."

"Kalau kamu sedih, tidak apa-apa kamu menangis. Daripada kamu menahan rasa sakit di dadamu," ucap Raya yang ikut sedih.

"Nenek sangat ingin makan di restoran, tapi saat itu keuanganku sedang tidak baik. Akhirnya, keinginan nenek tidak pernah terwujud," timpal Aluna sambil menundukkan kepalanya karena tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang sedih.

"Aku mengerti," balas Raya sambil memegang tangan Aluna dan mencoba menenangkannya.

"Maaf, Raya. Aku … merindukan nenekku," ucap Aluna yang kembali menghapus air matanya. Aluna mencoba menahan air mata itu agar tidak turun membasahi wajahnya, tapi ia tidak bisa melakukannya.

Raya dan Ryan membiarkan Aluna menangis untuk mengeluarkan semua rasa sedihnya. Setelah Aluna sudah tenang, mereka pun mulai memakan makanan yang mereka pesan. Aluna memakannya secara perlahan sambil sesekali melihat ke arah Ryan dan juga Raya yang duduk di depannya.

"Sayang, cobain deh makanan ini. Enak banget," ucap Raya sambil mengambil satu sendok makanan miliknya, membuat Aluna melihat ke arah makanan yang dipesan oleh Raya.

Memang, mereka bertiga memesan makanan yang berbeda. Hingga Aluna melihat jika di makanan itu ada kacang. Aluna tahu betul jika Ryan alergi kacang.

"Jangan!" ucap Aluna dengan suara yang cukup tegas, membuat mulut Ryan yang sudah menganga untuk melahap makanan yang akan disuapi oleh Raya langsung menutup kembali dan menoleh bersamaan dengan Raya ke arah Aluna.

"Makanan itu ada kacangnya," lanjut Aluna membuat Raya langsung menoleh ke arah sendok dan langsung menjatuhkan makanannya ke atas piring.

Kemudian, Raya bisa melihat jika memang ada kacang di makanan itu.

"Kenapa memangnya dengan kacang?" tanya Raya sambil mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu kalau Ryan alergi kacang.

"Aku alergi kacang," ucap Ryan sambil melihat ke arah Aluna.

Ryan tidak menyangka jika Aluna masih mengingat makanan yang membuat Ryan selalu alergi.

"Apa?" pekik Raya sambil menoleh ke arah Ryan secara perlahan. Detik berikutnya, ia menoleh ke arah Aluna. "Kenapa … kamu bisa tahu kalau Ryan alergi kacang?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!