Meyakinkan

Pelan-pelan aku memutar gagang pintu, menjawab salam yang diucapkan seseorang dari balik pintu. “Alya," pekikku saat pintu terbuka. Ia berdiri mematung di depan pintu sudah siap dengan mukenanya.

“Maaf, Kak, Alya mengetuk pintu terlalu keras karena Kakak tidak menjawab saat Alya mengetuk pintu. Kami semua menunggu Kakak untuk salat Subuh.”

“Kamu kembali ke musala, bilang sama Ibu, Kakak segera menyusul.”

“Iya, Kak.”

Segera aku menutup pintu setelah Alya bertolak menuju musala, membersihkan diri, memakai mukena dan bersiap pergi ke musala untuk salat subuh berjamaah. Selesai salat aku membantu Mak Minah di dapur untuk menyiapkan sarapan, sedangkan Alya mendampingi adik-adik untuk berganti pakaian bersiap ke sekolah. Menu sarapan sudah siap di atas meja, aku menyuruh seluruh anggota panti untuk segera duduk di tempat masing-masing.

Menyuruh Alya untuk memanggil Ibu yang sejak tadi duduk di kursi kantor sambil menekuri kitabnya. Setelah semua berkumpul salah seorang memimpin doa untuk memulai sarapan, kami semua makan dalam keheningan tak ada satu pun yang boleh berbicara, aturan itu sudah diterapkan oleh Ibu sejak dulu. Selesai sarapan mereka semua pergi ke sekolah masing-masing begitu pun dengan Alya yang bertugas mengantar adik-adik yang masih di bawah umur.

Sementara itu, aku membantu Mak Minah membereskan dapur. Setelah itu aku berniat merapikan taman kecil yang berada di samping panti. Hari ini aku benar-benar tidak ingin berkontak langsung dengan Ibu agar beliau tidak menelisik keadaanku dengan mata yang sedikit sembab. Meskipun begitu, aku juga tidak dapat menyembunyikan keadaan yang sebenarnya karena Mak Minah dan Alya sudah melihatnya terlebih dulu. Namun, mereka tidak berani menanyakan hanya menatap penuh selidik.

“Bu, hari ini Nayla tidak ada tugas kantor, Nayla berniat merapikan taman di sebelah panti,” pamitku pada Ibu dari depan pintu.

“Ya, sudah, nanti kalau butuh bantuan minta Alya membantu,” titahnya padaku tanpa menoleh ke arahku.

“Iya,” jawabku singkat.

Setelah berpamitan pada Ibu aku segera ke luar menuju taman di samping panti. Merapikan tanaman yang terlihat layu dan sedikit membusuk, kesibukan di kantor membuatku mengabaikan taman kecil ini. Tanpa kusadari kini Alya sudah berada di sampingku, ikut merapikan tanaman dalam pot-pot kecil.

“Kak, Alya lihat, Kakak sedang ada masalah?” tanyanya, sontak membuatku terkejut karena aku tak menyadari kedatangannya.

“Siapa bilang, Al …? Kakak biasa saja!” kilahku pada Alya.

“Kak, Alya tahu kakak sedang tidak baik-baik saja, apa karena lamaran Kak Ferdi yang membuat Kakak seperti ini? Harusnya Kakak bilang apa adanya pada Ibu kalau Kakak punya pilihan lain, tidak harus mengorbankan perasaan Kakak untuk kami. Ibu pasti mengerti begitu pun dengan Kak Ferdi, jangan karena terpaksa Kakak harus menyesal di kemudian hari.”

Alya, gadis kecil dengan pemikiran yang sangat dewasa, membuat aku sedikit tertampar. Semua yang Alya katakan memang benar adanya. Harusnya aku bicara jujur pada Ibu bahwa hati ini sudah berpenghuni. Namun, sayang, lidah ini terasa kelu hanya untuk sekedar berbicara jujur. Kuhela napas panjang, lalu kuembuskan perlahan sebelum menjawab pertanyaan Alya.

“Al, terima kasih sudah mengingatkan Kakak, semua ini Kakak lakukan tidak dengan terpaksa, ini pilihan hati Kakak. Lagi pula ini saatnya Kakak membalas kebaikan Ibu selama ini.”

“Tapi tidak harus mengorbankan perasaan Kakak ‘kan? Lebih baik Kakak jujur pada Ibu, pasti beliau mau mengerti.”

“Itu artinya, Kakak harus menghapus senyum yang mengembang di bibir Ibu, bukan?”

“Mungkin Alya masih terlalu kecil untuk memahami semua ini, Alya hanya tidak ingin Kakak menyesal di kemudian hari karena keterpaksaan. Akan tetapi, bila ini keputusan Kakak, Alya juga tidak bisa mencegah, semoga ini yang terbaik buat Kakak,” ucapnya mengingatkanku.

Aku tersenyum ke arah Alya, meyakinkan pada gadis kecil yang berada di depanku bahwa diri ini baik-baik saja. Walau sebenarnya terlihat sangat munafik, tidak dipungkiri hati ini terasa sesak, ada rasa nyeri meskipun tak terluka. Selesai merapikan taman aku segera mencuci tangan yang penuh dengan tanah, begitu pun dengan Alya. Waktu sudah hampir Zuhur, selesai mencuci tangan aku memerintah Alya untuk menjemput adik-adik, sedangkan aku duduk di kursi meja makan yang berada di dapur membantu Mak Minah.

Tatapan tajam Mak Minah penuh telisik hingga menghunus di mataku, segera aku mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapan Mak Minah. Aku membuka suara, sebelum Mak Minah bertanya sesuatu padaku.

“Mak, hari ini masak apa?” tanyaku pada Mak Minah.

“Masak sayur asem sama pindang, Mbak. Apa Mbak Nayla mau dimasakin sesuatu?” jawabnya sekaligus bertanya.

“Tidak, Mak, Nayla makan apa yang Mak Minah masak saja, apalagi makanya bareng-bareng pasti seru dan nikmat,” jawabku sambil bergelayut manja pada Mak Minah.

“Ya, sudah kalau nggak mau dimasakin yang lain, berati kerja Mak Minah ringan,” jawabnya sambil tertawa.

Aku pun menimpali dengan tertawa, aku tidak memberi jarak dengan penghuni panti lainya, termasuk dengan Mak Minah. Kedekatanku pada Mak Minah sama seperti dengan kedekatanku pada Ibu sehingga apa yang sedang terjadi pada diriku Mak Minah juga dapat merasakannya. Akan tetapi, aku tidak perlu menghindari Mak Minah seperti aku menghindar dari Ibu.

Tidak terasa hari sudah semakin siang, Alya dan adik-adik sudah sampai di rumah, suasana panti berubah menjadi riuh. Aku menyuruh adik-adik untuk segera berganti pakaian dan bersiap untuk salat Zuhur karena sebentar lagi azan Zuhur berkumandang. Aku tak sedikit pun menengok Ibu yang berada di kantor panti, semoga saja Ibu tidak mencurigai kenapa aku menghindar dari beliau.

Azan Zuhur berkumandang, kami semua bergegas menuju musala. Imam salat sudah bersiap mengumandangkan takbiratul ikhram, bergegas kami merapikan saf. Allahu Akbar … suara takbir menggema ,suasana salat sangat khusuk dari rakaat pertama hingga akhir. Assalamualaikum warohmatullah … Assalamualaikum warohmatullah, ucapan salam nyaring terdengar pertanda salat telah berakhir.

Kami bergantian menyalami Ibu, begitu pun denganku. Aku tertunduk saat menyalami Ibu, tak ingin bertatap muka dengan beliau. Bukan karena tidak mau, hanya saja aku tidak ingin Ibu melihat keadaanku yang berantakan dengan mata sedikit sembab. Selesai salat dan merapikan semua perlengkapan, aku melangkah menuju ruang makan untuk makan bersama. Namun, kali ini aku sengaja bergabung dengan adik-adik untuk menghindar dari tatapan Ibu.

“Kamu kenapa duduk di situ, Nay?” pertanyaan Ibu sontak membuatku mendongakkan kepala. Mengulas senyum ke arah Ibu, kemudian kembali menundukkan kepala. Lalu, menjawab pertanyaan yang Ibu lontarkan padaku.

“Tidak apa-apa, Bu, duduk di sini juga tidak mengganggu yang lain ‘kan?” tampikku pada Ibu.

“Ya, sudah kalau begitu. Ayo kali ini siapa yang mimpin doa?” tanyanya.

Terdengar suara bersahutan dari adik-adik berebut untuk memimpin doa. Makan siang dimulai setelah salah satu di antara adik-adik memimpin doa. Seperti biasa suasana makan dalam keadaan hening tak boleh ada yang bersuara. Selesai makan siang, mereka semua beristirahat sebentar setelah di rasa cukup aku menyuruh mereka masuk ke kamar masing-masing untuk tidur siang.

Sementara itu, aku membatu Mak Minah membersihkan ruang makan dan dapur. Seperti biasa Alya bertugas menemani adik-adik tidur siang, sedangkan Ibu terlihat masuk ke kamarnya, padahal tidak biasanya beliau masuk ke kamar setelah makan siang. Setelah semua bersih aku menyuruh Mak Minah untuk istirahat di kamarnya begitu pun denganku. Akan tetapi, sebelum masuk ke kamar aku sempat menengok Alya yang sedang menemani adik-adik, menyuruhnya kembali ke kamarnya untuk tidur siang setelah adik-adik semua terlelap.

Namun, sayang, saat aku melangkah masuk ke kamar, terdengar suara Ibu dari dalam kamarnya memanggil namaku. Sontak diri ini menoleh ke arah kamar Ibu, lalu membalikkan tubuh untuk melangkah menuju kamar Ibu. Dengan ragu-ragu diri ini memutar gagang pintu, menyembulkan kepala dan mengucap salam, alih-alih untuk menghindar dari Ibu seketika gagal total. Entah ada perlu apa Ibu memanggilku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!