Mak Minah berlalu meninggalkan kantor panti setelah mendapatkan izin dari Ibu, sedangkan aku dan Ibu kembali melanjutkan percakapan yang sempat tertunda karena kedatangan Mak Minah.
“Alhamdulillah bila kamu sudah memutuskan untuk menerima Nak Ferdi. Ibu akan segera menghubunginya. Sudah terlalu lama Nak Ferdi Menunggu jawaban darimu, Nay,” ucapnya sembari menatap wajahku.
Aku tersenyum membalas tatapan Ibu, tersirat rona bahagia di wajah beliau. Senyum simpul mengembang di bibir tipis beliau, senyum yang selalu meneduhkan. Kupeluk erat tubuh Ibu, menyandarkan kepala di bahu beliau, usapan lembut dari tangan beliau mendarat di pucuk kepala ini.
Hatiku bergemuruh, aku sedang bermain api yang dapat membakarku kapan saja. Entah mengapa aku masih enggan untuk menerima Mas Ferdi. Meski tak dipungkiri Mas Ferdi lelaki yang penuh karismatik. Aku memutuskan menerima lamaran Mas Ferdi karena tidak ingin mematahkan harapan Ibu. Walau kenyataannya aku harus menepis gejolak di hati yang teramat menyesakkan. Perlahan mencoba menggeser nama Mas Rangga yang lebih dahulu menghuni relung hati dan mengganti dengan nama Mas Ferdi.
Tidak terasa azan Ashar berkumandang, suasana panti sudah sangat ramai, adik-adik semua sudah pulang dari sekolah. Aku menyuruh mereka untuk segera bersiap menjalankan salat Ashar di musala, begitu pun dengan Mak Minah dan Alya. Aku dan Ibu segera menyusul setelah terdengar bacaan iqomah, bukan karena sengaja, tetapi karena pembicaraan tadi yang membuat kami sedikit terlambat.
Selesai salat seperti biasa Ibu dan salah seorang ustaz yang menjadi imam di musala panti akan mengajar mengaji hingga azan Magrib berkumandang, sedangkan aku, Mak Minah dan Alya bersiap memasak makan malam di dapur. Dua jam sudah kami bertiga bertempur di dapur hingga tak terasa azan Magrib berkumandang, semua menu masakan sudah terselesaikan segera kami bersiap untuk menjalankan salat Magrib. Semua sudah siap pada saf masing-masing, ustaz yang menjadi imam salat sudah mengumandangkan takbirotul ikhram, kami bertiga pun segera bergabung dengan jamaah lain.
Selesai salat Magrib kami semua bertadarus sambil menunggu waktu salat Isya, begitu pun denganku, Mak Minah dan Alya. Setelah salat Isya kami semua makan malam bersama, selesai makan malam seperti biasa aku meminta Alya untuk mendampingi adik-adik belajar. Malam ini tidak ada pekerjaan kantor yang harus dikerjakan, aku memutuskan membantu Mak Minah membereskan dapur, sedangkan Ibu terlihat duduk di kursi kantor yang menjadi tempat favoritnya sambil menekuri lembar demi lembar kitab yang beliau baca.
Tepat pukul 21.00 malam seluruh penghuni panti menghentikan aktivitasnya. Aku menyuruh adik-adik untuk masuk ke kamar masing-masing. Seperti biasa Alya bertugas untuk mendampingi adik-adik yang masih di bawah umur, Alya akan kembali ke kamarnya setelah mereka semua terlelap. Setelah memastikan mereka masuk ke kamar, aku kembali memeriksa kantor panti, menata kembali dokumen yang sedikit berantakan di atas meja.
Lalu, meminta Ibu untuk masuk dan beristirahat di kamarnya. Selesai membereskan semua berkas dan mematikan laptop, aku ke luar kantor memeriksa dan memastikan semua pintu dan jendela telah tertutup dan terkunci. Sebelum masuk ke kamar, diri ini menyempatkan untuk mengunjungi kamar Mak Minah dan Alya memastikan mereka juga telah beristirahat. Selesai memeriksa dan memastikan semua aman, aku menyempatkan diri untuk mencuci tangan dan kaki, lalu masuk ke kamar.
Kurebahkan tubuh di atas ranjang dan segera memejamkan mata. Akan tetapi, bayangan Mas Rangga menari-nari di pelupuk mata. Kenangan bersama Mas Rangga kembali terekam di kepalaku. Rasa sesak seketika menyeruak di dada, aku gelisah memikirkan keadaan Mas Rangga. Andai saja Mas Rangga tidak memutuskan untuk menjadi tenaga suka rela untuk mengajar di daerah terpencil, mungkin aku dan Mas Rangga sudah duduk di pelaminan.
“Tunggu Mas pulang, ya, Nay! Mas janji sepulang dari mengabdi akan melamarmu,” ucapnya kala itu, setelah sebulan lulus dari kuliah.
Sebulan kemudian, setelah selesai mengurus surat-surat yang akan dibawanya, dia pergi ke pelosok bersama beberapa mahasiswa lain perwakilan dari kampus. Sejak kepergian Mas Rangga, kami hanya berhubungan lewat nir kabel. Itu pun hanya sesekali karena keberadaan Mas Rangga benar-benar di tempat yang sangat pelosok. Sinyal pun sulit didapat. Tanpa terasa bulir bening keluar dari sudut netraku. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya. Aku segera bangkit dari tidurku, mengambil gawai di atas meja, lalu kembali duduk menyandarkan tubuh di kepala ranjang.
Membuka gawai memilih aplikasi warna hijau, mencari kontak Mas Rangga kemudian menekan tombol telepon untuk tersambung padanya. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari seberang sana. Pikiran ini kembali teringat saat pertama kali bertemu dengan Mas Rangga di kampus. Usia Mas Rangga dua tahun di atasku dan kuliahnya satu tingkat di atasku. Keputusannya untuk mengabdi di daerah pelosok, membuat kami menjalani hubungan ini secara jarak jauh. Tidak pernah ada pertemuan khusus di antara kami, hanya suara telepon yang mendekatkan jarak di antara kami dan kepercayaan yang membuat hati kami terpatri.
Hubungan jarak jauh dan jarang bertemu membuatku merahasiakan semuanya dari Ibu dan akan memberitahukan pada beliau saat tiba waktu yang tepat. Akan tetapi, semua sudah terlambat. Mas Ferdi lebih dahulu datang untuk melamarku, dan aku pun tak mampu untuk menolaknya. Jadi, aku memutuskan untuk menerima Mas Ferdi dan berusaha menggeser nama Mas Rangga dari dalam hati. Dengan hati berdebar aku kembali menekan kontak Mas Rangga di aplikasi WA, beberapa menit kemudian terdengar suara yang selama ini aku rindukan dari seberang sana.
“Assalamualaikum, Mas, apa kabar?”
“Waalaikumsalam, Nay, Alhamdulillah baik, kamu apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, Mas. Mas, maafkan Nayla, mulai hari ini lupakan Nayla. Nayla akan menikah dengan orang lain, Nayla berharap Mas Rangga mau mengerti keputusan Nayla yang terdengar sangat mendadak. Maafkan Nayla tidak bisa menjelaskan semuanya. Nayla juga berharap suatu saat Mas Rangga juga mendapatkan pengganti yang lebih baik dari pada Nayla.”
“Nay, apa yang terjadi, kenapa harus seperti ini, tolong jelaskan padaku!”
“Maaf, Mas, Nayla tidak bisa menjelaskan semua ini. Terima kasih atas semua perhatian yang Mas Rangga berikan.”
“Tapi, Nay …!” Aku menutup telepon tanpa mendengar apa yang ingin Mas Rangga ucapkan. Rasanya tak sanggup lagi untuk berbicara dengannya. Aku memutuskan menghapus semua yang berhubungan tentang Mas Rangga dan memblokir semua kontaknya. Tidak terasa cairan bening meluncur bebas membasahi pipi tanpa permisi, dada ini kembali terasa sesak.
Tak ingin berlarut dalam kesedihan, aku kembali merebahkan tubuh yang terasa lelah. Menaruh gawai di bawah bantal. Lalu, memaksakan mata ini untuk terpejam, menetralisir gejolak hati yang terasa menyesakkan. Namun, sayang, semakin memejam pikiran ini semakin melayang, cairan bening semakin meluncur deras, usaha meredam sesak di dada tidak berhasil sama sekali. Tangisku semakin pecah hingga terisak, aku membenamkan wajah di bantal tak ingin mengganggu penghuni panti lainnya karena mendengar tangisku.
Hingga tak terasa diri ini terlelap dengan sendirinya, lelah karena menangis semalam. Sayup-sayup terdengar azan Subuh berkumandang, tetapi mata ini tak sedikit pun mau terbuka, kepala ini terasa berat. Hingga akhirnya terdengar seseorang mengetuk pintu kamar, pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah gontai aku berjalan ke arah pintu, membuka pintu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.
Selama ini aku yang pertama kali bangun setelah Ibu, lalu membangunkan adik-adik untuk bersiap menjalankan salat Subuh karena itu sudah menjadi tugasku. Namun, saat ini aku benar-benar terlambat untuk membangunkan mereka. Suara ketukan terdengar semakin keras, karena aku tak kunjung membuka pintu. Entah siapa yang mengetuk pintu sekeras itu, aku tak tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments