"Saya... saya tidak bisa meninggalkan Anda sendirian di sini. Saya... Anda ikut saya. Emm maksud saya, sebaiknya Anda ikut saya. Saya rasa... saya bertanggung jawab atas keselamatan Anda. Jadi sebaiknya Anda ikut saya."
Ya Tuhan, aku jadi deg-degan. Ada debaran aneh yang tak bisa kumengerti. Jack orang pertama yang memperlakukanku -- seperti itu, sebaik itu: orang pertama yang ingin melindungiku. Bahkan, sumpah demi apa pun, dia menghampiriku dan menggenggam tanganku.
"Anda mau, kan, ikut saya?" tanyanya.
Bagaimana mungkin aku bisa menolak? Kebaikan yang tulus seperti ini, di mana lagi bisa kudapatkan?
Aku mengangguk, merasa sangat terharu.
"Thanks, God," Jack bergumam. "Kamu tunggu sebentar, saya akan diskusikan dengan dokter untuk rujukan pindah rumah sakit."
Patuh. Aku ikut saja apa pun yang ia rencanakan untukku. Dengannya, aku bisa merasakan ketulusan, dan rasa aman. Hingga rasanya aku nyaris tidak merasakan kekhawatiran lagi.
Entah bagaimana Jack bisa membawaku keluar dari rumah sakit dengan obat-obatan, selembar surat rujukan, dengan sebuah kursi roda, dan tetap dengan memakai baju pasien. Bahkan dia sendiri yang mendorong kursi rodaku. Dan sesampainya kami di parkiran, dia menggendongku dan menempatkan aku di kursi penumpang, lalu memasangkan sabuk pengaman untukku. Bahkan, dia merebahkan sandaran kursi untuk membuatku lebih nyaman. Entah kenapa aku merasa seakan-akan aku ini spesial baginya.
"Terima kasih," ucapku.
Jack hanya tersenyum, kemudian ia menutup pintu di sebelahku, lalu menyimpan kursi rodaku dan masuk ke mobil, duduk di balik kemudi. Dengan segera, kami meluncur meninggalkan rumah sakit. Tapi, salahnya aku, aku tidak bertanya dia akan membawaku ke mana. Hingga akhirnya, satu setengah jam kemudian...
Aku bergidik. Sedikit ngeri, dan kembali merasa waspada. Kami tiba di pelabuhan. Sebuah kapal pesiar mini menanti di depan sana. Pria yang berdiri di kapal menudungkan tangan ke atas mata dan menyipit, memperhatikan mobil Alphard hitam yang melaju pelan ke arahnya.
Jack membuka kaca mobil dan mengeluarkan tangan, memberi isyarat yang tak terlihat olehku. Si pria di atas kapal mengangguk, lalu membiarkan kami masuk ke kapal.
Setelah mobil masuk ke geladak tertutup, kapal mulai menjauhi daratan. Aku bisa merasakan kapal itu bergerak cepat menuju laut lepas.
Jujur saja, aku sedikit merasa khawatir. Merasa perlu menaikkan kewaspadaanku. Semalam aku sudah memberanikan diri melawan maut dengan melompat dari kapal, tapi sekarang... aku malah kembali masuk ke kapal.
Ya Tuhan... aku berkeringat dingin.
"Kamu kenapa?" tanya Jack, dia mencemaskanku. Tapi aku hanya menggeleng, tak mampu menjelaskan apa yang sesungguhnya ada di dalam benakku. "Ya ampun, aku salah mengajakmu meninggalkan rumah sakit."
Eh? Dia berpikir demikian?
"Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kok. Aku... aku merasa tidak nyaman. Mungkin aku cuma mabuk laut," dustaku.
Kali ini dia tertegun, dan sepertinya dia mulai mengerti. Termasuk mengerti kalau aku tidak jujur. Aku tidak mabuk laut, melainkan merasa khawatir kalau pelarianku semalam hanyalah sia-sia.
"Hei, Rose, jangan khawatir. Kamu tidak usah takut," katanya -- begitu lembut dengan kedua belah tangan menyentuh dan mengusap pipiku. "Ada aku di sini. Aku akan menjagamu. Selalu. Oke? Tenangkan dirimu."
Oh, Tuhan... aku meneguk ludah yang tak ada. Perkataannya, meski hanya itu dan sesederhana itu, tapi itu mampu menyentuh hatiku, dan menenangkan.
"Kamu baik-baik saja, kan? Bisa? Please, rileks. Hmm?"
Oke. Tenang. Aku harus tenang. Dia bukan pria jahat. Dia di sini untukku, untuk menjagaku. Aku mengangguk.
"Percaya padaku, ya?"
"Em, aku... aku percaya padamu."
"Oke, sekarang sudah bisa tenang, kan?"
"Ya, bisa. Aku bisa," kataku, yakin.
"Sekarang kita keluar. Kita mesti naik ke atas."
Jack melepaskan tangannya dariku, membuka sabuk pengaman kami, lalu membuka pintu. Pun aku, kubuka pintu di sebelahku dan kami keluar.
"Bisa berjalan?" tanya Jack lagi. Dia berdiri di sisiku dan merangkulkan tangannya di bahuku.
Aku mengangguk. Aku tidak ingin dia repot-repot mengeluarkan kursi roda untukku atau menggendongku menaiki tangga. "Aku bisa jalan," kataku.
Jack mengangguk. Dengan perlahan, kami berjalan dan naik ke bagian atas kapal. Di sana, ada enam orang laki-laki yang bertampang garang dan sengak. Semuanya bertubuh besar, jangkung, berotot dan kekar. Tapi, yeah, Jack-lah yang paling tampan di antara ketujuh pria itu. Dia jangkung dan berisi, ototnya menyembul di balik kaus biru strecht body. Dalam situasi seperti ini aku bahkan sempat memperhatikannya dari samping, lebih menyadari bagaimana sosoknya yang tampan itu. Kulitnya putih bersih, tulang hidung tinggi, bibir seksi dengan barisan gigi yang putih rata. Bahkan dia memiliki mata dengan sorot dan tatapan yang intens, dan itu serasi dengan alisnya yang agak tebal. Mmm... pesona wajah tampan itu bahkan dilengkapi dengan kumis dan rahang brewok yang sempurna, tidak terlalu tebal.
"Tolong perhatikan langkahmu, Rose," kata pria yang memapahku itu.
Ya Tuhan, aku kaget sendiri, kemudian buru-buru berpaling ke depan, memperhatikan jalanku.
"Siapa dia Jack?" tanya salah seorang di antara mereka.
Dan kau tahu, Jack menyebutku sebagai adiknya. Kenapa mesti memperkenalkanku sebagai seorang adik?
"Dia baru keluar dari rumah sakit, tapi Bos malah menyuruhku ikut kembali ke Bali secepatnya. Jadi ya sudahlah. Aku tidak mungkin meninggalkan Rose sendirian," jelas Jack seraya berhenti sebentar, lalu ia kembali memapahku dan mengantarku ke kamar.
Well, tidak ada yang curiga dan mempermasalahkan kehadiranku. Saat ini semuanya nampak normal-normal saja.
"Ini kamarmu," kata Jack kemudian, membuka pintu kamar dan mengajakku masuk, lalu menyuruhku duduk di tepi ranjang. Kemudian ia berjalan ke sisi dinding untuk membuka gorden jendela.
Aku berdecak kagum dalam hati, namun mataku lebih mewakili keterpanaanku ketimbang suaraku. Aku memandang sekeliling, kagum pada kamar itu. Kamar VIP. Tempat tidurnya besar dan menghadap ke jendela yang berlatarkan laut lepas dan langit cerah. Ada kamar mandi dengan bathtub plus air panas di dalam kamar, satu set home theater lengkap dengan koleksi DVD yang bagus, lemari baju, kulkas berisi banyak minuman dan di atasnya tersedia makanan ringan.
"Sebenarnya perjalanan kita sekitar lima hari. Kuharap kamu tidak akan bosan."
Hah? Lima hari?
Jack tersenyum melihatku tercengang. Dia masih berdiri di sisi jendela. "Tadinya kupikir aku akan menggunakan pesawat supaya bisa cepat kembali ke rumah sakit. Tapi takutnya waktuku tidak seluang itu, jadi ya sudahlah. Kuputuskan saja untuk membawamu bersamaku."
"Lalu, kalau kita akan berada di kapal selama lima hari, untuk apa surat rujukan pindah rumah sakit?"
Kini Jack beranjak ke dekatku, duduk berjongkok di hadapanku dengan tangan menggenggam tanganku. Agak... bukan, rasanya ini benar-benar berlebihan untuk ukuran sikap orang asing. Dia mendongak, dan menatapku dalam-dalam. "Aku yakin keadaanmu akan baik-baik saja. Tidak ada cidera serius. Surat rujukan itu berguna supaya kita bisa meninggalkan rumah sakit dengan mudah. Hanya itu. Yang kamu butuhkan hanya istirahat, vitamin, dan nutrisi yang cukup supaya keadaanmu cepat pulih. Tidak apa-apa, kan, kalau pemulihannya pindah ke sini? Biar aku yang menjadi dokter, sekaligus menjadi perawat untukmu."
Eh?
Jangan GR...! Dia pasti hanya bercanda untuk menghiburmu. Ayo, ayo... santai... redamkan senyummu. "Baiklah. Tidak apa-apa. Aku justru sangat berterimakasih."
"Ssst...." Jari itu menempel di bibirku.
Oh, Jack... berdebar hatiku karenamu. Perasaan apa ini...?
Fix, gadis perawan ini dibuat salah tingkah oleh seorang Jack.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
jangan terhanyut mba sama mulut manis Jack. Siapa tahu dia penipu, atau makelar, atau mucikari mungkin ?
2023-05-26
1
Luluk Sugeng
duh..Jack manis banget ya..😍🥰🥰
2023-01-18
1
Lavena Sisil
bagus bgt cerita nya
2022-10-11
1