Raya mengikuti arah pandang Aluna. Kemudian, ia tersenyum. "Suamiku tidak mempermasalahkannya. Dia mengizinkanmu tinggal."
"Benarkah?" tanya Aluna sambil memandang Ryan yang juga sedang menatapnya.
"Iya, benar," balas Raya membuat Aluna kembali menoleh ke arah Raya.
"Terima kasih, Raya. Aku tidak bisa membalas kebaikanmu ini," ucap Aluna.
"Kamu tidak perlu membalasnya, aku yang justru harus membalas semua kebaikan kamu sana nenek kamu waktu dulu aku masih sekolah," balas Raya sambil memeluk Aluna.
Aluna membalas pelukan Raya. Kemudian, pandangannya kembali beralih ke arah Ryan. Terlihat Ryan menyunggingkan senyumannya ketika Aluna menatapnya.
Deg!
Jantung Aluna kembali berdebar tidak karuan. Ia menelan salivanya dengan susah payah.
"Ryan, tersenyum padaku?" tanya Aluna di dalam batinnya.
***
Aluna sudah diperbolehkan pulang karena ia sudah mulai pulih. Ia turun dari mobil setelah Ryan menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah dua tingkat. Aluna terdiam selama beberapa saat seraya menatap rumah itu. Rumah di depannya itu terlihat begitu elegan meski terlihat dari luar. Sebelumnya, Aluna belum pernah menginjakkan kakinya di dalam rumah itu. Ia bahkan baru tahu jika Raya tinggal di sana.
"Selamat datang di rumahku!" Raya berseru sambil membuka pintunya lebar-lebar agar Aluna bisa masuk ke dalam rumah.
Aluna melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu. Ia menyusuri seluruh ruangan. Rumah itu terlihat begitu rapi. Cat berwarna abu-abu yang dipadukan dengan cat berwarna putih benar-benar terlihat kesan elegan. Aluna sampai tersenyum karena sepertinya rumah yang akan ia tinggali akan terasa nyaman.
"Semua dekorasi ini adalah idenya Ryan," ucap Raya membuat Aluna yang sedang melihat-lihat langsung menoleh ke arahnya.
"Tampak terlihat begitu rapi," timpal Aluna membuat Ryan yang baru saja datang langsung tersenyum setelah mendengar pujian dari Aluna.
"Aku akan menyimpan tas punyamu di kamarmu," ucap Ryan seraya berjalan sambil membawa tas milik Aluna.
"Ah, iya. Benar juga, kamu harus melihat kamarmu. Kami sudah menyiapkan kamar itu sebelum kamu pulang," ucap Raya sambil menarik tangan Aluna dan membawanya ke sebuah ruangan dimana itu adalah kamar Aluna. "Sebelumnya, ini adalah kamar untuk tamu. Kemarin kami membereskannya dulu agar kamu nyaman tidur di sini."
Aluna masuk ke dalam kamar itu. Ia kembali tersenyum ketika melihat kamarnya yang terlihat begitu rapi dan memang begitu nyaman untuk ditinggali. Ia menoleh ke arah Raya sambil tersenyum.
"Raya, makasih, ya," ucap Aluna yang tidak bisa berkata-kata lagi. "Kamu emang sahabat terbaikku."
Aluna memeluk Raya yang dibalas pelukan erat oleh Raya.
"Aku senang karena kita akan bertemu setiap hari. Aku tidak akan kesepian lagi di rumah kalau Mas Ryan lagi nggak ada di rumah," ucap Raya membuat Aluna hanya tersenyum tanpa menjawab perkataannya.
"Sayang, bagaimana kalau kita keluar saja dan biarkan Aluna untuk beristirahat. Dokter bilang kan Aluna harus banyak istirahat dulu dan jangan banyak aktivitas," ucap Ryan secara tiba-tiba membuat Raya melepaskan pelukan Aluna.
"Iya, kamu benar." Raya membenarkan perkataan Ryan. "Aluna, kalau begitu kamu istirahat dulu aja, ya. Pokoknya kamu anggap rumah ini punya kamu sendiri. Jangan malu-malu, kalau buruh apa-apa kamu bisa langsung bicara ke aku, ya."
Aluna hanya menganggukkan kepalanya. "Iya, makasih, ya, Raya."
Kemudian, Rata dan Ryan keluar dari kamar Aluna. Tidak lupa Raya menutup pintu kamarnya. Aluna langsung menghela napasnya panjang. Ia duduk di tepi ranjang sambil tersenyum lebar.
"Akhirnya, aku punya tempat tinggal juga. Aku nggak nyangka kalau aku masih dikelilingi oleh orang-orang yang baik," ucap Aluna yang kemudian merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu. "Bahkan, aku belum pernah tidur di kasur yang empuk seperti ini. Ah, sepertinya aku akan nyaman tinggal disini."
***
Aluna terbangun saat tengah malam. Sudah menjadi kebiasaan bagi Aluna yang selalu terbangun tengah malam karena kerongkongannya yang kering. Ia turun dari ranjang dan keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah selesai meminum segelas air putih, ia hendak kembali ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melewati kamar Raya dan Ryan.
Samar-samar Aluna bisa mendengar suara ******* dari dalam sana. Selama beberapa saat, Aluna hanya terdiam mendengar suara itu. Hingga pada akhirnya, Aluna berjalan menghampiri pintu dan mendengarkan suara itu. Suara ******* Raya dan juga Ryan semakin jelas terdengar. Aluna cukup terkejut karena ternyata malam itu mereka sedang melakukan sesuatu yang biasa suami-istri lakukan.
Selama beberapa saat, Aluna terdiam mematung sambil mendengar suara itu. Ada rasa sesak di dalam dada Aluna ketika mendengarnya. Hatinya terasa sakit. Membayangkan Ryan melakukannya bersama Raya membuat Aluna tidak bisa berkata-kata. Aluna pun melangkahkan kakinya kembali pergi dari sana menuju ruangan yang sudah menjadi kamarnya. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat. Aluna memegang dadanya yang masih terasa sesak. Kemudian, ia menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku harus bisa menghilangkan perasaan ini! Aku harus bisa melupakan Ryan. Ryan sudah menjadi milik Raya seutuhnya. Aku tidak memiliki hak untuk merasa cemburu lagi. Aku sudah bukan siapa-siapanya Ryan lagi," lirih Aluna seraya berjalan dengan hampa menuju ranjang.
Meski berkata seperti itu, tapi pikiran Aluna melayang kemana-mana. Rasa sakit dan cemburunya tidak bisa dihilangkan dengan mudah. Ia ingin melupakan Ryan, tapi tidak semudah itu.
"Raya sudah baik banget sama aku. Aku tidak boleh mencintai Ryan. Aku harus bisa melupakannya. Meskipun sulit, tapi perlahan-lahan jika ada kemauan aku pasti bisa melakukannya," ucap Aluna yang penuh tekad untuk melupakan Ryan sepenuhnya. "Ya, benar! Aku pasti bisa!"
***
"Raya, mau aku bantuin masaknya?" tanya Aluna yang berada di dapur dan melihat Raya sedang memasak.
"Boleh," jawab Raya sambil melihat ke arah Aluna sekilas, lalu kembali fokus dengan masakannya.
"Apa yang harus aku lakukan, nih?" tanya Aluna sambil melihat ke arah sekelilingnya dan tidak tahu harus melakukan apa.
"Kamu bisa potong-potong bahan-bahan ini, ya." Raya memberikan bahan-bahan makanan yang harus dipotong untuk segera dimasak. "Kamu bisa kan melakukannya?"
Aluna menganggukkan kepalanya. "Bisa! Sudah biasa aku bantuin nenek motong-motong bahan makanan begini."
"Baguslah, aku nggak perlu ngajarin kamu kalau begitu," timpal Raya yang kembali dengan masakannya.
Aluna langsung mengeksekusi bahan makanan yang harus ia potong. "Sekarang, kamu sudah banyak berubah, ya. Kamu sudah bisa masak. Padahal dulu pegang pisau aja kamu nggak mau."
Raya terkekeh ketika mengingat masa lalunya. Ia memang termasuk anak yang manja dan nggak pernah tahu cara memasak. "Semua ini demi Mas Ryan, sih, Na. Aku bisa masak demi suami aku."
"Bagus kalau begitu, aku senang kamu bisa berubah lebih baik lagi."
"Eh, aku tiba-tiba kebelet harus ke kamar mandi. Maaf, kamu bisa nggak masakin yang ada di wajan ini. Bolak-balik aja biar nggak gosong," pinta Raya yang tiba-tiba saja harus pergi ke kamar mandi.
"Iya, serahkan padaku!" ucap Aluna yang langsung menggantikan Raya memasak.
"Sayang, masak apa hari ini?" tanya Ryan yang tiba-tiba masuk ke dalam dapur.
Refleks Aluna menoleh ke belakang. Saat itu juga Ryan langsung terkejut ketika melihat Aluna yang memasak, bukan Raya. Selama beberapa saat, dunia seakan berhenti mereka berdua saling memandang satu sama lain.
Deg!
Jantung Aluna kembali berdetak lebih cepat, ketika Ryan memandangnya seperti itu.
"Aluna," lirih Ryan.
"Perasaan apa ini?" tanya Aluna yang berusaha untuk tidak terus berdebar-debar ketika berada di dekat Ryan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments