Kesempatan Kedua

Kesempatan Kedua

Kedatangan Mas Ferdi

Namaku Nayla, seorang gadis yang besar di panti asuhan. Entah dari mana asalku, aku pun tak pernah tahu. Bahkan aku pun tidak tahu siapa orang tua kandungku yang sebenarnya. Ibu hanya bercerita kalau aku adalah anaknya meski tidak lahir dari rahimnya. Saat aku kecil, Ibu akan marah bila ada yang memanggilku anak pungut. Sejak saat itu aku mulai bertanya-tanya pada Ibu siapa sebenarnya aku dan dari mana asalku?

“Jangan pernah tanya siapa kamu dan dari mana asalmu? Yang jelas kamu anak Ibu, besar dalam dekapan Ibu. Jangan hiraukan ucapan mereka yang bilang kamu anak pungut, kamu bukan anak pungut. Kamu anak Ibu!” tegasnya kala itu.

Sejak saat itu pula aku tidak lagi pernah menanyakan siapa aku yang sebenarnya. Aku memang besar dari keluarga panti, tetapi kehidupanku sama seperti gadis lainnya. Ibu menyekolahkanku hingga ke perguruan tinggi. Di perguruan tinggi itulah aku mulai mengenal cinta. Aku menjalin kasih dengan kakak tingkatku yang bernama Rangga. Kami diam-diam menjalin hubungan karena belum siap untuk berterus terang dan Mas Rangga juga belum lulus saat itu.

Namun, setelah Mas Rangga lulus dan akan berterus terang, Mas Rangga justru mendapat tugas dari kampus untuk menjadi relawan di daerah terpencil. Meskipun begitu hubungan kami tetap berjalan dengan baik walau hanya bersua lewat nir kabel. Kami sempat berencana untuk menikah setelah kepulangan Mas Rangga dari bertugas. Akan tetapi, rencana itu sirna dan tidak akan pernah terwujud tatkala seorang pengusaha salah satu yang menjadi donatur tetap di panti datang untuk melamarku. Mas Ferdi yang kutahu itu namanya.

Aku sempat menangguhkan lamarannya karena ingin memilih keputusan mana yang akan aku ambil. Menerima lamarannya atau menolak? Tentunya dengan banyak pertimbangan karena hatiku sudah terpatri dengan Mas Rangga. Namun, harapan besar terlihat jelas di wajah Ibu agar aku menerima lamaran Mas Ferdi. Dengan penuh pertimbangan aku memutus hubunganku dengan Mas Rangga secara sepihak dan menerima lamaran Mas Ferdi. Padahal tak ada sedikit pun rasa cinta di hatiku untuk Mas Ferdi.

***

Beberapa bulan yang lalu Mas Ferdi datang ke panti secara tiba-tiba dan ingin berbicara serius dengan Bu Siti. Kupersilahkan Mas Ferdi masuk dan berbincang dengan Bu Siti. Setelah itu aku pergi ke dapur untuk membuat minuman. Dua cangkir teh hangat beraroma melati kuletakkan di meja untuk Mas Ferdi dan Bu Siti, lalu membalikkan tubuh untuk kembali ke dapur menyimpan nampan.

Namun, langkahku terhenti saat Mas Ferdi menyebut namaku. Niat mengembalikan nampan kuurungkan, lalu duduk di samping Bu Siti seraya mendekap nampan. Siap mendengarkan apa yang mau dibicarakan Mas Ferdi. Hati ini berdebar tak karuan saat Mas Ferdi mulai membuka suara.

“Maafkan saya, Bu, bila sedikit mengganggu. Kedatangan saya ke sini bermaksud ingin meminta izin pada Ibu untuk melamar Nayla. Bagaimana pun Ibu yang bertanggung jawab sepenuhnya atas Nayla.”

Aku menunduk, hati ini bergemuruh mendengar ucapan Mas Ferdi. Niat baik Mas Ferdi seolah menjadi bom waktu untukku yang tiba-tiba meledak. Selama ini memang aku tidak pernah terlihat dekat dengan laki-laki. Namun, bukan berarti aku tak memiliki tambatan hati.

“Maafkan, Ibu, Nak Ferdi, Ibu memang yang mengasuh dan bertanggung jawab atas Nayla sepenuhnya. Akan tetapi, masalah hati dan pribadi Nayla tetap Nayla yang menentukan, bila Nayla setuju dengan lamaran Nak Ferdi maka Ibu juga akan menyetujuinya. Semua keputusan ada di tangan Nayla.”

Ucapan Bu Siti semakin membuatku menunduk, entah bagaimana aku harus menjawabnya. Menolak atau menerima? Sungguh aku dalam dilema meski Ibu menyerahkan semua keputusan ada di tanganku. Itu artinya aku bebas menentukan pilihan sesuai isi hatiku. Namun, justru itulah yang membuatku bimbang bagai makan buah simalakama. Mengingat Mas Ferdi salah satu orang terpenting dalam kelangsungan panti ini, tempat yang telah membesarkanku dengan asuhan Bu Siti.

Mendadak dada ini terasa sesak, hati terasa teremas-remas, mengingat hati ini telah berpenghuni. Hanya saja aku tidak pernah jujur akan hal ini, sehingga Bu Siti tak pernah tahu perasaanku. Aku berpikir belum saatnya memberi tahu Bu Siti siapa lelaki yang menghuni hatiku selama ini. Untuk itu, aku menyimpan rapat siapa lelaki yang bersinggah di hatiku dan akan memberi tahu Bu Siti bila waktunya tiba. Namun, sepertinya sudah terlambat, kedatangan Mas Ferdi yang begitu mendadak dan mengutarakan niatnya membuat aku bingung dan terjebak dalam perasaanku sendiri.

“Bagaimana dengan kamu, Nay, bersediakah kamu menjadi pendampingku, menjadi istriku, dan menjadi Ibu dari anak-anakku kelak?”

Aku terkesiap mendengar Mas Ferdi membuka suara, pertanyaannya membuat dadaku semakin sesak, seolah-olah ruangan ini telah kehabisan stok oksigen. Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Mas Ferdi, melihat sekilas ke arah Bu Siti yang kebetulan juga melihat ke arahku. Bu Siti tersenyum sembari menggenggam erat tanganku memberi isyarat bahwa semua keputusan ada di tanganku. Aku menegakkan pandangan lurus ke depan, menatap lelaki di hadapanku untuk menjawab pertanyaannya.

“Maafkan aku, Mas, bila belum bisa menjawab pertanyaan Mas Ferdi, bolehkah aku meminta kelonggaran waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mas Ferdi? Menurut aku menikah itu harus dipikirkan secara matang bukan hanya menyatukan dua cinta anak manusia dan hati saja, tetapi masih banyak hal yang harus dipertimbangkan, salah satunya kekurangan dan kelebihan yang ada di antara kita. Apa Mas Ferdi siap dengan segala kekuranganku, sedangkan Mas Ferdi saja baru mengenalku karena Mas Ferdi donatur tetap panti kami.”

Aku kembali menundukkan kepala setelah menjawab pertanyaan Mas Ferdi, meminta kelonggaran waktu untuk memastikan perasaanku sendiri. Jujur saja, aku belum siap untuk menerima lamaran Mas Ferdi. Meminta kelonggaran waktu untuk berpikir itu hanya alasanku saja untuk memperlambat proses lamaran dan mencari cara untuk mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya.

“Baiklah, Nay, aku akan memberimu waktu untuk berpikir, yang jelas aku akan menerima semua kekuranganmu bahkan kelebihanmu dengan ikhlas. Aku memilihmu bukan karena wajah ayumu ataupun tubuhmu, aku memilihmu karena petunjuk Allah setelah aku melakukan perjalanan panjang untuk meminta petunjuk-Nya.”

“Terima kasih, Mas, sudah mau mengerti keadaanku, aku akan menghubungimu bila aku sudah dapat memastikan jawaban yang tepat untukmu, tentu saja dengan persetujuan Bu Siti.”

Suasana hening seketika, Mas Ferdi mengangkat cangkir berisi teh beraroma melati yang sudah tak lagi mengepul dan mulai meminumnya. Begitu pun dengan Bu Siti perlahan mulai menyesap teh yang aku buat. Sementara aku hanya diam bermain dengan pikiran sendiri.

Allahu Akbar … Allahu Akbar …

Tidak terasa suara azan Magrib berkumandang, aku menawarkan pada Mas Ferdi untuk salat berjamaah terlebih dahulu bersama kami di musala panti sebelum dia melakukan perjalanan pulang. Mas Ferdi pun mengiakan, lalu kupersilakan dia pergi ke musala lebih awal. Sementara aku memanggil adik-adik panti yang lainnya untuk bersiap melaksanakan salat berjamaah. Setelah semua berkumpul di musala barulah aku dan Bu Siti masuk ke musala.

Terlihat Mas Ferdi sudah mengambil posisi di depan untuk menjadi imam salat kali ini. Walau sebenarnya, musala panti kami juga memiliki imam salat setiap harinya, beliau penjaga keamanan panti ini. Selain itu, juga ada masyarakat terdekat yang juga suka rela untuk menjadi imam salat di panti ini.

Allahu Akbar …

Suara takbir menggema, bacaan takbiratul ihram terdengar sangat lembut dan fasih. Salat berlangsung sangat khusyuk hingga salat berakhir, Assalamu’allaikum warohmatullah … Assalamu’allaikum warohmatullah. Ucapan salam di atahiyat terakhir menutup salat kami, adik-adik bergantian untuk mencium punggung tangan Bu Siti sebagai orang tua kami semua, begitu pun denganku.

Selesai salat aku menyuruh adik-adik untuk bertadarus sebentar sambil menunggu waktu salat Isya tiba. Mas Ferdi menghampiriku dan Bu Siti untuk pamit pulang, aku mengantarnya hingga pintu depan di mana mobilnya terparkir dan melajukannya keluar pintu gerbang hingga tak terlihat lagi olehku. Setelah itu aku kembali ke musala untuk belajar mengaji bersama adik-adik panti lainnya.

bersambung ….

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!