Martha berjalan dengan gontai kemeja makan. Suaminya tetap berada didalam kamar sendirian.
Brigit sengaja memberikan waktu pada Martha agar berfikir dengan tenang.
Sekarang Martha sedang duduk sambil memikirkan apa yang Brigit katakan barusan.
Ruangan itu gelap dan Martha membuatkanya tetap gelap. Agar air mata yang jatuh tidak terlihat oleh siapapun.
Bahunya naik turun karena terisak dan terpukul. Suaminya secara jujur mengatakan keinginanya untuk menikah lagi.
Dan wanita pelakor itu sudah hamil anaknya. Maka pilihanya hanya memberikan ijin atau bercerai.
Jika bercerai,
Maka Martha akan melihat kedua anaknya bersedih karena kedua orang tuanya tidak tinggal serumah lagi. Dan Martha tidak sanggup melihat kedua buah hatinya tertekan karena perpisahan kedua orang tuanya.
Bagaimana pun dia tidak rela jika kedua anaknya menjadi korban dari perceraian kedua orang tuanya.
Dan jika bertahan,
Martha membayangkan kehidupan seperti apa yang akan dia jalani. Berbagi hati tidaklah semudah itu. Merasa kecewa dan dikhianati akan membuat hatinya hancur setiap hari.
Ekspektasi untuk hidup bersama seumur hidup, memadu kasih hingga rambut memutih dan janji pernikahan yang pernah di ikrarkan ternyata sekarang harapan itu telah sirna.
Saat ini dia hanya harus memilih.
Kebahagiaan dirinya atau anaknya.
Tidak bisa mendapatkan dua-duanya, karena suaminya akan menikah lagi. Jika demi anaknya maka dia harus bertahan meskipun tidak bahagia.
Namun jika ingin bahagia, maka dia harus berpisah, daripada terluka batin.
Airmatanya terus mengalir deras dengan bahu yang terangkat berat. Pipinya basah dan Martha memejamkan matanya.
Dadanya terasa begitu sesak, hatinya telah hancur berkeping-keping.
Belum lama, perselingkuhan itu telah dia maafkan dan berharap suaminya tak akan mengulanginya lagi, dan kebahagiaan kembali hadir dalam rumah tangganya.
Namun belum genap satu Minggu, badai itu menghantamnya kembali. Kali ini dia tidak hanya cukup kata maaf saja. Tapi harus memilih, untuk mundur atau bertahan, wanita itu akan masuk kedalam kehidupanya.
Dan menjadi duri didalam daging. Yang akan membuat mata pedih dan hati sedih setiap kali melihat suaminya bersama madunya.
Pyaaarrr!
Kucing peliharaannya melompat dan membuat figura itu terjatuh.
Kacanya pecah dan berserakan dilantai. Martha membalikkan Figura itu dan terlihat didalam gambar. Foto dia dan suaminya serta kedua anaknya tertawa lebar. Foto itu diambil saat mereka liburan ke kampung halaman Martha.
Lama, dia terpaku menatap foto yang memancarkan kebahagiaan itu. Melihat tawa kedua buah hatinya yang begitu lepas.
Besok jika mereka tahu, ibunya menggugat cerai, maka tidak akan ada lagi foto seceria ini.
Tidak akan ada lagi kebersamaan seindah dalam foto ini.
Martha menghela nafas dalam.
Aduh!
Martha melihat ujung jari telunjuknya berdarah karena serpihan kaca. Dia menahan perih dan segera mengambil tissue. Lalu membersihkan darahnya dan bangun menayalakan lampu.
Mengambil sapu untuk membersihkan semua serpihan yang tersebar dilantai. Mengelap dengan kain basah agar tidak melukai orang lain.
Setelah bersih, Martha mematikan lampu dan masuk kedalam kamar.
Suaminya masih duduk menunggunya.
"Sudah malam, ayo kita tidur," ajak suaminya yang sengaja menunggu Martha masuk kedalam setelah menenangkan diri.
"Kenapa jarimu?" tanya Brigit saat melihat jari itu terluka. Masih ada sedikit darah dan Martha akan mengambil plester yang dia simpan dikamarnya.
"Tidak papa," jawab Martha singkat.
"Biar aku lihat," kata Suaminya mencondongkan tubuhnya.
"Tidak perlu," Martha menarik tangannya dan menyembunyikan luka itu dari suaminya.
Brigit terpaku dan menatap punggung Martha yang jongkok sedang membuka laci. Dengan cepat Martha mengambil plester dan langsung menempelkan ya pada lukanya.
Martha bangun dan duduk dipinggir ranjang.
"Kau sudah memikirkanya?" tanya Brigit tidak sabar dengan jawaban Martha.
Martha mengangguk pelan dengan tatapan mata yang tajam memendam kemarahan dalam hatinya. Diikuti dengan desah nafas dan dada yang naik turun.
"Aku mengizinkanmu menikah lagi, tapi dengan syarat," kata Martha.
"Apa syaratnya?" Brigit bertanya sambil menatap dalam ke bola mata istrinya. Seakan ingin membaca apa yang tersimpan didalam mata dan hatinya.
"Sejak hari ini, kita tidak tidur bersama. Aku tidak bisa menjadi istri yang utuh lagi bagimu. Dan jangan kau anggap aku ikhlas melakukanya. Jika bukan karena anakku, maka aku tidak akan memaafkan kesalahanmu. Tapi aku mengizinkanmu menikah lagi, itu hanya karena agar anakku tidak menderita dan tidak kehilangan kebahagiaan nya. Ini hanya demi anak-anak ku,"
Mata berbicara sambil terisak.
"Ma...." Brigit akan menyentuh bahu Martha. Namun istrinya menghindari sentuhan itu.
"Kenapa harus ada syarat seperti itu. Aku sangat mencintaimu, kenapa tidak boleh menyentuhmu,"
"Kau tidak mencintaiku pa, cintamu hanya terucap di bibir saja dan tidak sampai ke hatimu. Jika kau benar-benar mencintaiku, kau tidak akan pernah berbuat dusta yang melukai perasaanku, itulah bedanya jika cinta itu tidak sampai ke hati," kata Martha menatap tajam pada suaminya lalu memalingkan mukanya, menatap kedepan kedalam ruang hampa.
"Ma...jangan berkata begitu. Aku benar-benar mencintaimu dan tidak bermaksud menyakitimu. Maafkan aku, jika aku membuatmu terluka. Tapi, jangan berkata kita tidak bisa tidur bersama lagi," kata Brigit keberatan dengan syarat yang di ajukan Martha.
"Aku kecewa sekali padamu pa, terlebih kau ingin menikah lagi, aku tidak pernah menduganya sepanjang hidupku, jika aku akan berbagi suami dengan wanita lain," Martha memejamkan matanya penuh kesedihan.
"Papa juga tidak tahu jika akhirnya akan jadi seperti ini,"
"Sudah pa, mama mau tidur, aku akan tidur dengan anak-anak. Kau bisa tidur disini," kata Martha lalu mengambil bantal dan keluar dari kamar. Dia masuk kedalam kamar anaknya.
Brigit hanya terpaku menatap punggung istrinya yang berjalan kepintu. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan keputusan Martha.
Martha sedang menghukum dirinya saat ini. Malam ini terpaksa Brigit tidur sendirian dan merasakan kesepian yang amat sangat.
Bahkan jika tidak bisa menyentuh Martha lagi, maka dia juga merasakan telah kehilangan kehangatan dari istrinya.
Brigit berharap ini hanya terjadi sesaat karena istrinya sedang marah. Dia hanya marah dan melampiaskan kemarahannya.
Brigit berharap, besok kemarahanya reda dan mereka bisa tidur bersama lagi. Dia masih merindukan kehangatan dari istrinya, karena bagaimanapun, dia tetap mencintai istrinya. Istrinya dan Sarita, dua-duanya ada didalam hatinya, memiliki tempat masing-masing.
Dua wanita itu ada dihatinya dengan tempat yang berbeda. Istrinya adalah kekuatan dan semangatnya, sedangkan Sarita, dia adalah kekasih hatinya saat ini.
Brigit memejamkan mata dalam terang. Dia tidak mematikan lampu kamar seperti biasanya. Dia berharap Martha kembali dan tidur bersama dalam satu selimut yang hangat.
Tapi rasa kecewa dan hancur yang sedang meluluh lantakkan hatinya, membuat Martha tidak ingin berdekatan dengan pria yang sudah mengkhianati janji pernikahanya.
Tidak memikirkan kebahagiaan anaknya juga perasaan istrinya. Pria dengan egoisme yang begitu tinggi. Hanya memikirkan kesenangannya dan tidak peduli pada perasaan keluarganya.
Menuruti hawa nafsunya saja, pikirannya sungguh tumpul dengan rasa empati yang sudah mati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments