Wulan menelan air liurnya dengan berat. Dia berusaha berpikir keras untuk mencari alasan yang tepat.
"Saya ... saya bertemu dengan teman yang baru saja datang ke Jakarta, Pak. Waktu perjalanan pulang malah kejebak macet." Kepalanya menunduk dalam, tak berani menatap wajah Pak manager. Tangannya saling menggenggam tote bag yang dia pegang. Detak jantungnya berdegup kencang.
"Kenapa ketemuannya tadi? Bukankah kalau bertemu hari libur juga bisa?" Pria itu menyelidik.
"Ada pesan dari Ibu saya di kampung, Pak. Karena itu kami ketemuan tadi. Maaf ya, Pak."
"Karena kamu telat, terpaksa gaji kamu dipotong satu jam. Sekarang, kembalilah bekerja!" Pak Roni—manager coffe shop sudah memutuskan.
"Ta-tapi, Pak ...."
"Tidak ada tapi-tapi! Segera bekerja kembali! Masukkan ke dalam loker tote bag itu!' titah Pak Roni.
Wulan mengangguk lemah, kakinya berjalan lemas ke arah loker. Dia memasukkan tote bag yang berisi tas itu ke dalam loker miliknya. Tas selempangnya pun dia masukkan ke dalam tote bag waktu tadi naik ojek.
Perempuan itu berjalan gontai untuk membantu barista. Wulan masih dalam proses training menjadi barista di coffe shop itu. Kalau pengunjung ramai, maka dia harus menjadi waiters di depan. Kalau pengunjung mulai sepi seperti sekarang, barulah dia kembali ke tempat barista.
Di sisi lain, Damar sudah sampai di sebuah universitas negeri di kota Jakarta. Dia yang saat ini berusia dua puluh enam tahun, bekerja sebagai asisten dosen sekaligus menjalani tesis di universitas yang sama. Damar masuk ke kelas untuk menggantikan kehadiran dosen. Para mahasiswi di sana, banyak yang mendekati Damar. Sayangnya, Damar tidak tertarik dengan beberapa gadis centil dan ganjen seperti mereka. Apalagi kalau mereka terus-menerus menempel untuk sekedar merayunya. Bagi Damar, gadis seperti itu tidak akan pernah menjadi pacarnya.
Damar masuk ke sebuah kelas dan mengisinya dengan materi yang sudah dia siapkan untuk menggantikan dosen yang tidak hadir. Beberapa orang gadis tidak fokus pada apa yang Damar jelaskan. Mereka hanya fokus pada wajah sang asisten dosen. Setelah selesai dengan tugasnya, asisten dosen itu bergegas pergi ke luar ruangan.
"Damar!" panggil seseorang yang satu angkatan dengannya. Seorang gadis yang mengambil mata kuliah sama dengan Damar.
Damar berhenti, tubuhnya berputar arah. Melihat Lusi yang menghampiri.
"Udah kelar ngajar?"
"Iya, makanya sekarang gue mau balik. Udah sore ini."
Mereka berdua berjalan beriringan.
"Gue numpang dong. Adek gue gak bisa jemput nih."
"Lho ... Zayn mana nih? Kalian gak pulang bareng?"
"Males ah, gak usah bahas dia. Gue nebeng ya." Lusi tidak mau membahas tentang Zayn—pacarnya.
"Ya udah ... buruan! Tapi, gue turunin di persimpangan kompleks ya. Gak bisa masuk gang, mobil susah puter arah."
"Tenang aja deh, gue gak mau repotin Elu juga." Mereka menuju parkiran, Lusi segera masuk ke dalam mobil. Damar sudah menyalakan mesin kendaraan. Mobil itu melaju cepat, menyalip beberapa kendaraan di depannya. Damar harus segera pulang dan beristirahat sejenak karena nanti malam harus bertemu dengan teman-teman satu tongkrongan.
Tak sampai setengah jam, Lusi turun di tempat yang Damar sebutkan tadi. Senyum terukir jelas di bibir perempuan itu. Kendaraan Damar bergerak kembali ke jalanan utama.
Kriiiiinnnggg
Telpon berdering kencang, membuat konsentrasi pria itu buyar.
"Ngapain sih cacing ini nelpon segala?" Pria itu kesal.
Terpaksa Damar menjawab panggilan telepon temannya. Dia memasang airpod di lubang telinga.
"Woi, Bro ... nanti malam ke tempat biasa ya!"
"Ke tempat Kak Mutia?"
"Iya, awas ajah kalau gak dateng. Kita-kita pecat jadi sobat."
"Bisa kagak, kalau pilih tempat lain? Masa iya kalian nongkrong mulu di tempat kakak gue."
"Bukannya berterima kasih karena kami juga larisin dagangan kakak Elu. Eh, malah ngusir. Elu bener-bener adik durhaka."
"Bacot, dahlah ... gue lagi nyetir nih." Tanpa basa-basi lagi, Damar memutuskan panggilan secara sepihak.
Damar melepaskan airpod dengan kasar dan melemparnya di kursi sebelah. Tak berapa lama, rumahnya yang tidak terlalu mewah tapi besar dan luas sudah terlihat. Pagar rumah terbuka otomatis setelah dia membunyikan klakson mobil.
Pria itu segera turun dari mobil, melangkah santai ke arah pintu masuk rumah. Tak ada orang satu pun yang terlihat di dalam rumah, dengan cepat dia menapaki anak tangga.
"Damar, bukannya ngucap salam malah nyelonong." Bu Dina—Mamanya menegur sang anak yang berada di anak tangga.
"Males, gak ada orang tadi." Damar segera menapaki anak tangga lagi.
"Damar! Cepet mandi, sholat Maghrib, setelah itu turun makan malam. Jangan sampai telat, ingat itu!"
"Iya Mam. Gak usah diperjelas lagi." Damar tidak suka diperlakukan seperti anak remaja oleh Ibunya.
"Tuh anak, tetap ajah dingin dan kaku. Udah kayak kanebo kering." Padahal dipikiran sang Ibu, beliau hanya tidak ingin anak-anaknya terlambat makan malam.
Damar membuka pakaian kemudian melemparkannya di sudut kamar—di mana ada keranjang cucian kotor. Adzan Maghrib sayup-sayup terdengar. Bergegas dia masuk ke kamar mandi.
Tak lama, pria itu melaksanakan kewajiban. Memakai kaos, jaket dan celana jeans. Setelah makan malam selesai, barulah dia pergi nongkrong bersama teman-temannya.
"Lho, kamu cuma turun sendirian? Adikmu mana?" tanya sang Ibu. Damar hanya mengendikkan bahu tanpa menjawab pertanyaan.
"Papa, Damar tuh cuek banget sama adik dan kakaknya. Masa iya, Selena yang kamarnya di sebelahnya sendiri gak lihat." Sang Ibu mengadu.
"Emang Damar gak lihat Selen, Mam. Belum pulang kali tuh." Pria itu duduk di kursinya seperti biasa.
"Kakak ke mana? Mungkin ajah Selen pergi bareng Kak Muti."
"Udah, jangan ribut! Kita makan duluan saja kalau begitu. Mau nunggu mereka harus berapa lama? Mama juga nih, seharusnya hubungi tuh anak-anaknya." Papa Damar menjadi penengah.
Bibi sudah menata hidangan di atas meja. Sang Ibu menyentong nasi untuk suami dan anaknya.
"Tunggu dulu! Maaf, kami terlambat." Selena dan Mutia terengah-engah. Mereka meletakkan tas punggung di kursi yang kosong.
"Kalian dari mana aja sih? Kan Mama udah bilang, gak boleh telat makan malam. Kalau bisa kita harus selalu makan malam bersama tiap malamnya." Sang Ibu kesal melihat dua anak gadisnya.
"Diajakin sama pacar Mbak Mutia, tadi Ma." Selena beralasan.
"Maaf, Ma. Kelvin tadi milih sepatu gak kelar-kelar." Mutia menyengir lebar.
"Sebaiknya kalian cuci tangan dulu, masa iya langsung mau makan? Walaupun make sendok, tangan harus bersih." Sang Ibu memberikan titah pada dua anak gadisnya.
Mereka berdua menurut, Damar hanya tersenyum kecil melihat wajah lucu dua saudaranya.
"Damar, kapan kamu punya pacar? Kapan nih ngenalinnya ke kami?" Mendengar pertanyaan yang terlontar dari Ibunya, membuat Damar kelimpungan.
"Eh ... Itu, sebenarnya itu--," Damar tidak tahu harus memberikan alasan yang tepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
hayo punya pacar ngk tu 😁
2022-09-17
3
🟡🎯Mirah
Ga usah ditanyain bu, kalo sudah saatnya ga pake lama pasti langsung nikah
2022-09-08
6
💫✰✭ᵀᵀ°𝓔𝓵𝓪 𝓐𝓻𓅓 𝓝𝓛✰✭🌹
wkwk si ibu dah ga sabar pengen punya mantu damar🤭🤭🤭
2022-09-03
4