Pria yang ditabrak Wulan melipat tangannya di dada. Bola matanya memicing, menatap wajah seorang gadis di depannya.
"Hehee ... maaf ya Pak. Saya terburu-buru." Ternyata dia menabrak sang manager yang hendak masuk ke ruang kerjanya.
"Kenapa telat? Ketemu siapa lagi kali ini?" Pandangan pria paru baya itu terlihat menelisik.
"Saya tidak telat, Pak. Tepat waktu dan siap untuk bekerja." Wulan tersenyum kikuk.
"Cepat buka jaket dan tasmu! Segera bersihkan satu ruangan ini sebelum tempat ini dibuka!" Wulan melongo mendengar perkataan sang manager.
"Maksud Bapak? Saya harus bersih-bersih sendirian? Menata meja kursi, nyapu, ngepel dan bersiin kaca?" Wulan menelan ludahnya dengan berat.
"Hukuman untukmu karena sudah datang terlambat."
"Taa-pi, Pak--," Pria paru baya tersebut meninggalkan Wulan yang masih berdiri mematung di tempatnya.
Wanita itu menghela napas begitu berat.
"Mampus, harus cepat nih. Caffe buka jam sepuluh pagi." Wulan teringat tugasnya.
Beberapa karyawan meninggalkan pekerjaannya dan dipanggil untuk membersihkan gudang. Sementara Wulan bergegas melakukan perintah dari sang manager.
Sudah satu jam lamanya gadis itu berkutat dengan pekerjaan. Bajunya basah karena keringat, keningnya juga bercucuran keringat. Pendingin ruangan baru dinyalakan, lima menit lagi caffe ini akan dibuka.
"Wulan, dinginkan badanmu dulu! Bau keringat." Leader Kafe menyuruh anak buahnya untuk pergi ke kamar mandi.
"Kacanya kurang dua lagi, Mas. Ups, Pak." Dia sampai salah menyebut.
"Nanti aku suruh Tina ajah untuk membersihkannya. Gak enak dilihat customer kalau penampilan kamu seperti itu, acakadut." Riki—leader caffe yang Wulan sukai menatap penampilan rekannya yang sudah berantakan. Sepertinya, hukuman dari sang manager sudah terlalu. Riki harus berbicara tentang kejadian ini.
"Terima kasih, Pak." Wulan segera berlalu dari hadapan Riki.
"Sabar Wulan, di Jakarta itu keras. Kamu gak boleh menyerah begitu saja. Beruntung sekali kamu masih bisa bekerja dan bertahan di tengah gempuran ibu kota yang semakin banyak persaingan." Gadis itu menyemangati diri sendiri sambil berjalan ke ruang loker karyawan.
Wulan merasa malu karena Riki melihat penampilannya yang kacau seperti tadi. Dia, diam-diam mengutuk sang manager yang sudah memberikan pekerjaan sekaligus hukuman yang keterlaluan.
Setelah mendinginkan suhu tubuh, Wulan merapikan rambut. Merapikan dandanan yang sudah tidak karuan, kemudian barulah dia kembali ke tempat kerjanya. Ada beberapa konsumen yang masuk dan memilih menu.
Di sebuah universitas ternama di Jakarta, Damar ke luar dari sebuah ruangan. Sinar mentari siang sudah sangat terik. Waktunya dia pulang setelah berhasil membuat dosen pembimbing menerima judul tesis yang akan dia garap.
"Mas Damar, besok ngajar di kelas kami ya?" Tiga orang mahasiswi cantik menghentikan langkahnya.
"Gak tau, belum lihat jadwal." Damar menyingkir dari ketiganya.
"Coba cek lagi, Mas. Aku yakin banget kalau besok Mas Damar gantiin dosen." Mereka mengekori langkah Damar sampai ke tempat parkir.
Cewek-cewek ganjen, malu-maluin banget sampai ngikutin ke tempat parkir. Hati Damar menggerutu kesal.
Pria itu tidak menggubris pertanyaan yang dilontarkan oleh ketiga gadis tadi. Dengan cepat, dia masuk ke dalam kendaraan.
"Yah, lagi-lagi kita dicuekin." Mereka menghentakkan kakinya ke tanah dengan keras.
"Sombong banget jadi asdos." Salah satu dari mereka mulai tidak ramah.
"Udah deh, kalian bertiga itu bukan tipenya Mas Damar. Jadi, gak usah sok-sokan ngejar segala. Gak bakalan digubris. Hahahah." Seorang gadis lain mendekati mereka.
"Pergi ajah yuk! Enggak usah ladenin manusia kek gitu."
"Hei, apa maksud Elu? Dasar cewek gatel."
Mereka bertiga berlalu pergi, malas meladeni seorang gadis lainnya.
Damar masih menyetir kendaraan. Dia harus pergi ke perpustakaan nasional, mencari buku referensi untuk mengerjakan tesis karena judulnya sudah di ACC dosen pembimbing.
Beberapa jam pemuda itu fokus di sana. Tidak peduli pada keadaan sekitar. Sampai ada dering hape yang membuat dia menjadi pusat perhatian.
"Sial, gue lupa matiin suaranya," lirihnya langsung berpindah tempat karena harus berbicara dengan orang di seberang telepon.
Damar mencari tempat yang sempit dan jauh dari orang-orang. Dia tidak mau mengganggu konsentrasi beberapa orang yang membaca buku.
"Mama, ngapain nelpon jam segini?" Damar segera menjawab panggilan telepon.
"Damar, kenapa lama di jawabnya? Kamu kemana ajah?"
"Lho, memang kenapa Ma? Damar lagi di perpus nih."
"Kamu pasti lupa kalau sore ini harus ke coffe shop. Kamu harus memperkenalkan diri."
"Gak bisa Mam. Damar harus segera mengejar waktu untuk mengerjakan tesis. Bukannya kata Papa, pengalihan itu setelah Damar kelar S2?"
"Cuma kenalan sama karyawan-karyawannya ajah, Sayang. Biar mereka tahu siapa kamu."
"Kapan-kapan ajah, Mam. Sekarang Damar harus kembali mengerjakan tugas."
"Ya udah, kamu hati-hati ya. Jangan jajan sembarangan!"
"Eum." Hanya itu sahutan dari Damar. Hubungan telpon sudah terputus.
"Jajan sembarangan gimana, duit cuma sisa dua ribu doang." Damar mengeluh tentang kalah taruhan.
Di sebuah coffe shop, ada dua orang wanita muda dan dewasa masuk dengan begitu mesra. Mereka bergandengan tangan sambil terkekeh geli membicarakan hal yang lucu.
"Mam, mau minum apa? Sekalian ngemil gak?" Ternyata kedua orang tersebut adalah Ibu dan anak.
"Terserah kamu saja, kamu tahu kan, kesukaan Mama tuh apa." Sang anak mengangguk dan meninggalkan Ibunya yang duduk dengan bersandar pada kepala kursi.
Riki tersenyum lebar pada seorang perempuan yang memesan minuman.
"Apa kabar, Bu?" tanya Riki basa-basi.
"Kabar baik, Alhamdulillah Ki. Gimana kerjaannya? Lancar semua tanpa kendala, kan?" Perempuan tersebut kembali bertanya.
"Tentu saja, Bu. Semua aman terkendali."
"Baguslah kalau begitu. Pesanannya ini, ini, sama ini ya! Seperti biasa, less sugar dan less ice." Perempuan itu menunjuk menu yang menempel di dekat kasir.
"Siap, Bu ... silakan ditunggu." Perempuan itu kembali ke tempat duduknya.
Riki memberikan instruksi pada timnya. Setelah lima menit, barulah minuman dan makanan ringan sudah selesai dibuat.
"Wulan, kamu pergi antar ini ke meja spesial nomor sebelas!" Riki menyuruh Wulan yang termenung seorang diri. Entah apa yang dia pikirkan.
"Eh iya ... Pak." Wulan segera menyahut perkataan kepala tim.
Dia mengambil nampan tersebut dan mengantarkan ke meja sebelas sesuai instruksi. Dia menyapa kedua orang tersebut dan meletakkan makanan dan minuman di atas meja. Setelah itu dia hendak pergi meninggalkan meja tersebut.
"Tunggu dulu! Nama kamu siapa? Sepertinya aku pernah melihatmu." Si wanita dewasa menghentikan langkah Wulan.
Wulan berbalik arah menatap wajah mereka bergantian.
"Nama saya? Nama saya Wulan, Bu." Dia menjawab dengan sopan dan tersenyum tipis.
"Wulan ya." Wanita paru baya itu menatap wajah Wulan dengan intens. Sepertinya tengah memikirkan sesuatu.
"Maaf, Bu. Saya harus kembali bekerja." Wulan segera berlalu pergi.
"Ada apa, Ma? Kok tiba-tiba serius begitu?" tanya sang anak.
"Sepertinya, Mama melupakan hal yang penting."
"Apa itu?" Sang anak mengerutkan kening.
"Astaghfirullah." Sang Ibu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
ᚐᚗɠ૨εεɳᚐᚐ 💚²⁷
Kasihan deh 🤣🤣
2022-09-08
4
ᚐᚗɠ૨εεɳᚐᚐ 💚²⁷
Yang sabar
2022-09-08
2
ᚐᚗɠ૨εεɳᚐᚐ 💚²⁷
Kejamnya
2022-09-08
2