AIR MATA SEORANG ISTRI DI BALIK KOSTUM BADUT
''Ayo, Papa Foto aku dan Mama, aku sudah siap'' teriak anak perempuan yang barusia sekitar 6 tahun, wajahnya begitu ceria. Tubuh mungilnya berdiri tepat di depan aku, punggungnya sedikit menempel di kostum badut yang aku pakai. Sedangkan seorang wanita cantik yang ku taksir sepantaran dengan diri ku berdiri tepat di samping ku.
''Iya, ambil gaya yang bagus ya. Satu ... Dua ... Tiga ...! Selesai. Foto nya sangat bagus. Anak Papa dan Istri Papa memang sangat cantik.'' tutur seorang pria bertubuh tegap itu, dengan mata fokus ke arah ponsel yang ada di tangan. Senyum bahagia terpancar dari binar mata dan wajahnya.
Sedangkan aku, aku yang berdiri tidak jauh darinya menatap pilu. Aku berdiri dengan tungkai kaki terasa lemes dan gemetar, tubuh pun ikut gemetar. Air mata menetes dari pelupuk tanpa ada seorang pun yang tahu. Aku menangis dalam diam dengan dada terasa sesak di balik kostum badut yang aku pakai, kostum bewarna merah muda. Mata ku fokus melihat senyum bahagia pria itu yang tanpa jeda.
''Ini, ambillah. Terimakasih!'' ucap wanita itu, dia berpakaian begitu seksi. Dia menyerahkan mata uang bewarna ungu kepada diri ku. Dengan memasukkan uang kertas itu langsung kedalam tas Tote bag yang tergantung di leher ku. Aku hanya mengangguk kecil.
Lalu setelah itu mereka pergi, mereka seperti keluarga kecil yang amat bahagia. Sang pria menggendong anak perempuan itu lalu mengecupnya berulang kali dengan penuh cinta. Sedangkan tangannya merangkul pinggang wanita di sampingnya.
''Mau ke mana lagi?''
''Aku mau es krim Papa''
''Baiklah anak cantik. Kalau Mama mau Apa?''
''Mama mau Papa selalu ada di samping kita seperti saat ini''
Suara mereka yang saling bersahutan masih terdengar. Semakin lama semakin terdengar menjauh dan sayup.
Aku masih berdiri di tempat semula dengan perasaan hancur.
Pria itu mirip sekali dengan suamiku, pria yang menikahi ku 6 tahun yang lalu. Tidak lagi mirip, sepertinya dia memang suamiku. Pakaiannya, jaketnya, semua sama persis seperti yang biasa aku cuci di rumah.
''Mas Setya kenapa kamu tega!'' batinku menangis pilu seraya memegang bagian dada.
''Ternyata kamu bisa bersikap sangat lembut sama perempuan lain. Berbeda sekali kalau lagi bersama aku dan anak mu sendiri. Ternyata ini alasannya, alasan kamu selalu pergi pagi dan pulang larut malam. Bahkan kamu sampai lalai memberi nafkah kepada aku dan anak mu sendiri.'' lagi-lagi aku bermonolog. Aku tidak habis pikir, ternyata selama ini Mas Setya mempunyai wanita lain selain aku.
''Apa wanita itu madu ku? Sejak kapan?'' pertanyaan itu terus berkecamuk, sesak di dada tak kunjung hilang.
Aku menyeret langkah menuju tempat pengganti baju, malam sudah larut, penghasilan malam ini juga sudah lumayan aku dapat, dengan uang ini mudah-mudahan cukup untuk membeli obat penurun demam putra ku.
***
Aku pulang menembus gerimis, berjalan menyusuri trotoar. Jalan raya sudah sepi. Wajar saja. Dingin-dingin begini paling enak ngumpul sama keluarga, becanda gurau tertawa bahagia.
Tapi aku, aku harus berjuang mengais rupiah, wanita tidak berpendidikan mungkin memang nasibnya akan seperti aku. Di sia-sia kan dan di bohongi habis-habisan. Tak dihargai di hadapan manusia yang merasa sempurna, padahal sesungguhnya derajat kita selalu sama di hadapan sang pencipta. Hanya amal ibadah saja yang menjadi tolak ukur, lebih mulia atau tidaknya seorang hamba.
Saat melewati apotek, langkah ku berhenti lalu masuk kesana. Aku meraba Tote bag, mengambil uang kertas usang di dalamnya.
''Ada yang bisa saya bantu, Mbak?'' sapa apoteker perempuan berkerudung biru dengan ramah. Senyum manis terukir di wajahnya.
''I i ini, saya mau beli obat penurun panas untuk putra saya.'' ucapku tergagap. Tanganku memeluk tubuh yang menggigil kedinginan terkena gerimis, di tambah lagi AC apotek yang semakin menambah rasa dingin tubuh ini.
''Oh. Kalau boleh tahu Putra Mbak usianya berapa tahun? Dan udah dari kapan panas nya?''
''Putra saya berusia lima tahun. Mendadak demam kemarin sore.''
''Baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan. Lain kali Mbak yang cepat cari obat penurun panas nya ya, takut terjadi apa-apa sama Putra Mbak kalau telat di tangani.''
Aku mengangguk kecil, wanita ramah itu berlalu kebelakang mengambil obat.
Setelah menunggu sekitar tiga menit wanita itu menghampiri aku lagi. Dia memberi obat, memberi sirup penurun demam. Yang di botol nya ada gambar anak laki-laki seusia Arif, Putraku.
''Berapa, Mbak?'' tanyaku.
''Tiga puluh ribu saja, Mbak.''
Aku memberi uang berwarna ungu sebanyak tiga lembar yang aku kumpulkan tadi. Setelah itu aku berlalu.
***
Aku berjalan memasuki kawasan padat penduduk di pinggir kota. Iya, rumahku berada di kawasan ini.
''Assalamualaikum Teh,'' panggil ku sedikit berteriak seraya mengetuk pintu. Aku mengetuk pintu rumah Teh Hamidah, dia merupakan tetangga sebelah rumahku.
Tidak menunggu waktu lama, Teh Hamidah menampakkan wajahnya di balik pintu.
''Oalah Hanifa, akhirnya kamu pulang juga. Teteh kira terjadi apa-apa sama kamu. Tumben kamu telat pulang nya. Ayo masuk dulu. Arif sudah tidur.''
''Enggak usah Teh, aku mau langsung pulang aja. Ini pakaian aku udah lembab terkena gerimis. Aku boleh minta tolong gondong Arif ke sini enggak Teh?
''Ya udah. Tapi denger dulu. Tadi Teteh denger suara motor suami mu, sepertinya suami mu udah pulang, Fa. Mungkin itu motor udah di masukkan kedalam. Teteh cuma berpesan, kalau dia marah karena kamu pulang larut begini kamu diam aja ya, kasihan Arif kalau harus mendengar orang tua nya bertengkar.'' pesan Teh Hamidah berbisik seraya melirik ke teras rumah ku yang hanya berjarak enam meter dari rumahnya.
''Iya Teh. Makasih atas perhatiannya dan kebaikan Teteh selama ini.''
''Iya. Kamu jangan merasa sungkan sama Teteh karena Teteh sudah menganggap kamu seperti Adik Teteh sendiri. Kamu tunggu di sini sebentar ya, Teteh ambil Arif dulu,''
''Iya Teh.''
Teh Hamidah berlalu kedalam, sedangkan aku, aku melirik ke arah rumah ku. ''Tumben Mas Setya pulang. Kira-kira ada apa? Dan kenapa dia tidak nginap di rumah wanita seksi tadi?'' batinku bermonolog. Dada ku masih saja terasa sesak mengingat kejadian tadi.
Setelah itu Teh Hamidah membawa tubuh Arif, sedetik kemudian tubuh Arif telah berpindah pada gendonganku.
''Ini, tadi kening Arif selalu Teteh kompres. Makanya demamnya tidak bertambah. Kamu udah beli obatnya?''
''Udah Teh.''
''Ya udah kasih cepat ya, kasihan Arif.''
"Iya Teh. Sekali lagi terimakasih banyak. Aku pulang.'' ucapku. Teh Hamidah mengangguk kecil dengan senyum getir. Sepertinya Teh Hamidah begitu merasa kasihan sama aku dan putra ku.
****
Sesampainya aku di depan pintu. Aku mengucap salam.
''Assalamuailakum.'' kataku. Aku mendorong pintu yang tidak di kunci itu pelan, lalu berjalan masuk. Aku sungguh tidak tahan lagi sama pakaian ku yang lembab. Mas Setya tidak membalas salam dari ku.
Aku melihat Mas Setya duduk lesehan di tikar ruang tamu. Dia bersandar di dinding, sebatang rokok menemani nya.
Ternyata benar, yang tadi aku lihat beneran Mas Setya. Pakaiannya masih sama persis sama yang tadi.
''Dari mana saja? Malam-malam keluyuran,'' suara bass Mas Setya memecah keheningan.
''Bukan urusan mu!'' jawabku acuh. Aku mendengar Mas Setya menarik nafas panjang. Aku berlalu ke kamar. Mengganti pakaian, lalu membaringkan tubuh Arif di kasur tipis. ''Bunda,'' rengek Arif dia memeluk tubuhku.
''Arif tunggu di sini sebentar ya, Bunda ambil air kebelakang. Arif harus minum obat, supaya cepat sembuh. Ini Bunda udah beli obatnya.'' kataku memaksa senyum seraya membelai rambut tebal dan lurus putraku. Arif mengangguk, dia tersenyum manis.
Aku berjalan kebelakang. Melewati tubuh Mas Setya. Maklum rumah kami kecil. Hendak ke dapur saja harus melewati ruang tamu.
''Hebat sekarang ya! Kamu denger tidak aku tadi ngomong apa?!'' ucap Mas Setya penuh penekanan saat aku masih berada di dapur.
''Iya hebat! Kamu yang hebat. Masih ingat pulang juga ternyata. Kemana saja kamu selama tiga hari ini.'' jawabku tak mau kalah. Terkadang wanita harus bersuara, agar tidak selalu di remeh kan.
''Selesaikan dulu urusanmu. Urus Arif. Setelah itu bikin kopi buat Mas. Kita perlu bicara. Ada yang ingin Mas katakan.'' ucap Mas Setya dengan nada sedikit pelan dari tadi. ''Kopi katanya, tak memberi nafkah tapi masih minta di layani. Dasar egois.'' batinku.
Aku tak menjawab. Bahkan dia sama sekali tidak menanyakan kondisi anaknya. Anak yang selalu menanyakan keberadaan dirinya setiap hari. Hingga Arif jatuh sakit seperti ini.
Mas Setya memiliki wajah rupawan. Dia amat tampan. Dulu dia begitu baik, romantis, peduli, dan sangat perhatian. Mas Setya bekerja sebagai tukang ojek online, bahkan merangkap menjadi supir di keluarga kaya. Kami menikah di dilandasi suka sama suka. Selama ini aku selalu menerima kekurangan dan kelebihannya. Menerima berapa saja nafkah lahir yang dia berikan. Tapi semenjak seminggu ini Mas Setya lupa akan kewajibannya, dia tak pernah lagi memberi uang belanja, bartanya pun tak pernah ia lakukan. Hingga mengharuskan aku bekerja menjadi badut untuk menyambung hidup.
Beberapa bulan ini dia mulai berubah. Dia tertutup, lebih banyak diam dan jarang sekali pulang kerumah.
Sekarang aku sudah tahu alasan sebenarnya. Dia sudah punya keluarga baru, rumah kedua tempat nya singgah.
Terkadang kata setia di awal pernikahan tak cukup untuk menjadi bukti kalau orang itu akan setia selamanya, selama mengarungi rumah tangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Evy
Kasihan anak istri ditelantarkan..
2024-10-21
0
Kar Genjreng
satu istri ga di urus.. pekerjaan nya ojeg online..supri mau beristri dua laki laki ga bershukur 😚😚😭😭
2023-05-17
1
rhiena aprilia
aku kasih vote langsung buat karya mu thor
2022-10-01
1