Aku memberi Arif obat penurun panas, ia menurut saja tanpa membantah, karena putraku memang anak yang cukup mengerti dan penurut. Setelah beberapa menit selesai meminum obatnya akhirnya Arif memejamkan matanya kembali. Putraku sudah terlelap, aku lalu menyelimuti setengah tubuhnya, mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, berharap esok hari ia akan bangun dengan senyum ceria karena panas yang tak lagi membersamai nya.
Selesai mengurus Arif, aku kebelakang lagi. Aku akan membuat kopi untuk Mas Setya. Saat aku melewati tubuh suamiku tadi, aku melihat ia sibuk dengan benda pipih miliknya.
Aku memasak air sedikit, hanya pas-pasan untuk membuat segelas kopi. Lalu begitu sudah mendidih, aku menuangkannya kedalam gelas kaca yang sudah terdapat bubuk kopi dan sedikit gula di dalamnya. Aku aduk-aduk sebentar hingga merata setelah itu aku bawa kedepan, kehadapan Mas Setya.
''Ini, Mas,'' ucapku seraya meletakkan gelas yang mengepul asap.
''Terimakasih.'' balasnya singkat. Ia memasukkan benda pipih miliknya kedalam saku, lalu ia mulai berbicara.
Kami duduk saling berhadapan, dengan jarak sekitar satu meter, kami sudah seperti dua orang asing saja. Diantara kami aku rasa ada jarak yang tak kasat mata yang memisahkan, yang sengaja di ciptakan oleh Mas Setya.
''Fa, ini.'' Mas Setya berbicara seraya meletakkan beberapa uang bewarna merah dihadapanku.
''Apa ini?'' tanyaku kaget dengan mata menyipit. Dari mana Mas Setya mendapatkan uang sebanyak ini. Aku perkirakan uang bewarna merah itu ada sekitar sepuluh lembar.
''Ini uang untukmu dan Arif. pakailah untuk memenuhi kebutuhan kalian. Mas selama beberapa hari ini sudah mendapatkan pekerjaan baru dengan menjadi seorang sopir di keluarga kaya. Makanya Mas tidak pulang, beberapa malam ini Mas menginap di sana.'' jelas Mas Setya terlihat sungguh-sungguh.
''Benarkah? Kamu sedang tidak berbohong 'kan?'' selidikku.
''Maksud kamu apa? Kamu mencurigai suami mu ini berbuat macam-macam diluaran sana?'' nada bicaranya naik satu oktaf. Selain sudah tidak peduli lagi, Mas Setya juga gampang sekali emosi.
''Ah tidak! Aku cuma bertanya. Santai aja dong.'' sungut ku.
''Ya sudah, ambil dan simpanlah uang ini.'' katanya, matanya jarang sekali menatap ke arah aku. Sepertinya dia malas sekali melihat Istri nya yang tidak lagi cantik ini.
''Baiklah. Kalau begitu aku mau tidur dulu.'' aku mengambil uang yang tergeletak di lantai lalu menyimpan nya di bawah lipatan kain di dalam lemari.
Aku berbaring di samping tubuh mungil putraku, lalu aku mencoba memejamkan mata. Berharap bisa menyelam kealam mimpi, lalu melupakan bayang-bayang tentang kejadian di taman kota tadi walau hanya sesaat. Bayang-bayang yang terus membuat dada ku terasa nyeri tak berkesudahan.
Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, ''Mas akan tidur di luar.'' katanya. Dia mengambil bantal dan selimut.
''Iya.'' jawabku singkat.
Setelah itu langkahnya terdengar menjauh lagi. Mas Setya lebih memilih tidur diruang tamu di atas tikar tipis di bandingkan tidur bersama aku Istrinya dan putra nya sendiri. Tadi aku berharap dia akan membelai dan memeluk putranya dengan penuh kasih sayang. Tapi, kenyataannya dia sama sekali tidak peduli dan tidak merindukan Arif.
Aku memilih diam tidak menanyakan perihal yang aku lihat di taman kota tadi bukan karena aku bodoh, aku hanya ingin melihat sejauh mana Mas Setya membohongi aku. Suamiku benar-benar telah berubah. Aku seperti tidak mengenali sosoknya lagi. Ternyata bukan suami yang banyak uang saja bisa selingkuh, buktinya, suamiku yang pendapatannya pas-pasan juga bisa mendua. Menghadirkan wanita lain di dalam pernikahan kami.
***
Baru beberapa saat rasanya mataku terpejam, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku bangun dari tempat tidur, aku berjalan pelan hendak ke kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, saat aku melewati ruang tamu tidak aku dapati Mas Setya berada di sana. Yang ada hanya selimut dan bantal yang tergeletak asal.
Aku berjalan pelan, lampu ruang tamu dimatikan oleh Mas Setya. Ruang tamu remang-remang, hanya sedikit cahaya lampu dari luar yang menerangi.
Saat aku sudah sampai di pembatas antara ruang tamu dan dapur, aku mendengar suara seseorang tengah berbicara lirih. Aku menajamkan pendengaran mencoba menguping.
''Iya, Mas juga kangen Sayang.'' jantungku berdetak lebih cepat. Itu suara Mas Setya.
''Mas kenapa enggak balik lagi kesini?'' suara wanita itu bisa juga aku dengar.
''Mas takut Hanifa akan curiga, makanya Mas menginap di sini untuk malam ini saja.''
''Mas enggak ngapa-ngapain 'kan sama wanita miskin itu?''
''Enggak lah! Mas tidur diluar. Sedangkan dia di kamar. Kamu tenang saja Sayang, Mas tidak akan tergoda. Tubuh kamu jauh lebih bagus, menggoda dan indah dari dia.'' Mas Setya terkekeh kecil setelah mengatakan itu.
''Ah, Mas bisa aja. Rasa kangen aku jadi bertambah tambah tambah deh sama kamu. Pengen peluk ...'' Jijik, aku sungguh jijik mendengar ucapan wanita itu.
''Sabar ya.''
''Selalu.''
''Caca gimana? Apa dia rewel?''
''Jelas rewel lah. Tadi dia nangis nyariin kamu terus. Caca itu udah sayang banget sama kamu, Mas. Dia udah anggep kamu seperti Papa kandungnya sendiri.''
''Sama. Mas juga udah anggep Caca seperti anak Mas sendiri. Mas sekarang juga sangat merindukan dia.''
''Besok pagi-pagi sekali kamu kesini ya. Aku tunggu. Aku takut Caca histeris lagi nyariin kamu.'' wanita itu berbicara dengan nada manja.
''Iya, Sayang''
''Apa wanita miskin itu sudah tidur?''
''Sudah sepertinya. Kalau dia belum tidur mana mungkin Mas berani ngomong sama kamu.''
''Mas kenapa enggak ceraikan saja sih dia. Bisa nya cuma nyusahin.''
''Ini belum saatnya Sayang. Kasihan dia. Bisa-bisa dia mati kelaparan kalau Mas enggak kasih dia uang.'' lagi-lagi Mas Setya terkekeh kecil di akhir kalimat.
Aku perlahan menjauhkan tubuhku dari tempat aku menguping. Aku sudah tidak kuat lagi, seluruh persendian tubuhku terasa lemas. Hatiku rasanya sungguh sakit. Rasa pengen buang air kecil seketika menguap karena mendengar obrolan menyakitkan antara Mas Setya dan gundiknya.
Tega sekali Mas Setya membicarakan aku, menjatuhkan harga diri ku di depan wanita lain.
Aku kembali membaringkan tubuhku di samping Arif. Air mata tiba-tiba lolos lagi dari netra. Aku sudah berusaha kuat dan tak peduli. Tapi tetap saja rasa dikhianati oleh orang yang kita percaya sangatlah sakit.
Aku tidak akan mati kelaparan tanpa kamu Mas! Ternyata kamu sudah sangat keluar batas dalam membicarakan aku di belakang ku. Tunggu saja, akan aku buktikan kalau aku mampu berdiri di kakiku sendiri.
Bersambung.
Jangan lupa like, komen dan subscribe bagi yang mampir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Samsia Chia Bahir
Suami tak tau diri, istrimu bgitu krn kw tak mampu mengokosix begooo 😝😝😝😝😝
2023-05-15
0
Dedew
sedihh banget ,kesian,,kesian,,kesian😑
2022-11-27
0
Ayuk Noy
semangat💪💪💪hanifa....
semangat nulisnya kak🥰
2022-10-27
3